Senin, 26 Juni 2017

Idul Fitri 1438 H

Lebaran kali ini buat saya unik. Bukan karena lebaran kali ini saya mudik lagi. Secara rutinitas lebaran ini hampir sama seperti lebaran tahun-tahun sebelumnya kalau kami sekeluarga tidak mudik. Tapi secara personal, buat saya berbeda.

Lebaran kali ini jatuh di pertengahan tahun 2017, yang sekaligus merupakan titik balik dalam kehidupan saya lagi setelah 6 bulan menjalani kehidupan yang sama sekali berbeda dari kehidupan saya 6 tahun belakangan. Saya merasakan lagi kerja kantoran. 

Akhir tahun 2016 saya sempat merasa hilang arah seperti GPS tanpa sinyal. Tiba-tiba ada telpon yang menawarkan saya kerja kantoran, yang sejak tahun 2010 sudah tidak saya lakukan. Saya pikir perubahan dalam hidup bisa membantu saya menemukan arah dan yang saya harap bisa bikin mood tidak suram lagi. Saat itu saya gak tahu kenapa saya merasa sedih

Atau mungkin sebenarnya saya tahu kenapa, tapi masih belum siap untuk mengakuinya. Jadi masih dalam tahap self-denial. Sampai beberapa waktu lalu saya sadar bahwa ini adalah sebuah pola, perasaan sedih saya akan berakhir saat saya menemukan hal baru yang bisa mengalihkan pikiran, sampai kamu datang lagi dalam kehidupan untuk kemudian menghilang lagi dan saya sedih. Dan hal itu adalah suatu pola yang berulang-ulang, seperti siklus yang muter-muter tidak ada akhir.

Attachment is the root of suffering, salah satu quotes yang sering saya lihat. Saya bukan attached sama hal-nya, tapi saya attached sama perasaan saya sendiri terhadap hal-nya. Itu yang bikin saya suffering walaupun saya udah coba menyadarkan diri sendiri untuk let go. Mudah untuk let go hal yang lagi gak ada di sekitar kita, tapi ketika hal tersebut datang lagi dan kita sudah tersentuh dan sempat menggenggamnya, sulit buat ngelepasin. Walaupun yang kita genggam itu hal yang abstrak, gak berbentuk, misalnya harapan atau mimpi. 

Mungkin saya hanya perlu menemukan hal baru untuk pengalihan perhatian. 

Masa kontrak percobaan saya di kantor baru itu adalah 6 bulan, dimulai bulan Januari 2017, maka berakhir di Juni 2017. Saya juga tidak hitung-hitung bulan waktu itu, ternyata momennya pas mau lebaran. Jadi saya perpisahan sama rekan-rekan kantor tersebut sambil mengucapkan minal aidin wal faidzin. Menurut saya masa percobaan itu bukan hanya untuk perusahaan tapi untuk karyawannya, jadi ketika saya coba dan ternyata hal itu tidak bikin saya bahagia, saya memutuskan untuk mundur. 

Selama 6 bulan saya tidak mampu mengatur waktu untuk hal yang saya sukai, seperti berkebun dan lari. Makan saya juga berantakan, mobil saya berantakan dan hidup saya tambah berantakan. Setiap mau ke kantor itu saya harus menempuh jarak 40km sekali jalan, bolak-balik 80km. Mungkin harusnya 6 bulan itu adalah masa penyesuaian, dan kalau saya sabar lanjutkan 2 atau 3 bulan lagi mungkin saya sudah bisa menemukan ritme yang pas. Tapi saya putuskan untuk berhenti saja.

Setelah cuti lebaran usai, banyak sekali hal yang harus saya beresin entah mulai darimana dulu. Mungkin mulai dari beresin kebun....

ohiya...

Minal Aidin Wal Faidzin,
Selamat Idul Fitri.
Mohon Maaf Lahir Batin.


Minggu, 18 Juni 2017

Ayam Goreng yang berubah menjadi Opor

"This is not a love story, this is a story about love." - quote taken from movie 500 days of summer.

Dulu saya pernah cerita tentang sejarah hewan-hewan peliharaan yang sempat singgah dan mewarnai kehidupan saya di postingan Peliharaan-Peliharaan Tante . Yang belum baca bisa di klik link nya. 

Sekarang saya mau cerita tentang kisah memilukan salah satu hewan peliharaan yang saya sayang banget. Dia adalah seekor anak ayam yatim piatu sebatang kara yang ibunya mati tidak lama setelah dia baru menetas, walaupun gak bayi-bayi amat tapi masih dalam usia belum mampu hidup mandiri sepenuhnya. Bapaknya entah yang mana. Sementara induk ayam lain tidak ada yang mau mengadopsinya, bahkan gerombolan anak-anak ayam selalu kabur berpencar kalau dia menghampiri. 

Biasanya kan anak-anak ayam tidurnya di bawah sayap induknya, tapi karena tidak ada induknya dia terlunta-lunta hingga terdampar di teras. Itu pun dia sulit tidur karena teras sangat terang dan dia gak menemukan posisi yang enak dan hangat untuk tidur sendiri. Karena itu dia hanya mampu berciap-ciap di malam hari. Suara ciapannya sangat memilukan bak sembilu menyayat-nyayat lubuk hati yang paling dalam, kedengaran jelas ke dalam kamar saya. Karena gak tega saya menghampiri anak ayam tersebut, ketika saya ambil dia langsung melompat ke pundak saya dan tertidur. Sempat khawatir di e'ek-in sih, ayam kan sebelum bobo biasanya e'ek. 

