Minggu, 30 Agustus 2015

Instagrammable: Dusun Bambu

Gara-gara penasaran sama istilah instagrammable, saya dan kawan-kawan pergi ke Dusun Bambu yang terletak di daerah Lembang, Bandung. 

Untuk pergi ke Dusun Bambu jalan yang dilalui sama dengan jalan ke Sapu Lidi, Kampung Daun, Kampung Gajah, Maja House, lurus-lurus saja ikuti petunjuk, lokasinya lebih jauh masuk ke dalam. Agak kaget juga sih lewat jalan itu karena jaman saya masih kuliah di Bandung beberapa tahun yang lalu, daerah itu masih sepi, sekarang sudah ramai dan padat.

Saya, Chacha dan kawan-kawan pergi kesana hari Sabtu, harinya jalan-jalan bersama keluarga. Kami rombongan jomblo nista bahagia berusaha keras berbaur diantara rombongan keluarga yang umumnya terdiri dari ibu, bapak, anak-anak kecil/remaja, dan kakek nenek di tempat rekreasi yang memang diperuntukan untuk keluarga. 

Di pintu gerbang masuk lokasi kami bayar tiket masuk yang setelah pulang bisa ditukar dengan sebotol air mineral atau tanaman di polybag. Di lobby Dusun Bambu, ada mobil odong-odong yang mengantar pengunjung ke lokasi-lokasi yang ada di dalam kawasan wisata itu. Saya dan sebagian kawan memutuskan jalan kaki menyebrang jembatan kayu melintasi sebidang kecil sawah yang ada di situ. Sementara Chacha dan sebagian kawan yang malas jalan kaki naik odong-odong. Kami bertemu lagi di lokasi utama yang jadi daya tarik Dusun Bambu, yaitu ruangan bentuk sarang burung yang instagrammable.

Kita bisa memesan makan siang dan makan di dalam 'sarang burung' itu, tapi bayar sewa ruangannya beda lagi per jam. Saya dan kawan-kawan hanya foto-foto di depannya, seperti yang kebanyakan dilakukan pengunjung di situ. 

Karena ramai sekali ambil fotonya harus antri dan gantian kalau tidak mau ada orang asing masuk ke frame foto kita. Jalan setapak berupa jembatan yang menghubungkan 'sarang-sarang burung' yang hanya selebar dua orang itu pun ramai sekali oleh pengunjung yang lalu lalang, perlu sedikit desak-desakan.

Setelah itu kami jalan menuju ladang bunga-bungaan mencari udara segar sambil foto-foto. Disini banyak pasangan yang berusaha selfie berdua bikin foto romantis diantara bunga-bungaan. Karena kami jomblo yaaaa jadi selfie sendiri aja.

Foto di ladang bunga yang instagrammable

Gak lama kami narsis di ladang bunga hujan rintik mulai turun, kami pindah ke area foodcourt. Seperti kebanyakan area foodcourt jaman sekarang, yang sebenarnya menurut saya gak efektif, disini belanjanya ga bisa langsung bayar ke counter-counter melainkan harus menukar kupon/kartu/uang-uang-an di loket untuk dibelanjakan ke gerai yang kita mau. 

Di Dusun Bambu bentuknya uang-uang-an, terdiri dari pecahan 100 ribu, 50 ribu, 10 ribu dan 5 ribu. Sesuai dengan nilai uang rupiah yang kita tukar di loket dengan uang Dusun Bambu yang kita gunakan di gerai. Gerai nya akan mengembalikan dengan pecahan uang Dusun Bambu yang nilainya sesuai dengan nilai rupiah. Saya paling males sama sistem kayak gitu, menurut saya tidak efisien karena harus antri dua kali (waktu tukar uang dan sewaktu belanja di gerai) dan lebih males lagi kalau ternyata uang rupiah yang kita tukar diawal yang tidak habis dibelanjakan tidak bisa ditukar lagi. 

Selain tempat makan dengan bentuk 'sarang-sarang burung' ada juga tempat makan lesehan di gubug yang terletak di sebrang danau, tapi kami tidak menyebrang danau. Konon katanya di dalam area Dusun Bambu juga ada penginapan (resort) dan ada perkemahan ekslusif. 

