Minggu, 27 September 2015

Sade, Desa Tradisional Suku Sasak

Berkunjung ke Lombok tidak afdol kalau tidak mengunjungi desa suku asli Lombok yaitu Suku Sasak, maka saya, Chacha dan Pagit memasukan Kampung Sade sebagai destinasi wajib yang harus kami kunjungi. 

Begitu memasuki gerbang kampung yang sesak oleh turis siang itu kami langsung disambut oleh seorang bapak yang kemudian menjadi pemandu kami selama berada di sana. Kami diajak menyusuri lorong-lorong di antara rumah-rumah tradisional yang rangkanya terbuat dari kayu, dindingnya dari anyaman bambu dan lantainya terdiri dari campuran tanah dan kotoran kerbau.

"Lantai-lantai rumah ini rutin dilapisi kembali oleh kotoran kerbau," kata bapak pemandu. Lantai rumahnya berwarna abu-abu seperti semenan, tapi bukan. Warna abu-abu itu adalah warna kotoran kerbau yang mengering. Konon semakin sering dilapisi lagi maka lantainya akan semakin mengkilap.

Kami dibawa ke rumah yang pernah dijadikan lokasi syuting FTV. 


ruang tengah

dapur yang terletak di sudut kamar tidur
"Ini rumah pernah dijadikan syuting FTV, mba. Waktu itu anaknya ahmad dhani (Al) ikut menggosok lantai rumah dengan kotoran kerbau betulan. Dia tinggal disini lebih dari sebulan untuk syuting itu."

Ini sudah ketiga kalinya saya dengar warga lokal yang bangga kampungnya jadi lokasi syuting FTV dan kedatangan artis ibukota. Waktu saya ke Dieng, ngobrol-ngobrol sama warga lokal juga mereka menunjuk rumah yang pernah jadi lokasi syuting FTV. Begitu juga waktu saya ke suatu tempat di Jogja yang kayaknya sudah langganan jadi tempat syuting. 

"Jumlah rumah disini sudah tidak berubah dari bertahun-tahun lalu karena keterbatas tempat," kata si bapak.

Kami diajak masuk ke dalam rumah yang jadi tempat syuting FTV itu, rumahnya dua lantai. Lantai satu ruang tamu. Sedangkan lantai dua nya adalah kamar tidur dan dapur. Tidak ada sekat diantara kamar tidur dan dapur. Peralatan masaknya masih tradisional, menggunakan kayu bakar. 

"Terus kalau ada anaknya yang sudah besar, menikah dan punya anak semuanya tinggal di satu rumah?" 

Saya membayangkan bagaimana caranya beberapa generasi bisa hidup dalam satu rumah yang minimalis dan tidak begitu luas itu. Tapi ternyata enggak sih. Kalau anaknya sudah besar dan menikah mereka boleh memilih untuk tinggal di luar kampung Sade.

"Biasanya yang diwariskan rumah disini anak bungsu, yang sekaligus merawat orang tuanya. Kakak-kakaknya yang sudah menikah boleh tinggal di kampung yang terletak tidak jauh dari sini, tapi rumah-rumahnya sudah modern. Ada juga yang tinggalnya jauh atau merantau."
 
Atap rumah-rumah di kampung Sade terbuat dari alang-alang yang ukurannya tertentu dan dikeringkan. 

"Kalau warna atapnya sudah coklat, itu tandanya harus diganti." 

"Siapa yang ganti, pak?"

"Ya warga kampung gotong royong mengerjakannya. Disini semua anak laki-laki harus bisa membuat rumah. Kalau sudah bisa membuat rumah sendiri baru boleh menikah. Kalau anak perempuan, harus bisa menenun baru boleh menikah."

Suku Sasak sebaiknya menikah dengan sesama suku. Untuk meminang gadis Sasak biasanya keluarga pria disyaratkan membayar mahar berupa kerbau. Kalau gadis yang akan dipinang cantik dan pandai menenun, itu pasti jumlah kerbaunya yang harus dibayar calon mempelai pria pasti bakal banyak. 

