Rabu, 31 Desember 2014

Catatan Penghujung 2014

Saya selalu membuat catatan penutup setiap tahun di blog ini, tapi 2014 tidak seperti tahun yang sebelumnya. Di tahun 2014 saya menulis Catatan di Pertengahan 2014, tentang Comfort Zone

Pertengahan 2014, adalah saat saya menyadari bahwa there is no such thing as comfort zone, yang kita lakukan di hidup ini intinya untuk survive hari demi hari. Setiap pagi adalah 'hari baru' dengan tantangan baru yang harus dihadapi dan setiap malam adalah saat hari berakhir, kemudian kita kembali ke 'hari baru' selanjutnya dengan tantangan baru yang berbeda yang dalam waktu 24 jam akan berakhir. Hidup adalah suatu siklus. 

Akhirnya di windu ke-4 kehidupan ini, saya memutuskan akan mulai memandang hidup ini satu siklus hari - satu siklus hari saja. Sebenarnya ada istilah bahasa inggris untuk ini: Taking one day at a time. Kalau menurut saya sih sebenarnya sama seperti kalau kita makan, walaupun ada nasi sepiring di hadapan kita tapi tetap saja yang bisa kita masukan ke dalam mulut kita hanya satu suap demi satu suap, dengan cara itu kita bisa lebih menikmati dan mencerna makanan kita. 

Buat saya dengan cara fokus di satu siklus hari saja, membuat kekhawatiran saya terhadap masa depan yang belum pasti terjadi berkurang secara drastis. Mengurangi keparnoan terhadap apa yang belum pasti terjadi ternyata efeknya mengurangi kegalauan yang berkecamuk karena hal ga jelas.  

Ketika di awal tahun 2014 saya memutuskan untuk jalan-jalan ke Timor Leste, kawan-kawan saya pada mikir saya orang aneh, "ngapain lo ke timor leste? nyusul KD?" Mereka nanya, kenapa gak ke derawan? kenapa ga ke raja ampat? kenapa ga body surfing di green canyon? Semua hal yang jadi semacam destinasi wajib turis itu belum ada yang pernah saya kunjungi. Kenapa malah ke Timor Leste yang ga ada apa-apa itu?

Waktu itu saya jawab, "yaaa pengen aja liat bagaimana keadaan negara yang baru berdiri." Kan jarang-jarang ada kejadian begitu. Kalau saya tunggu 10 tahun lagi untuk ke sana ya mungkin udah ga baru-baru amat. Saya mau lihat bagaimana kehidupan orang yang tinggal di negara yang harus membangun segala sesuatu nya dari nol - from scratch - infrastruktur nya, gaya hidupnya, nasionalismenya, identitas budaya nya, bahkan mungkin jati diri nya sebagai warga dunia. 

Kunjungan saya beberapa bulan ke daerah Merapi juga membuat saya kembali dihadapkan pada suatu kehidupan yang harus dimulai dari awal. Hidup itu adalah siklus. Kalau mau melihat jauh ke belakang, ada saat dimana asteroid jatuh ke bumi dan memusnahkan dinosaurus dan seluruh organisme yang hidup di jaman jurassic itu, kemudian terbentuklah organisme yang sama sekali baru yang memulai dan lambat laun membangun eksistensinya sebagai mahluk hidup di bumi. 

Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan segusar apa pun kita mengkhawatirkan nya dan berusaha memprediksinya. Ketika saya sadar itu, banyak hal yang buat saya jadi kurang penting lagi, seperti misalnya baju-baju brand luar yang saat opening dan sale selalu dipenuhin orang-orang. Bahkan ketika di awal tahun kamera underwater saya rusak dan tidak tertolong, saya merelakannya. Ketika memutuskan mau beli kamera pocket baru saya mikir, saya butuh barang ini atau saya hanya kepingin punya? Akhirnya hingga tahun 2014 mau berakhir saya belum beli camera pocket baru karena iPhone saya bisa berfungsi ganda sebagai kamera juga. 

Walaupun suka was was dengan batere iphone yang lebih cepat habis daripada camera pocket yang tahan berhari-hari, tapi ternyata mengurangi satu set gadget (lengkap dengan alat chargernya) jadi memudahkan saya ketika travelling. Hidup pun mungkin begitu, dengan mengurangi beban berupa barang-barang seperti itu akan membuat hidup lebih mudah dan lebih ringan. 