Tempat makan lesehan di seberang danau

Ada sungai-sungaian

Dari kunjungan ke Dusun Bambu ini saya menyimpulkan artinya instagrammable itu adalah bagus buat di posting di instagram, yang kalau kita kesana lihat aslinya harus siap andaikata gak sebagus yang kita lihat di instagram. Overall tempat ini lucu dan seru juga sih buat jadi alternatif tempat wisata keluarga.... ingat ya, keluarga.  



Senin, 17 Agustus 2015

Talas and bakso and everything nice

Ingat Pagit? Salah satu kawan jalan-jalan saya yang sering banget muncul di blog ini. Pagit sendiri juga punya blog dengan alamat sugarandspiceandeverythingnice , which is kalau kenal Pagit pasti sepakat kalau judul blognya itu merepresentasikan karakternya. Akhir tahun lalu kami mencari innerpeace di Lombok. Tahun sebelumnya kami jalan lebih jauh lagi ke timur, ke Flores. Dimana Pagit yang hampir pingsan karena masuk hutan demi air terjun terselamatkan di tengah jalan oleh rombongan bapak-bapak peneliti dari Bandung yang ternyata adalah kawan dari bibinya Pagit. 

Nah, libur setelah lebaran kemarin Pagit mengajak untuk berkunjung ke kota tempat tinggalnya di Bogor. Kebetulan waktu itu Lili - teman kami yang sama-sama pernah barengan di satu kantor, mau berkunjung ke Bogor. Saya langsung bilang iyess. Segampang itu karena saya memang gampangan. 

Saya mengajak Chacha yang sebelumnya belum pernah naik kereta commuter line sampai ke Bogor. Semakin ramai karena saya dan Chacha mengajak Tince a. k. a. Kartini, salah satu kawan jalan-jalan saya yang asik juga. Saya dan Chacha janjian ketemu dengan Pagit dan Tince di stasiun Bogor. 

Meeting point di KFC seberang stasiun. Tepat setelah Chacha menghabiskan cemilan spagetti nya, datang Pagit, Lili dan Susi. Tince datang setelah Pagit selesai menceritakan pengalaman terbarunya dijambret motor di dekat komplek rumahnya. Beberapa lama kenal sama Pagit kayaknya kehidupannya seru banget. 

Waktu itu ketika Pagit baru pulang dari jalan-jalan ke Philipina, dia sempat ikut menolong ibu-ibu mau melahirkan tengah malem. Jadi waktu itu dia sampai di Bogor tengah malah, lagi naik angkot menuju rumahnya ketika di tengah jalan ada sepasang suami istri dipinggir jalan, istrinya tampak pucat. Ternyata istrinya mau melahirkan. Pagit, satu-satunya penumpang di angkot itu langsung turun dan membantu mengangkat ibu-ibu itu. 

Sampai di bidan terdekat Pagit turun mengetuk pintu klinik tapi tak ada jawaban, sehingga dia harus memutari bangunan tersebut dan menggedor pintu belakangnya. Bidan langsung terbangun dan membuka kliniknya, Pagit secara heroik kembali membantu si ibu turun dari angkot sampai ke tangan bidan. 

Waktu dijambret pun Pagit dengan heroik nya sempat adu tarik tas dengan pencuri yang ada di atas motor hingga terjerembab dengan tali tas yang putus masih digenggamannya. Peristiwanya terjadi tidak jauh dari rumah Pagit, di komplek sebelah. Pagi itu, seperti pagi-pagi biasanya dia lagi jalan menuju stasiun kereta mau berangkat ke kantornya. Di jalan yang sepi tiba-tiba ada pengendara motor dari belakang yang meraih tasnya. Sempat terpikir oleh Pagit kalau itu tetangganya yang lagi iseng pura-pura menarik tasnya, tapi ketika dia menarik kembali tas itu si pengendara motor malah menariknya lebih kuat, Disitulah terjadi adegan tarik menarik seperti lomba tarik tambang 17 agustusan.