Sepanjang perjalanan kami menyusuri lorong di sudut-sudut jalan ada perempuan-perempuan berbagai usia sedang asik menenun. Dari mulai nenek-nenek sampai gadis remaja. Ada seorang gadis remaja yang punya ilmu memintal benang yang diturunkan dari keluarganya, neneknya memintal benang, ibunya memintal benang, dan sekarang dia juga memintal benang. 




Kata si Bapak Sasak itu, sebenarnya kayu yang digunakan untuk alat memintal itu waktu jaman Belanda dulu bisa dipakai jadi senjata perempuan Sasak, bentuknya dikamuflase sebagai alat penenun padahal sebenarnya adalah senjata. Keren abis. 

Adzan Dzuhur berkumandang ketika kami sedang dibawa melihat sumur tua yang merupakan sumber air satu-satunya di Kampung Sade. Suku Sasak adalah penganut agama Islam. Di kampung itu terdapat salah satu masjid tertua di Lombok tapi bukan yang paling tua. Masjid paling tua di Lombok yang usianya sekitar 4 abad justru terletak di desa Bayan di kaki Gunung Rinjani. Sayangnya kami tidak sempat berkunjung kesana. 

Pagit meminta izin untuk sholat di situ.

"Sekalian saja sama saya sholat disana," si bapak pun memandu kami ke mesjid, memberi tahu dimana mengambil wudhu dan memberi pinjaman mukena ke kami. 

Dengan banyaknya turis berkeliaran di Kampung Sade, hampir tiap rumah disitu menjual souvenir khas lombok berupa kain tenun, gantungan kunci, gelang, kalung dan macam-macam. Rupanya istri si bapak pemandu jualan kain tenun. Kami pun kalap karena kainnya bagus-bagus dan harganya lebih murah dibandingkan yang dijual diluaran. Seperti biasa, yang belanja paling banyak sudah pasti si Chacha. Saya aja yang biasanya males belanja beli kain tenun, kain sarung tenun dan sajadah tenun - semuanya motif khas NTB. 

Acara belanja ditutup dengan foto bareng kami bertiga dengan Bapak Pemandu, istrinya yang jualan kain, dua orang anaknya yang lagi main-main disitu dan (tentunya) barang belanjaan. 


Senin, 14 September 2015

Terdampar di Muntilan

Sore itu, menjelang Magrib, saya dan kawan-kawan yang tersisa selepas pendakian ke Merbabu selama 3 hari 2 malam masih asik berbincang di basecamp. Sebagian kawan yang tidak nyasar, lagi girang-girangnya membully saya dan kawan lain yang sempat tersasar di jalan turun dari sabana ke basecamp Selo. Cerita nyasarnya yang komplit ada di postingan Salah Jalan.

Sebagian besar kawan serombongan saya sudah jalan duluan ke Jogja karena mengejar kereta kembali ke Jakarta yang akan berangkat sore hari. Sementara saya masih memilih bersantai-santai di basecamp karena tidak mengejar kereta. Awalnya saya ikut rombongan yang pulang duluan itu, malahan saya sudah punya tiket kereta pulang ke Jakarta barengan sama mereka. Tapi saya harus merelakan tiket kereta saya itu hangus.

Satu hari sebelum berangkat ke Merbabu, Papa Said tiba-tiba muncul di pintu kamar saya subuh-subuh memberitahu kalau di saat long weekend itu sekeluarga mau ke Bali dan saya disuruh langsung menyusul ke Bali sepulang dari Merbabu. Itu nanti akan saya ceritakan di postingan Mendadak Bali Part 1, yang belum saya tulis juga hingga sekarang. Tapi Part 2-nya sudah dipublish dan bisa dilihat di postingan Mendadak Bali Part 2.