Sama seperti kita memutuskan apa yang mau dibawa ketika travelling supaya ga ribet, kita pun harus memutuskan apa yang mau kita bawa dalam hidup dan mana yang harus ditinggalkan. Hal itu termasuk perasaan-perasaan kita yang bikin berat hidup seperti misalnya perasaan pengen sama kayak temen kita si "anu" yang tiap 3 bulan sekali jalan-jalan ke luar negeri, atau pengen sama kayak temen kita si "cuplis" yang sepantaran tapi udah posisi manager dan mobilnya CRV. 

Apakah kita butuh seperti itu atau cuman kepingin aja seperti itu?

Buat saya, dengan bisa menerima diri saya ini seperti sekarang dan mensyukuri nya membuat hidup saya lebih ringan, ga keberatan sama ekspektansi.

Kata Jason Mraz di lagu nya, "Let's hike in the mountains and challenge our will," itu lah yang membawa saya ke Rinjani. Sebenarnya cita-cita mau ke Rinjani sudah ada sejak 3 tahun yang lalu tapi baru terlaksana tahun ini. Sejujurnya saya takut gak siap secara fisik, tapi kalau menunggu sampai siap rasanya saya gak akan siap-siap sampai waktu yang tak terhingga. Jadi saya hanya...

.....pergi. 

Begitu saja.

Beberapa hari setelah kepulangan saya, blackberry saya error. Semua foto yang tersimpan di memory card-nya hilang dan banyak foto-foto saya di Rinjani yang belum saya backup. Diantara itu ada foto saya main layangan di Segara Anak, foto favorit saya. Tentu saja saya sedih dan menyesali kejadian itu, tapi ketika hari berakhir saya memutuskan merelakannya. Keesokan pagi saya memulai hari baru tanpa penyesalan dan udah ga larut dalam kesedihan gara-gara foto yang terhapus. Buat saya yang penting adalah experience saya main layangan di segara anak, bukan sekedar foto saya lagi main layangan yang terhapus di memory card BB.  

Belakangan ini saya menemukan bahwa experience dalam acara jalan-jalan saya yang seringnya ga terkonsep menjadi hal yang lebih penting dari tujuannya. Kemanapun destinasi nya, akan selalu ada pelajaran baru yang menambah makna dari hari-hari yang saya jalani, membentuk apa yang menjadi diri saya hingga sekarang ini. Hingga akhirnya saya benar-benar tidak peduli kemana destinasi petualangan saya berikutnya karena buat saya sekarang setiap hari adalah hari baru, tantangan baru, petualangan baru dan tentunya pelajaran baru.

Selamat Menyongsong Tahun 2015.

 

Rabu, 24 Desember 2014

Merapi

Ketika komputer atau smartphone kita sering nge-hang, mungkin seringkali kita mengambil jalan pintas untuk menekan tombol reset. Dengan menekan tombol reset kita 'memaksa' perangkat elektronik kita untuk memulai segala sesuatu dari awal, beberapa file yang belum kita save mungkin akan hilang. Untuk kasus smartphone mungkin saja reset yang kita lakukan untuk memulihkan fungsi nya memerlukan pengorbanan menghapus semua data-data. 

Itulah yang ada di pikiran saya yang random ini ketika mengunjungi Merapi dan melihat sisa-sisa bekas letusannya di tahun 2005. Saat itu rumah-rumah, kebun-kebun dan segala sesuatu yang ada di daerah itu habis dilahap aliran lava panas. Hewan-hewan ternak yang terperangkap tinggal tersisa tulang belulangnya. Motor-motor yang ditinggalkan pemiliknya seperti tanaman yang layu kepanasan - coklat, kering dan menyusut.

Beberapa bulan lalu, tujuh tahun dari peristiwa yang catastrophic itu, saya, Dayu Ary dan Lexis mengunjungi daerah bekas letusan Gunung Merapi di Jogjakarta. Konon katanya Gunung Merapi, Keraton dan Pantai Parangkusumo (Pantai Laut Selatan) berada dalam satu garis lurus. Di Merapi vegetasi-vegetasi baru sudah tumbuh subur dan rapat di tanah vulkanik, memulai suatu ekosistem baru. Saat itulah saya kepikiran soal reset. Walaupun dalam kasus ini reset nya drastis banget, harus hancur-hancuran hingga semuanya habis jadi nol - kosong. Dan seperti kata penjaga pom bensin pertamina kalau kita mau isi bensin, "dimulai dari nol ya."