Ketika Tince tiba, kami semua langsung bergegas meninggalkan KFC. Tince sempat nyasar ketika keluar dari stasiun Bogor karena memang sedikit membingungkan dan jalannya berputar-putar. Kami semua naik mobil Pagit menuju pusat jajanan yang terletak di sebelah Bogor Permai. Saya langsung tertarik sama gerobak yang jual Laksa Bogor. Baru kali itu saya makan Laksa Bogor, isinya lontong, tauge, telor rebus, tahu, suwiran ayam, kuah nya mirip soto tapi ada wangi-wangi yang beda. Dessertnya Es Sekoteng yang isinya kelapa muda, alpukat dan biji merah delima, seger banget.

Tujuan berikutnya ke Jalan Surya Kencana. Susi yang baru pulang dari urusan kerjaan di Los Palos secara masif, sistematis dan agresif membeli jajanan-jajanan di sepanjang jalan itu. Oia, Los Palos itu salah satu distrik yang ada di Timor Leste. Pertama-tama tujuannya adalah Lumpia Basah yang dijual di seberang toko jual alat tulis tempat Pagit belanja keperluan sekolah waktu SD. Ini jenis lumpia basah yang kayak saya suka beli di depan kampus di bandung dulu tapi unik karena ternyata masaknya masih pakai arang. Yang lebih unik lagi sih karena biasanya kan kalau beli lumpia basah kayak gitu dikasih sumpit kayu buat makan, tapi ini gak dikasih.

Susi tanya ke abangnya, "ga ada sumpit nya?"

"Gak pake sumpit, neng. Makan aja kayak burger," jawab abangnya acuh tak acuh.

Setelah itu kami berjalan menyusuri trotoar sepanjang Surken, beberapa meter dan beberapa gerobak sate babi kemudian kami tiba di penjual Talas Kukus. Ini enak banget, saya suka. Talasnya bukan sate babinya, kalo sate babi saya belum pernah coba. Talas bogor di kukus, dikasih parutan kelapa terus makannya pake gula merah. The best lah. Favorit pisan.

Rencana awal, kami semua mau mengantar Pagit potong rambut di Botani Square layaknya rombongan mengantar orang naik haji. Yang berangkat satu orang, rombongan pengantarnya satu metromini. Tapi akhirnya kami malahan duduk-duduk di IPB samping Botani Square sambil makan jajanan talas kukus, combro dan lumpia basah yang makannya kayak burger.

Dulu saya, pagit, lili dan susi juga pernah piknik di Bogor. Waktu itu ada Tante Debi yang lagi pulang dari Kanada. Susi menyewakan angkot dan memasak untuk kami - ikan goreng, tempe, tahu, lalapan, sambal dan pete bakar. Bekal itu kami gelar di teras rumah orang. Numpang piknik. 

Setelah jajanan surken habis kami lahap dan Pagit mengurungkan niat untuk potong rambut, tujuan selanjutnya adalah ke suatu kedai kopi yang pemiliknya kenal dekat sama Tince, Ranin Coffee. Lokasinya dekat dengan tempat makan bakso favorit - baso seuseupan. Bakso nya enak banget, kuahnya segar ditambah lemak tetelan yang digoreng. Kami tidak mungkin hanya melewatkannya tanpa mampir. Akhirnya setelah ngopi-ngopi lucu sambil duduk santai di Ranin, kami makan bakso. 



Sabtu, 08 Agustus 2015

Naik Angkot ke Pasar, Beli Kopi

Satu hari setelah Rinjani.

Saya bangun tidur pagi-pagi dengan sekujur badan kaku dan tulang belulang remuk redam kayak habis terinjak-injak sama serombongan badak jawa. Engsel-engsel tubuh seperti mati gak berfungsi sehingga tangan dan kaki tidak bisa ditekuk. Kalau jalan... ya bayangkan saja, tangan lurus, kaki lurus, kayak robot. 