Ada satu orang pendaki yang gabung sama kami, dia punya cerita seru waktu mendaki di suatu gunung, saya lupa gunung apa tapi pokoknya  tembusnya di Grojogan Sewu. Yang wajar perjalanan dari gunung itu ke grojogan sewu akan memakan waktu 2 hari 3 malam, tapi anehnya orang itu cuma merasa jalan selama satu malam saja. Sementara itu orang tuanya di rumah sudah sibuk mencari-cari dia karena tidak ada kabar selama 2 hari. Dia seperti terjebak di semacam dimensi waktu kayak twilight zone gitu. 

Ngobrol-ngobrol gak berasa kalau sudah makin sore, akhirnya setelah melalui diskusi dan riset angkutan apa yang akan kita pakai untuk ke jogja, pilihan jatuh ke mobil pick-up karena paling murah. Tapi karena supir tidak berani bawa penumpang di bak terbuka masuk ke daerah jogja maka kami akan diantar sampai terminal muntilan kemudian naik bus sampai ke Terminal Jombor di Jogja.

yang ga salah jalan (kiri) dan yang salah jalan (kanan)
Kami baru berangkat setelah magrib jadi ternyata tiba di Muntilan sudah kemalaman. Tiba di terminal bus ternyata sudah sepi, tidak ada bus lagi. Akhirnya orang disitu menyarankan kami menunggu di jalan raya, tapi jalan raya sudah sepi di Muntilan jam 9 malam. Akhirnya sopir inisiatif mengantarkan kami ke suatu pertigaan yang katanya selalu lewat bus AKAP yang mau ke arah Jogja. Kami diturunkan di pertigaan itu.

Satu jam berlalu tidak ada satu pun bus AKAP yang lewat di pertigaan itu. Makin lama yang tadinya lumayan banyak mobil berseliweran sampai hanya ada satu dan dua kendaraan yang melintas. Sempat ada dua atau tiga bus yang lewat tapi bukan ke arah Jogja. Kami semua sudah gelosoran di trotoar, bersandar di keril masing-masing sambil main-main henpon. 

Saya sudah mulai mengantuk, masih belepotan lumpur akibat salah jalan dan badan terasa lengket karena keringat. Masih memikirkan bagaimana caranya dari Terminal Jombor ke hotel yang saya booking melalui website booking hotel, yang tempatnya aja saya belum tau ada dimana. Harusnya sih dekat dengan Bandara Udara Adisucipto Jogja. 

Ngomong-ngomong soal Bandara Udara, saya mulai khawatir kalau harus terdampar di Muntilan sampai pagi karena pesawat saya ke Bali berangkat jam 6 pagi. Tiba-tiba de ja vu peristiwa di Malaka nih, nyaris gak bisa pulang karena gak dapat bus

Karena jalanan sepi jadi penantian itu rasanya lebih lama. Kemudian dari jauh terlihat bus yang ke arah Jogja, kami langsung bersiap-siap dan naik ke atas bus. Di terminal Jombor, sudah hampir tengah malam, say aberpisah dengan kawan-kawan saya naik taksi langsung menuju hotel yang ternyata hanya berjarak 7 menit ke bandara. Yaayy.. gak jadi ketinggalan pesawat ke Bali deh. Fiuh.

Selasa, 01 September 2015

Peliharaan-Peliharaan Tante

Sama seperti orang-orang yang saya kenal sepanjang kehidupan saya datang dan pergi, begitu pun yang terjadi dengan hewan-hewan peliharaan yang ada di rumah saya.

Ingatan pertama saya tentang hewan peliharaan kejadiannya ketika saya masih usia sekolah TK , dan itu bukan kenangan yang indah. Yang saya ingat pulang dari luar kota sama keluarga, kelinci peliharaan yang baru beberapa hari tergeletak nyaris tak bernyawa di muka pintu belakang rumah karena kelaparan. Beberapa saat setelah ditemukan nyawanya tidak tertolong dan hewan malang itu pun menghembuskan napas terakhir.