Pasir-pasir dan batu bekas letusan gunung merapi sekarang di tambang oleh warga

Motor yang jadi korban

Tumbuh-tumbuhan sudah mulai tumbuh subur lagi
Bagi penduduk disana ketika bencana terjadi mungkin itulah mimpi terburuk mereka. Bahkan sangking menyeramkannya mungkin banyak yang tidak berani hanya untuk sekedar memimpikannya. Rumah, barang-barang, ternak, kebun yang dikumpulkan dalam waktu bertahun-tahun habis dalam waktu beberapa jam saja. Pernah gak kita meluangkan waktu beberapa menit saja untuk ngebayangin kira-kira apa yang akan terjadi dan gimana perasaan kita kalau besok pagi kita bangun dari tidur dan semua yang kita (anggap) punya kita hilang?

Betapa sering nya kita dengar istilah kalau apa yang kita miliki di dunia ini hanya pinjaman dari Tuhan, tapi lebih sering kita lupa dan menjalin suatu keterikatan dengan benda-benda itu. Seperti ketika setahun lalu saya kehilangan Blackberry yang sudah saya gunakan selama bertahun-tahun, saya mengikatkan diri saya dengan blackberry itu melalui kenangan yang telah kami lewati bersama, karena itu kehilangannya membuat saya sedih. 

Kecenderungan manusia untuk mengikatkan diri dengan benda dan/atau manusia lain lah yang mungkin membuat hidup ini selalu ga tenang karena selalu merasa takut kehilangan. Hal itulah yang membuat perusahaan-perusahaan asuransi makmur, menjadikan ketakutan dan kekhawatiran kita sebagai bisnis menguntungkan. Semakin banyak yang kita punya, maka rasa takut kehilangan itu akan semakin besar, dan semakin makmurlah perusahaan asuransi.

Yah, seperti yang saya bilang waktu itu 
"maybe that's what true freedom is, kita gak takut kehilangan apa pun lagi kalau kita ga punya apa-apa"
Tapi sepertinya kebebasan memang harus selalu diikuti oleh keberanian. Pertanyaannya, ada berapa banyak orang yang berani untuk ga punya apa-apa.

Lava dan copet mungkin hanya salah satu/dua cara untuk mengingatkan manusia bahwa setiap saat kita harus siap kehilangan. Kata orang-orang jaman dulu, dunia ini seperti roda yang berputar, dengan kata lain kehidupan ini adalah suatu siklus. begitu pula dengan kehilangan yang diawali dari kedapetan, akan berubah menjadi kedapetan lagi. Jadi kita harus selalu siap menyambut siklus: kedapetan - kehilangan - kedapetan. Dan yang challenging dari kehidupan ini adalah, kita ga akan pernah tau kado kejutan manis apa yang akan kita dapat setelah kehilangan. 

Seperti waktu saya ke Merapi, setidaknya ada dua peluang usaha baru setelah bencana itu: tambang pasir untuk bangunan dan wisata tur mengelilingi kawasan bekas letusan Merapi. Melewati gerbang selamat datang di kawasan Merapi ada beberapa operator tur di sisi-sisi jalan yang menawarkan tur keliling Merapi dengan mobil Jeep. Saya, Dayu Ary dan Lexis, ikut tur semacam itu menggunakan jeep. Ada 3 rute yang ditawarkan berdasarkan jarak, kami memilih yang paling dekat saja, melewatkan rute yang mencakup makam Mbah Maridjan.  

"dapet jeep ini darimana?" saya iseng bertanya sama guide yang merangkap supir jeep kami.

"cari di b*rniaga.com, mba," jawabnya santai.

Tur berakhir di mata air di kaki gunung merapi luput dari aliran lahar panas.


Senin, 22 Desember 2014

Seminggu di Lombok

Akhir Oktober 2014, dua tahun berlalu sejak awal rangkaian perjalanan mencari innerpeace. Selama satu minggu penuh, tepat tujuh hari - saya, Chacha dan Pagit meninggalkan hiruk pikuk ibukota yang makin memenatkan. Kami berangkat untuk menambah satu episode dalam rangkaian perjalanan mencari innerpeace - destinasi : Pulau Lombok.