Saat itu juga, di saat dia tertidur lelap di pundak itu, saya langsung jatuh sayang dan memberinya nama Ayam Goreng. 

Malam-malam berikutnya dia tidur sendirian dalam kandang kecil yang dibuat Papa Said, diletakan di teras tapi di pojokan yang gelap. Tapi Ayam Goreng kecil masih saja suka melompat ke pundak saya dan bertengger disitu, seolah-olah dia merasa seperti bayi naga di film Games of Throne, dan saya otomatis merasa seperti Daenerys Targeryien. Alih-alih the mother of dragons, saya jadi the mother of ayam. 

The mother of dragon
The mother of ayam
Ayam Goreng tumbuh menjadi seekor ayam jantan remaja yang tampan, dengan warna hitam dihiasi semburat putih yang berkilauan bila ditimpa sinar matahari. Setiap pagi ketika saya keluar rumah Ayam Goreng akan selalu lari menghampiri minta di elus-elus, persis kayak punya anjing. Begitu pula ketika saya pulang kantor, turun dari mobil dan buka pagar saya akan memanggilnya: 

Ayam Goreeeeeeeeeng.......

Apa pun kesibukannya lagi ngais-ngais dimanapun pasti akan segera dihentikan dan berhambur lari sekencang-kencangnya dengan sepasang cekernya untuk menghampiri saya. 

Kalau saya lagi mondar-mandir dihalaman, atau mau ngurusin kebun, dia akan selalu ngikutin di belakang. Kalau saya tiba-tiba berhenti, gak jarang kepalanya kejeduk betis saya. Seperti biasa Papa Said selalu ganti-ganti nama hewan peliharaan yang saya kasih kan, Ayam Goreng pun diganti jadi Ayam Bakar. KZL. 

Hingga suatu hari yang kelam kelabu, seharian perasaan saya udah gak enak. Ketika sampai di rumah sorenya, saya buka pagar kemudian panggil-panggil:

Ayam Goreeeeng.... Ayam Goreeeng...

Tapi Ayam Goreng tidak tampak dimanapun. Saya pun cari-cari di seluruh penjuru halaman, di pojok-pojok kebun, di semua kandang ayam Papa Said, di atas pohon. Tapi Ayam Goreng was nowhere to be found. Perasaan saya makin gak enak. 

Ketika masuk ke dapur, saya lihat di meja makan ada opor ayam. Saat itu rasanya kayak ada yang meremas hati saya. Insting saya langsung mengatakan kalau yang di atas meja makan itu adalah Ayam Goreng yang telah dimasak jadi Opor. Saya gak berani tanya, takut perasaan saya makin hancur mendengar kenyataan yang diutarakan secara eksplisit. Dengan langkah lunglai saya langsung masuk kamar dan tidak pernah memandang opor itu untuk kedua kalinya.


Minggu, 04 Juni 2017

Cihampelas Skywalk

Bandung...Bandung...Bandung

Selalu saja ada terobosan-terobosan baru yang mengundang orang untuk berkunjung ke Parisnya Java tersebut. Saya ingat waktu saya kecil Bandung terkenal dengan pusat wisata belanja jeans di Cihampelas dan wisata belanja sepatu kulit dan tas kulit di Cibaduyut. Kemudian jaman saya kuliah disana trend beralih menjadi pusat wisata belanja Factory Outlet dan wisata kuliner. 

Sekarang walaupun era Factory Outlet sudah menurun drastis tapi saban weekend dan hari libur lainnya Bandung senantiasa ramai oleh wisatawan. Mungkin sekarang trendnya lagi wisata alam-alaman di sekitar Kota Bandung seperti ke Lembang, Ciwidey dan Dago. 

Sejak Pak RK jadi walikota, kota ini jadi makin unik, didandanin macem-macem. Salah satu yang lagi jadi tren adalah Cihampelas Skywalk atau bahasa Indonesianya Teras Cihampelas. Bangunan ini semacam jembatan selebar jalan yang membentang sejauh 450 meter diatas Jalan Cihampelas. Diatasnya ada taman-taman kecil, tempat duduk, kios-kios yang menjual makanan dan cinderamata. 

Beberapa waktu lalu saya ke Bandung untuk urusan pekerjaan saya sempatin untuk singgah. Waktu itu saya belum tahu pasti apa yang ada diatasnya, paling hanya lihat foto-foto instagram orang. Saya juga belum tahu lokasinya. Jadi waktu itu saya ke Bandungnya naik travel, gak bawa mobil sendiri. Sehabis meeting sama klien di daerah Pasteur, saya naik angkot sampai Cihampelas. Tapi angkot yang saya tumpangin tidak ke arah Cihampelas, saya harus ganti angkot di persimpangan gadog. Karena saya belum tahu letaknya, jadi saya putuskan jalan kaki saja sepanjang Cihampelas, ternyata lumayan jauh. Lewatin Rumah Sakit Advent kalau dari arah gadog. 

Struktur Cihampelas Walk tersebut benar-benar menaungi jalan raya, mobil-mobil lewat dibawahnya. Saya kesana di hari kerja siang-siang, jadi gak lihat macet. Saya jalan-jalan aja diatasnya. Lucu juga. Warna warni dan banyak tanaman, mudah-mudahan dirawat dengan baik supaya gak cepat kusam. Saya sempat makan siang batagor diatas situ. Yang paling penting, saya sudah tidak penasaran lagi. 




Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...