Sempat pindah-pindah rumah kontrakan di masa kecil saya membuat saya tidak pernah punya hewan peliharaan lagi. Beberapa kali saya berusaha memelihara keong-keong kecil yang dijual di depan sekolah SD saya, tapi umurnya tidak pernah lebih dari sehari. Waktu itu saya sempat berpikir, mungkin supaya hidupnya tahan lama keong itu harus dikembalikan ke habitat asalnya, yaitu air laut. Jadi saya ambil baskom, saya isi air dan garam, diaduk-aduk, kemudian saya cemplungin keong yang baru saya beli. Alhasil keong itu langsung terpisah dari cangkangnya. Sampai sekarang masih jadi misteri, kenapa bisa jadi kayak gitu ya?

Ketika saya kelas 6 SD akhirnya kami sekeluarga tinggal di rumah permanen (bukan rumah kontrakan) yang hingga sekarang masih kami tempati. Waktu lagi bermain-main di halaman samping saya menemukan seekor burung yang tampak sakit dan gak bisa terbang. Waktu itu kebetulan lagi ada guru les gambar adik saya, namanya Pak Budi. Menurut Pak Budi burung itu namanya burung cicit emprit. Saya pun langsung memutuskan akan merawat burung malang itu dengan penuh kasih sayang hingga pulih dan bisa terbang melayang ke angkasa dengan ceria bergabung bersama kawan-kawannya.

Saya menemukan keranjang anyaman rotan bekas parcel lebaran, setelah minta ijin sama Mama Said buat pakai keranjang itu saya alas bawahnya pakai kain-kain bekas. Kemudian burung yang sakit itu saya balut dengan handuk kecil dan diletakkan di keranjang. Malam harinya karena khawatir dia takut ditinggal sendirian di ruang tamu saya bawa ke kamar saya yang ber-AC. Keesokan paginya ketika saya bangun saya mendapati burung cicit emprit itu tak bernafas, kaku dan kering. Sepertinya dia mati kedinginan. 

Niat baik saya merawat burung itu malah berujung petaka baginya. Saya menyampaikan permintaan maaf kepada burung malang itu dengan menggali kubur di halaman samping rumah dan menebar bunga di atas kuburannya.

Suatu hari di halaman rumah saya ada jejak bercak-bercak darah berceceran yang ketika diikuti mengarah ke seekor anjing kampung putih yang bersembunyi di sudut garasi, tampangnya takut dan kesakitan. Setelah diamati ternyata satu kaki belakangnya dipotong orang pas di lutut dan mengeluarkan darah. Tatapan matanya meminta pertolongan. Setelah diberi susu yang awalnya dengan ragu diminum sama dia, akhirnya anjing itu mau kakinya diobati oleh Papa Said. 

Kami menamai anjing betina malang itu Kati - Kaki Tiga. 

Sehari setelah Kati tinggal di rumah kami, muncul temannya, anjing kampung betina kurus tinggi berwarna coklat. Karena dia juga akhirnya memutuskan menetap menemani Kati akhirnya saya beri nama juga - Ceking. Selama lebih dari 10 tahun Kati dan Ceking menjadi anggota keluarga kami, mereka doyan banget makan Astor. Seneng banget kalau disuapin Astor. 

Ceking sempat hamil diluar nikah (misteri siapa bapak dari anak-anaknya tidak pernah terkuak) dan melahirkan 4 ekor anak anjing, 3 ekor berwarna hitam dan tumbuh menjadi anjing hitam legam besar, 1 ekor lagi (anehnya) mirip Kati - pendek, putih dengan bercak coklat mirip sapi perah. Karena terlalu banyak peliharaan akhirnya anak-anak Ceking diberikan ke tetangga, teman Mama Said dan tante saya yang kepingin punya anjing. Padahal sempat ada dua anak Ceking yang saya kasih nama Pit dan Bleki sudah pintar banget, bisa diajak salaman, bisa disuruh berdiri dua kaki, bisa disuruh duduk. Saya yang ngajarin donk. Tapi anak-anak itu punya kebiasaan buruk suka gigitin sendal tamu yang berkunjung ke rumah, kalau sendal orang rumah sih ga digigit, cuma sendal tamu aja.