Sinar matahari pagi menyapa kami bertiga yang berada dalam taksi melaju menuju bandara Soetta. Perjalanan Innerpeace ini dibuka dengan sarapan paket nasi ayam A&W, beberapa potong gorengan bakwan dan Beard Papa's Cream Puff. Keberangkatan sempat tertunda beberapa puluh menit walaupun itu adalah penerbangan pertama dan cuaca cerah. Sebagai orang Indonesia yang punya sifat dasar pemaaf dan penuh pengertian, kami bertiga hanya bergumam pasrah "yaaaah.. maklum deh, namanya juga L***"

Rencana ke Pulau Lombok ini didasari oleh niat saya untuk mewujudkan cita-cita mendaki Rinjani. Chacha memutuskan ikut ke Lombok, tapi waktu saya ke Rinjani dia ke Gili Nanggu. Kami mengajak Pagit turut serta, gayung pun bersambut. 

Kami membagi perjalanan satu minggu ini menjadi dua segmen, segmen pertama di sepakati lokasi yang dipilih adalah Lombok Selatan, segmen kedua adalah saat kita berpisah - saya ke Rinjani, Chacha dan Pagit ke Gili Nanggu. Waktu cari-cari penginapan di daerah Lombok Selatan, kami menemukan satu tempat bernama Bumbangku yang langsung menimbulkan semacam panggilan jiwa buat saya. Pertama, saya suka banget sama namanya, ga tau kenapa. "Bumbangku". Kesannya eksotis gitu. Kedua, penginapan ini adalah resort yang terletak di pinggir pantai tapi harganya terjangkau.

Melihat foto-foto nya di internet saya langsung membayangkan duduk di pinggir pantai, dibawah payung bambu beratap alang-alang kering khas Lombok saat matahari terbenam, langit berwarna kuning keemasan, sambil bermain ukulele menyanyikan lagu Cayman Island - Kings of Convenience. Ide ukulele itu langsung ditentang secara keras oleh Chacha. Padahal saya sudah mengusulkan dia buat ikut main pukul-pukul galon kosong gaya-gaya perkusi untuk mengiringi ukulele, tapi tetap saja Chacha ga setuju.




 Jadi garis besar perjalanan innerpeace kami kali ini adalah sebagai berikut, 3 hari di Bumbangku, 1 hari menyusuri pantai-pantai indah di sepanjang Lombok Selatan - Pantai Kuta, Selong Belanak dan Mawun, 3 hari di Rinjani untuk saya, 3 hari di Gili Nanggu untuk Chacha dan Pagit, terakhir menginap semalam di Senggigi sebelum kembali ke Jakarta. 

Di hari menyusuri pantai-pantai Lombok Selatan kami sewa mobil dari rekomendasi Cipu. Drivernya yang asik dan gaul bernama Mas Koko ternyata masih inget banget sama Cipu, entahlah ada apa diantara Cipu dan Mas Koko sampai berkesan banget. 

Saya mendapat kejutan ketika baru turun dari Rinjani. Saat itu jam 12 siang, saya mengabari Chacha kalau sudah turun dari Rinjani dan akan diantar ke Senggigi. Tapi chacha kemudian menelpon, mengabarkan kalau dia, Pagit dan Mas Koko sedang dijalan menuju Senaru. Rencananya mereka mau ke air terjun Sindang Gile dan Tiu Kelep sembari menunggu saya turun gunung. 

Di halaman kantor Rudy Trekker (operator tur saya ke Rinjani) mereka bertiga berhamburan keluar mobil demi buru-buru melihat kondisi saya udah sehancur apa. Raut kecewa di wajah-wajah mereka ketika melihat kondisi saya ga hancur-hancur amat. Dan dengan penuh ketegaan saya masih juga di seret untuk ikut ke air terjun. Blisters di telapak kaki saya menggigit-gigit perih di tangga menuju dan pulang dari air terjun. Walaupun begitu saya tidak menyesal karena air terjun nya indah banget, terutama yang Tiu Kelep walaupun jalan kesana nya lebih jauh dan harus nyebrang-nyebrang aliran sungai. 

Jalan menuju air terjun Tiu Kelep
Keesokan paginya saya bangun di kamar hotel di Senggigi dengan kaki yang tidak bisa ditekuk dan meruapkan bau Counterpain dari sekujur tubuh.




Jumat, 12 Desember 2014

Menanam Tomat

Hidup saya telah di domestikasi oleh tanaman Tomat.

Berawal dari keisengan ketika ke ACE Hardware, saya membeli sekotak starter kit untuk menanam tomat tanpa tendensi apa-apa. Murni cuma iseng aja, kalau tumbuh syukur, gak tumbuh juga ga apa-apa. 