Susahnya kalau mau duduk dan berdiri lagi dari duduk, otot-otot di paha seperti tertarik semua. Sakit minta ampun. Belum lagi kulit punggung yang perih karena melepuh terbakar matahari sembalun, untung bawa kaos yang longgar jadi kainnya ga langsung kena kulit. Telapak kaki saya pun melepuh, muncul benjolan-benjolan seperti bisul yang lumayan terasa cenat cenutnya di tiap langkah. 

Tersiksa sedemikian sehingga tidak membuat saya kapok. Malahan dalam hati berharap bisa segera kembali lagi ke Rinjani yang indah. Mau kemping di pinggir danau Segara Anakan yang cantik dan bikin saya jatuh hati. Sekarang aja belum ada satu tahun berlalu, sembari nulis ini saya sembari menahan kerinduan yang membuncah.  

Saya, chacha dan pagit ada di sebuah hotel di kawasan Senggigi. Satu kamar hotel itu bau counterpain dan koyo. Selain saya yang sakit-sakit badan sehabis dari Rinjani, Pagit juga kakinya pegal akibat naik turun tangga air terjun di Senaru. Rencananya siang itu kami pulang ke Jakarta. Chacha bilang dia kayak lagi jalan-jalan sama nenek-nenek karena bau counterpain dan koyo. Mulutnya emang suka pedes kalo komentar, padahal sudah saya kasih chocolate Snickers yang sempat ikut naik turun Rinjani, belum termakan karena saya ikut operator tur hiking yang makanannya berlimpah ruah.

Setiap hari selama seminggu disana kami minum kopi Lombok, alhasil kami ketagihan. Chacha pun bertekad tidak akan meninggalkan tanah Sasak itu sebelum membeli kopi lombok yang asli, belum dikasih label oleh-oleh, dan bukan dibeli di airport. Dari hasil tanya-tanya sama resepsionis hotel dia dapat info kalau kopi lombok dapat di beli di pasar yang jaraknya lumayan dekat sama hotel. Tinggal sekali naik angkot. Sekilo kopi harganya 50ribu. Ada juga yang sudah dicampur dengan tepung jagung, harganya lebih murah, 1 kilo 25 rb.

Walaupun babak belur dan jadi bahan ketawaan chacha dan resepsionis hotel karena jalan saya kayak robot, saya gak mau ketinggalan cari kopi di pasar. 

Angkot di Lombok gak kayak angkot di Jakarta atau di bandung atau di bogor. Angkot nya semacam mobil bak pick-up yang di modifikasi ditambah penutup supaya penumpang tidak panas dan kehujanan. Otomatis tingginya juga lebih tinggi dari angkot mobil minivan. 

Berdiri dari duduk saja sudah tersiksa, PR banget harus memanjat masuk angkot. Pertama-tama saya harus berjuang mengangkat kaki saya yang sudah lupa cara menekuk itu untuk menapak di pijakan pintu masuk nya, sementara otot-otot paha saya yang nyeri harus menahan beban badan. 

Saya meringis.

Sampai di dalam pintu badan harus membungkuk supaya kepala tidak kena atap, pinggang yang rasanya kaku karena 3 hari menggendong backpack langsung bunyi kretekretek. Dan di punggung saya yang melepuh rasanya ada sekawanan semut yang gigit-gigit gemes.

Adudududududuuuuhh.

Overall, mungkin orang lain yang melihat saya masuk angkot itu kayak liat nenek-nenek tua rematik yang abis lari marathon.

Segala sakit dan perih saya tahan, saya bela-belain, demi kopi lombok. 

Pagi itu angkot dari senggigi menuju pasar yang kami tumpangi sudah berisi 1 orang nenek-nenek, 1 orang ibu-ibu paruh baya dan seorang anak gadis. Orang lokal. Tampaknya turis yang naik angkot saat itu hanya kami bertiga. Nenek yang diangkot itu dari awal saya masuk sudah ngeliatin, mungkin dalam hatinya mikir kalau ada lomba balap karung sama saya sudah pasti nenek juaranya.