Suatu hari tiba-tiba Ceking menghilang entah kemana, mungkin menemukan belahan jiwanya dan memutuskan menghabiskan sisa hidup bersama anjing jantan pujaan hatinya itu. Tinggal Kati yang ada di rumah, hingga makin lama anjing betina lucu dan pintar itu semakin tua dan sudah lebih sering duduk sambil benging memandang keluar halaman. 

Kati meninggal di usia tua, kata Papa Said seperti sedang tidur di dalam kandangnya sendiri. Saya tidak ada disaat-saat terakhir hidup Kati karena waktu itu saya sudah kuliah di Bandung. 

Di kos-an saya pernah pelihara hamster yang saya beli di depan BIP. 

Waktu itu kawan satu kos saya punya peliharaan burung hantu kayak punya Harry Potter. Kamar saya sebelahan sama garasi mobil tempat dia menaruh kandang burung hantu nya, jadi saya sering dengar dia ngomong sama burung nya, "Lucky, sekarang kamu makan jaaaang....krik." Ngomongnya pake suara sok manis padahal orangnya laki, tinggi, besar.

Lucky itu lucu banget, kepalanya goyang-goyang kiri kanan kalau dengar lagu hip hop. Waktu itu kawan saya dengan sombong pamer, "Mil, Mil, liat nih si Lucky bisa joget," trus dia pasang lagu hip hop.. eh beneran loh burung nya kepalanya goyang ke kiri trus goyang ke kanan ngikutin beatnya. 

Saya Iri.

Dipenuhi perasaan kompetitif pengen punya peliharaan yang keren dan bisa dipamerin juga saya pergi ke depan BIP - Bandung Indah Plaza. Jaman saya muda di depan pelataran BIP itu memang mirip kebun binatang, segala macem binatang di jual disitu, dari mulai yang biasa-biasa aja kayak kelinci sampai hewan dilindungi kayak monyet, kukang dan burung hantu. Disitulah saya memutuskan mau pelihara Hamster. 

Dari 2 ekor hamster tiba-tiba jadi banyak dalam waktu beberapa bulan. Sepertinya mereka terus bereproduksi. Saya beli satu lagi kandang hamster yang kecil. Kemudian ada tragedi di kandang kecil itu. Saya tidak tahu kalau salah satu hamster yang saya letakkan di kandang kecil itu punya anak, tiba-tiba waktu saya pulang kuliah kandangnya sudah berdarah-darah dimana-mana kayak habis ada pembantaian. Bayi-bayi hamster tanpa kepala berceceran tak bernyawa. Satu hamster bermata merah tampaknya pelaku ganas pembantaian bayi-bayi monster itu, memandang saya dengan kejam dari balik kandangnya. Saya bahkan sempat melihat monster hamster mata merah itu nunjukin taring-taringnya, sumpah. hiih... Langsung sore itu juga saya berikan secara cuma-cuma ke abang penjual binatang di depan BIP. 

Periode memelihara hamster diakhiri dengan mati masal hamster-hamster saya sekandang. Saya curiga tragedi itu terjadi karena kesalahan saya tidak mencuci bersih sayuran yang saya beli dari pasar simpang Dago. Saya buru-buru cucinya terus langsung saya kasih makan ke hamster-hamster itu karena sudah nyaris telat kuliah. Malamnya pas saya pulang, semua hamster saya sudah tergeletak tak bernyawa. Innalilahi.

Tahun terakhir masa kuliah saya di Bandung, saat itu Chacha juga sudah gabung kuliah di Bandung jadi Papa Said kontrakin rumah buat kami berdua di kawasan Dago Pakar, saya sempat pelihara kura-kura brazil yang saya beri nama Hanamichi Sakuragi. Itu loh cowo rambut merah yang jago main basket di komik jepang Slam Dunk. Saya juga ga tau kenapa saya kasih nama itu, tiba-tiba pas saya lihat muka kura-kura brazil imut yang ukuran badannya cuma setelapak tangan saya itu tiba-tiba kepikiran aja nama Hanamichi Sakuragi.