26 April 2014 , walaupun belum saya sadari saat itu tapi momen tersebut adalah titik balik perubahan dalam hidup saya yang sebelumnya lebih banyak di luar rumah jadi malahan betah banget di rumah berkutat sama taneman-taneman. 

Momen tersebut mungkin mirip sama titik balik kehidupan Homo Sapiens era Jaman Batu yang nomaden ke era mereka mengenal Farming & Agriculture, mengenal caranya bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan pangannya dan mereka jadi harus menetap karena harus mengurus tanamannya. 

Saya pernah baca buku yang menyatakan bahwa spesies kita, Homo Sapien, mungkin mikirnya kita yang mendomestikasi gandum, padi, ayam dan sapi. Padahal kenyataannya bisa jadi sebaliknya. Manusia yang tadinya kehidupannya berpindah-pindah (nomaden) jadi harus menetap di satu tempat - menjadi domestik - untuk mengurus gandum, padi, ayam dan sapi. Sementara spesies gandum, padi, ayam dan sapi ikut menyebar ke seluruh belahan dunia dibantu oleh manusia yang menyebar mencari lahan baru untuk ditempati. Contoh nya padi yang awalnya di domestikasi di daerah Cina, bisa menyebar ke beberapa bagian dunia, termasuk di Indonesia.  

Nenek moyang tanaman tomat yang saya tanam ini asalnya jauh banget dari Amerika Tengah, tapi sekarang hampir di seluruh belahan dunia pasti ada aja yang menanam tomat.

Mengikuti instruksi di kertas nya saya menabur benih di atas media yang telah di basahi air dalam pot keramik, kesemuanya itu sudah satu set ada dalam starter kit. Dalam hitungan hari biji yang ditanam itu berkecambah, saya girang bukan kepalang. Maklum pengalaman baru. 

Kalau lagi dirumah, setiap jam bisa dua hingga tiga kali saya mengunjungi tanaman saya itu. Tentunya belum banyak perubahan. seminggu lebih baru muncul daun sejati dari kecambah tanaman tomat itu.

Minggu demi minggu berlalu, saya punya semacam log book yang mencatat perkembangan tanaman-tanaman saya setiap minggunya. Walaupun di bungkus starter kit tertera informasi kalau tomat yang saya tanam itu adalah tomat cherry jenis pendek, yang bisa di tanam di pot kecil, tapi entah kenapa tomat saya tetap menuntut wadah yang lebih besar. Saya sampai memindahkannya sebanyak 4 kali hingga mencapai ukuran pot besar. Pohon tomatnya pun tidak kecil imut-imut seperti gambar di bungkusnya, pohon tomat saya tumbuh tinggi dengan daun yang lebar-lebar sampai saya harus membuatkan kandang dari bambu untuk menyokong batang-batangnya. 

Setelah berminggu-minggu dalam wadah kecil pohon tomat saya seperti tidak mengalami perkembangan berarti. Salah satu pohon tomat saya sempat disusupi mahluk aneh jelek yang kata mama saya bernama anjing tanah - semacam kumbang berbadan keras dengan muka mengerikan dan bercapit, mereka memakan akar tanaman tomat saya hingga ludes sehingga daun-daunnya layu. 

Awalnya saya pikir pohon itu kepanasan, jadi saya pindah ke tempat teduh, ternyata makin layu. Ketika saya bongkar tiba-tiba mata saya menangkap pergerakan mahluk asing di dalam tanahnya, sama mama saya langsung di siram karbol potnya terus anjing tanah yang muncul di bejekin satu-satu pake sekop tangan. 

Pohon-pohon tomat lain yang selamat dari serangan anjing tanah kemudian saya pindahkan ke pot besar dan saya letakan di tempat yang lebih terkena matahari. Semenjak itu pertumbuhan pohonnya jadi cepat sekali, dan beberapa minggu kemudian saya melihat bunga kuning menyembul diantara daun-daunnya.


Waktu itu temperatur Jakarta Bekasi lagi panas-panasnya, kalau siang bisa mencapai 37 - 39 der celcius. Bunga-bunga kuning di pohon tomat saya mengering tanpa sempat berbuah. Yang saya bisa lakukan hanya memindahkannya kembali ke area di kebun saya yang terkena sinar matahari pagi tapi terlindung dari sinar matahari siang dan sore, kebetulan ada spot seperti itu di bawah pohon rambutan. Disitulah saya menancapkan kandang tomat dari bambu dan meletakkan pot-pot pohon tomat saya di dalamnya.