Di tengah jalan angkot diberhentikan oleh seorang bapak ber helm, beliau menitipkan anak laki-lakinya yang masih kecil banget, pakai seragam sekolah SD, mungkin baru kelas 1. Si bapak menitipkan anaknya ke supir angkot dan ibu-ibu penumpang angkot untuk menurunkan anaknya di sekolahan yang berjarak beberapa meter dari situ karena di depan ada razia motor. Sepertinya si bapak tidak bawa surat-surat lengkap. 

Anak kecil itu pun melompat ke pangkuan ibu-ibu penumpang. Kemudian di sekolahan SD Negeri tak jauh dari situ supir angkot menepi. Diluar pagar ada seorang perempuan, tampaknya seorang guru, sudah menanti angkot itu. Rupanya di bapak tadi juga menghubungi guru anak ini untuk menjemput nya di depan sekolah. 

Mendekati pasar, pak supir sudah memberi aba-aba untuk bersiap-siap. Kami pun turun dari angkot memasuki pasar. Kami bertanya di deretan toko yang menjual sembako - macam beras, gula, minyak - dimana toko yang jual kopi lombok. Ibu itu bilang sebenarnya dia jual tapi sudah habis, kami dirujuk ke tiga toko sebelahnya. 

"Kebetulan masih ada, tapi hanya tinggal 2 kilo," kata ibu gempal yang mengenakan kain bawahan batik dan kaos oblong. 

"Ini kopi yang tidak dicampur kan, bu?" tanya chacha

"Asli ini dek, coba saja," kata ibu sambil mencontohkan memasukan serbuk-serbuk kopi ke dalam mulut dan memakannya, "enak, baru digiling tadi pagi."

2 kg kopi untuk bertiga masih kami rasa kurang. Maka kami masih terus blusukan ke dalam pasar sambil mencari kali aja ada toko lain yang jual kopi. Di dalam sempat ada ibu-ibu yang tanya, "mau cari apa?"

"Cari kopi lombok, bu."

"Ayo saya antar, ke belakang situ." katanya menunjuk ke arah deretan toko tempat kami beli kopi ini tadi.

"Tadi juga kami beli di sana, bu. Tapi katanya habis, tinggal ini," saya menjawab sambil menunjuk ke plastik yang dibawa.

"oo begitu. kalau begitu saya tahu tempat lain, di belakang tapi masuk kedalam,"kata ibu itu lagi sambil bisik-bisik.

Jadi ngeri karena pake bisik-bisik, kami langsung ambil ancang-ancang melipir sambil bilang,"eh tapi kayaknya ini cukup sih bu."

bhay!

hiiiihh.... tiba-tiba merinding.

Menuju pintu keluar kami tertarik dengan pedagang-pedagang makanan yang berjajar. Kelemahan kami bertiga memang sama makanan sih. Kalau ada tukang jualan makanan, atau bahkan hanya baunya saja sudah bisa bikin kami bertiga hilang fokus. Macam-macam makanan sarapan dan kue-kue warna warni di jual. Kami pun terpaku, membelalak, pengen ini, pengen itu.  Tapi kami paling tertarik dengan penjual yang sedang kipas-kipas sate, ketika ditanya dibilangnya itu sate rembiga. 

"Apa itu sate rembiga?"

"Sapi," kata penjualnya.

Kami pun langsung beli, walaupun di hotel sudah sempat sarapan nasi goreng.

Saya dan Pagit kan harus banyak makan supaya cepat pulih dari pegal-pegal. 

Di atas angkot yang ngetem di depan pasar kami mencicipi sate rembiga yang ternyata enak. Pedes Manis Gurih. Nyesel belinya kurang banyak. Tapi mau balik lagi saya mikir turun naik angkotnya yang nyiksa banget. Ah.. sudahlah. Kapan-kapan aja kalo balik lagi.

Sempat ada insiden pohon tumbang di tengah jalan sehingga angkot yang kami naiki kena macet sekitar setengah jam, menunggu pohon yang tumbang itu dievakuasi warga. 