Sempat ada perdebatan antara saya dan kawan saya, Slamet (bukan nama sebenarnya), yang nganterin saya ke jalan karapitan buat beli si Hanamichi Sakuragi. Kami berdebat si Hanamichi itu cewe atau cowo, soalnya dia kayaknya ga terima kalau saya langsung kasih nama cowo padahal gendernya masih belum jelas. Tapi saya yakin banget sama nama itu, seolah-olah si Hanamichi itu sendiri yang memperkenalkan namanya ketika ketemu saya. Walaupun agak aneh ya seekor kura-kura brazil dengan nama jepang.

Hanamichi Sakuragi saya letakkan di dalam kandang kecil bekas Hamster yang masih saya simpan, yang pernah terjadi tragedi pembantaian bayi-bayi hamster oleh monster hamster bermata merah. Waktu itu belum ada toll cipularang, jadi kalau mau pulang ke Jakarta dari Bandung naik kereta api. Setiap saya pulang ke Jakarta saya selalu bawa Hanamichi Sakuragi, saya pangku dia di dalam kandangnya yang sudah saya hias pakai batu-batuan di atas kereta. Hanamichi tampak sangat bahagia, mungkin dia adalah kura-kura yang dilahirkan sebagai traveler.

Tidak sampai 3 bulan usianya, Hanamichi Sakuragi saya temukan tergeletak tak bernyawa di dalam kandangnya. Beberapa kemungkinan penyebab matinya adalah sebagai berikut: terlalu banyak kasih makan, keberatan nama, atau mati kesepian karena gak tahan sendirian di kandang cuma bisa ngobrol sama batu.

Sempat ada periode beberapa tahun tanpa peliharan, kemudian datanglah era drama perkucingan di rumah saya. 

Di awali dari 4 ekor bayi kucing yang di terlantarkan oleh ibunya di pekarangan rumah saya. Dari 4 hanya 2 yang survive, saya kasih nama Snowy (karena warna putih polos) dan Bubu. Snowy tumbuh menjadi kucing betina yang cantik dan anggun, gaya jalan dan makannya ala-ala princess gitu. Snowy adalah idola kucing-kucing garong yang ada di sekitar rumah. Kalau datang musim kawin kucing di halaman rumah selalu ramai oleh kucing-kucing jantan yang berkelahi memperebutkan perhatian Snowy. 

Persaingan paling ketat terjadi diantara dua ekor kucing jantan yang paling kuat di area Jatibening dan sekitarnya. Seekor kucing yang lumayan ganteng, warnan putih bercorak abu-abu, badannya besar dan kekar dengan muka persegi yang menambah kemachoannya, saya kasih nama Henry. Satu lagi kucing garong dengan warna hitam pekat di seluruh tubuh, tinggi tapi lebih langsing dari Henry, saya beri nama Temi Blekedet, temi nya itu item dibalik, sementara blekedet itu kan kalo ditulis pakai bahasa inggris jadi black-cat-dead....dibaca cepet jadi blekedet.

Karena Henry lebih ganteng dan kekar, Snowy memilih Henry dan melahirkan 4 ekor anak. Sama seperti generasi pertama, dari 4 anak kucing yang berhasil hidup sampai besar hanya dua ekor, satu ekor kucing jantan yang saya beri nama Babu (karena motifnya mirip pamannya, Bubu, jadi dikasih nama Baby Bubu) dan seekor kucing betina saya beri nama Kucan (kucing macan karena warna bulunya mirip macan).

Sementara itu saudara laki-laki Snowy, si Bubu, tumbuh menjadi seekor kucing yang judes, galak, sinis dan pemarah. Sering cari gara-gara sama kucing garong yang melintas di dekat rumah tapi selalu kalah dan akhirnya cuma bisa ngumpet di dalam rumah minta perlindungan dari orang-orang rumah. Musuh bebuyutannya adalah Henry. Bubu selalu cari gara-gara kalau Henry datang, tapi ketika Henry marah dan Bubu merasa terpojok dia akan mengeong keras memanggil pertolongan dari orang rumah yang sudah pasti akan datang mengusir Henry dan menyelamatkannya.

Snowy sempat hamil dan melahirkan lagi. Pada saat anak-anak nya masih bayi dan waktunya dipindah-pindah tempat ada seekor rubah yang mengintai. Anaknya hilang satu per satu, hingga suatu hari Snowy berhadapan dengan rubah yang mau memakan anaknya. Terjadi perkelahian, hidung snowy robek karena cakaran rubah, untungnya saya dan chacha segera keluar rumah karena dengar ribut-ribut. Begitu rubah melihat kami dia langsung kabur. Tapi anak Snowy yang tinggal satu sudah terlanjur tewas dibunuh oleh rubah kejam sadis itu. 

Sejak peristiwa itu Snowy jadi pemurung, sering bengong dan malas makan. Yang tadinya kucing idola para kucing jantan se-jatibening yang cantik, anggun seperti princess, lambat laun mulai kumal, kurus, bulu-bulu rontok, dan hidungnya yang di cakar rubah tidak bisa sembuh seperti sedia kala. Suatu hari Snowy menghilang. Saya dan Chacha menduga Snowy jadi gila, berkeliaran tanpa arah di komplek sambil mencari-cari anaknya mengeong-ngeong, "anakku dimana, anakku dimana..." Tragis sekali nasibnya.

Anaknya Snowy yang saya kasih nama Babu di adopsi dan dimanja berlebihan sama Chacha. Makannya gak mau sembarangan, musti whiskas. Dikasih fried chicken aja gak mau sembarangan, musti KFC atau Four Fingers, dan jangan harap mau dikasih tulangnya, maunya daging dan kulitnya yang crunchy. Camilan kedoyanannya Mayonaise Hokben. Tidurnya ga mau dilantai, musti di atas kasur atau dialas kain bersih. 

Walaupun kucing jantan tapi warna favoritnya pink, saya juga gak yakin kucing itu bisa bedain warna atau enggak, tapi Babu kalau ada sesuatu warna pink Babu selalu tertarik kesitu. Seperti misalnya selalu memilih untuk tiduran di keset warna pink padahal banyak keset-keset dengan warna lain. Waktu saya punya sepatu pink dan saya letakkan di depan pintu kamar, Babu memilih untuk tidur diatas sepatu saya dan menolak diusir.

Saya tidak pernah akur sama Babu. Dia selalu cari masalah sama saya. Kalau saya marahin dia bakal ngambek melengos dan cemberut di atas rak diantara panci-panci sampai Chacha datang trus dia sok-sok manja tidur diatas kasur Chacha dalam kamar yang ber AC. Kalau saya lengah dia akan membalas dendam menggigit betis saya.

Suatu hari Babu yang manja dan gendut pernah berantem sama kucing garong. Saya lupa, pokoknya antara Henry dan Temi Blekedet. Lehernya luka hingga terpaksa dibawa ke dokter hewan dekat rumah, dijahit dan disuntik antibiotik supaya tidak infeksi. Terakhir kali Babu kembali ke dokter hewan itu ketika tiba-tiba Babu jatuh sakit. Tidak mau makan dan lemas. Ketika dibawa ke dokter katanya Babu kena virus yang menyerang bagian leher. Cepat sekali dia kurus, di saat-saat terakhirnya Babu sudah seperti tulang berbalut kulit. Kemudian sudah tidak kuat berdiri dan batuk-batuk, keluar lendir seperti dahak dari mulutnya. Malam itu saya dan Chacha sempat membawa Babu kembali ke dokter hewan, tapi tampaknya nyawanya memang sudah tidak bisa tertolong.