Minggu, 02 Agustus 2015

Dari kebun langsung ke perut

Saya tertarik dengan satu teori yang pernah saya baca di suatu tempat. Sayangnya saya lupa dimana sumbernya, udah lama banget. Teori itu menyatakan kalau apa yang kita makan akan bermanifestasi di dalam diri kita. Misalkan kalau kita makan sapi yang semasa hidup nya tidak bahagia, maka yang memakannya juga bisa merasakan emosi yang sama. Apalagi kalau ketika di pejagalan sapi tersebut mengakhiri hidupnya dengan perasaan takut dan resah, perasaan itu terbawa ke serat-serat dagingnya yang kita makan dan di pencernaan kita diproses dan ikut terbawa ke aliran darah di tubuh. 

Jadi kalau kita sering merasa gak tenang, galau, pengen marah terus atau tiba-tiba merasa sedih sendiri sampai depresi, jangan-jangan sebenarnya itu perasaan hewan ternak yang eksistensinya merupakan hasil rekaya dan manipulasi manusia sedemikian sehingga mereka merasa hidupnya hampa dan tidak bahagia karena harus berakhir di pejagalan pada usia yang relatif muda sementara nenek moyangnya bisa hidup hingga 10 kali lebih lama. Mereka yang lahir karena inseminasi buatan, bukan hasil reproduksi natural dari hewan jantan dan betina kemudian jadi daging yang kita beli di supermarket atau restoran untuk dimakan.

Saya pernah deh waktu itu ngebahas soal sapi ternak disini 

Gak ada bukti scientific yang berkaitan dengan teori ini sih, tapi menurut saya itu menarik.

"We are what we eat."

Setelah lebih dari satu tahun mulai menanam sayur-sayuran, saya jadi sadar kalau tanaman juga bisa terlihat sehat dan bahagia. Gak tau ini nyata atau hanya sugesti saja, tapi ketika dimakan rasanya berbeda - lebih segar, juicy dan tidak ada rasa sepah. Mudah-mudahan teori diatas itu benar, saya berharap kalau tanaman-tanaman yang saya besarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang itu tumbuh menjadi tanaman yang bahagia dan yang memakannya juga merasa ikut merasa bahagia. 

Tomat Cherry manis 

Semua yang di piring kecuali ikan dan bawang dari kebun princess

Tumis Kangkung

Sampai saat ini, karena memang juga tidak banyak, mayoritas yang saya tanam untuk dimakan sendiri. Tapi pernah juga saya menyumbang kangkung, kacang panjang dan terong ungu ke mama said untuk dimasak. Ya tapi ujung-ujungnya saya juga yang makan.

Waktu tanaman buncis dan kacang panjang berbuah, saya suka gak tahan godaan buat metikin satu-satu dan memakannya langsung mentah-mentah dan ternyata enak. Bayam, kangkung, sawi yang langsung dipetik juga masaknya gak ribet-ribet, cuma ditumis pakai bawang dan cabe saja udah enak banget. Cabenya juga hasil kebun sendiri tentunya. Dikukus sebentar juga enak, rasa manis sayurnya lebih terasa. Saya malahan pernah campur daun bayam mentah di salad. 

Sawinya memang kurang besar karena di tanam di polybag, tapi tampak segar kan?

Seikat kangkung

Kadang saya suka sedih lihat daun bayam dan kangkung yang lesu di supermarket, mungkin mereka lelah karena sudah melalui perjalanan panjang dari tempat nya ditanam, ditambah penantian panjang di pendingin swalayan. Apalagi kalo liat harganya, jadi sensitif banget karena teringat kalau panen bayam dan kangkung di rumah daunnya besar-besar dan segar karena belum dehidrasi. Sayur juga bisa dehidrasi kayak manusia. Sayangnya keterbatasan waktu dan lahan membuat saya jadi ga bisa makan sayur hasil tanam sendiri setiap hari.

Saya pernah bilang kan kalau saya gak suka terong ungu. Saya cuma senang menanamnya saja. Tapi penasaran juga karena menurut orang di rumah rasanya lebih manis dari yang biasanya beli, minggu lalu saya mulai coba makan terong. Awalnya cuma di goreng biasa untuk dimakan pakai sambal, sengaja saya petik terong yang ukurannya paling kecil. Kemudian saya ada ide buat menggorengnya pakai tepung ala-ala tempura, ternyata enak juga. 



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...