Malam itu, sedikit lewat tengah malam saya mendengar Chacha berteriak dari kamar sebelah, "Babu kamu kenapa? Kaaakkk.. Babu kaaak... Babuuuuuuuu...." Saya bergegas ke kamar sebelah, membuka pintunya dan mendapati Chacha lagi bercucuran air mata dengan Babu di pangkuannya. Sudah kaku tak bernyawa. Paginya dilakukan prosesi penguburan Babu, sorenya Chacha menghias kuburan Babu dengan bunga Lili yang di beli di toko bunga di tebet.

Babu punya satu saudara bernama Kucan, yang kemudian melahirkan anak-anak yang saya kasih nama Kucir dan Bluwek. Kucir juga pernah dibawa ke dokter hewan karena hamil di usia yang masih sangat muda, kehamilan dini akibat pergaulan bebas. Alhasil karena terlalu kecil dia belum bisa melahirkan anaknya, jadi anaknya tersangkut ketika mau dilahirkan. Dibawa ke dokter hewan ternyata sudah tidak bisa ditolong. Jalan satu-satunya hanya operasi tapi Kucir belum bisa di operasi cesar karena terlalu kecil, resikonya terlalu besar. Akhirnya sama dokter dikasih obat pencahar untuk membantu mengeluarkan anaknya. Tapi rupanya Kucir sudah terlalu banyak mengeluarkan darah ketika pendarahan sehingga nyawanya juga tidak tertolong.

Bluwek kucing kesayangan saya. Lucu, lincah dan mukanya cantik. Saya kasih nama bluwek karena sejak lahir warnanya pudar kayak kain yang sudah keseringan dicuci atau kebanyakan pemutih. Bluwek suka nonton tivi, apalagi kalau ada acara nyanyi-nyanyi dan warna warni. Jadi setiap acara Inbox di SCTV, Bluwek akan duduk paling depan TV. Dia juga suka liatin saya main iPad dengan keponya pengen coba garuk-garuk layarnya, pake kuku. Bluwek juga suka banget masuk tas, kantong plastik, ember, pokoknya wadah-wadah yang terbuka. 

Kucing-kucing di rumah saya yang tersisa, selain Babu, direlokasi sama Mama saya menjelang acara kawinan Chacha. Katanya kalau kebanyakan kucing dirumah nanti si Chacha bisa kena penyakit apa itu yang kalau hamil anaknya dimakan sama virus atau bakteri dari bulu kucing? Ironisnya kucing kesayangan si Chacha ga direlokasi, malah Bluwek yang harus tereliminasi. Eh terus kawinannya batal pula. Sekarang saya tidak tahu dia ada dimana, semoga ada orang yang menyadari kelucuan dan kepintarannya sehingga mengadopsi dan memberinya tempat tinggal yang layak dan makanan yang enak-enak.

Sekarang di rumah saya sudah tidak ada kucing, tapi masih ada dua ekor kelinci peliharaan Chacha yang saya kasih nama Gonjes (karena blasteran jadi bulunya gondrong) dan Cincha (nama panjangnya Cincharoura pake logat bule). Kayaknya di rumah yang suka kasih-kasih nama hewan peliharaan cuma saya aja deh. Papa Said gak kasih nama cuma suka rubah-rubah nama yang saya kasih, Babu jadi Babaluba, Gonjes jadi Gonjreng.

Sementara itu Papa Said pelihara ayam banyak banget, ayam-ayam kampung yang liar yang kalau punya anak tiap sore saya terpaksa musti ikut ngumpulin ngejar-ngejar nangkep anak ayam dimasukin kandangnya disuruh sama Papa Said, supaya gak dimakan tikus katanya. Selain ayam kampung ada sepasang ayam Arab dan 3 ekor ayam kate. Ayam-ayam kampung itu selalu pingin tau sama tanaman saya, kalau sampai ada satu yang berhasil masuk ke kandang tanaman saya langsung deh mengacak-acak dan mencabut semua tanaman yang ada disitu, tapi anehnya mereka gak peduli sama tanaman yang tidak dikandangin. Tampaknya memang hanya cari gara-gara. 



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...