Keajaiban terjadi ketika saya pulang dari trip ke Lombok, ketika mengunjungi kandang tomat saya melihat ada satu pohon yang muncul buah sebesar kepalanya jarum pentul. Memang saat itu cuaca sudah mulai kondusif, hujan sudah mulai turun, malam hari sudah mulai sejuk dan siang tak sepanas sebelumnya. Pohon-pohon tomat saya tampak sangat segar, hijau dan bahagia. 

Tidak lama pohon tomat saya mengalami kebahagiaan, muncul pengganggu-pengganggu lagi. Lalat-lalat buah yang tiba-tiba jadi banyak di awal musim hujan  yang lembab. Lalat-lalat itu bertelur di daun-daun tomat saya. Telurnya kemudian menetas menjadi larva-larva yang memakan daun tomat dan menjadikannya kecoklatan dan layu. 

Can you see the tomatoes?

Baru kali ini dalam hidup, saya benar-benar menyaksikan bahwa satu kehidupan akan mengundang kehidupan-kehidupan lain. 

Mengikuti kemunculan lalat-lalat menyebalkan itu datanglah seekor laba-laba yang membuat jaring di atas kandang tomat saya seolah-olah menjaga dan melindunginya dari lalat. Yang nekad menerobos akan terekat di jaringnya. Semakin hari buah tomat saya yang tadinya hanya sebesar pentulnya jarum menjadi sebesar tomat cherry asli, laba-laba di kandang tomat saya pun tumbuh jadi besar sehingga saya bisa melihat jelas tubuhnya yang berwarna putih metalik garis-garis hitam.

Suatu hari minggu yang cerah ketika saya (seperti biasa) sedang mengamati pohon tomat, saya menyaksikan laba-laba itu keluar dari persembunyiannya dibawah salah satu daun tomat. Saat itu ada dua ekor lalat yang baru saja terjebak di jaringnya, masih bergerak-gerak berusaha melepaskan diri. Laba-laba itu dengan santai mendekati salah satu hasil tangkapannya, kemudian mengeluarkan semacam benang-benang halus dari badannya yang cepat sekali menyelimuti lalat yang sedang bergerak-gerak itu jadi kayak mumi. Rasanya seperti menonton acara perilaku hewan di NatGeo tapi secara live. Amazing banget.

Sayangnya satu ekor laba-laba tidak cukup melindungi pohon-pohon tomat saya dari sepasukan lalat yang menyebalkan dan menjijikan. Daun-daunnya masih saja diserang oleh larva-larva terkutuk itu.

Setelah menunggu hampir sebulan, buah tomat paling besar akhirnya bisa dipetik dan bisa dicicipi. Walaupun bentuknya kurang sempurna tapi rasanya itu adalah tomat paling enak yang pernah saya cicipi seumur hidup saya. Organik dan penuh kenangan.

Sweet, organic cherry tomato

Minggu, 07 Desember 2014

Malioboro

Entah berapa kali saya mondar-mandir di seruas jalan yang merupakan lokasi wisata terkenal di Kota Jogja. Jalan kaki, naik becak, naik delman, dengan rombongan, bersama Chacha, berdua 'kamu' bergandengan tangan menyebrang jalan yang padat ditengah rintik hujan dan tak terhitung berapa banyak saya ayunkan langkah sendirian menyusuri jalan yang senantiasa ramai itu. Nyaris setiap kalinya punya kenangan tersendiri.

Kali ini saya pergi bersama kawan SMA saya bernama Dayu Ary, yang baru menikah dengan warga negara amerika, Lexis. Buat Lexis mungkin ini pertama kalinya mengalami liburan ala turis lokal di Malioboro. Buat saya ini pertama kalinya jalan di Malioboro bersama orang yang baru pertama kali mengalami liburan ala turis lokal Indonesia.

Malam itu malam Sabtu, udara cerah cenderung gerah. Saya, Dayu Ary dan Lexis naik becak dari depan hotel kami dengan tujuan Malioboro. Saya satu becak berdua dengan Dayu, sementara suaminya Lexis di satu becak sendiri, kegirangan karena jarang (atau mungkin baru pertama) naik becak. 

Kami di turunkan tak jauh di depan Benteng Vredeburg. Lokasi yang sama ketika setahun sebelumnya saya dan Chacha duduk termangu di pagi hari yang lengang, baru tiba di Jogja dengan Kereta Api, jalan kaki dari Stasiun Tugu menyanding backpack, sementara sepanjang perjalanan kaki kami beraneka mas/bapak/abang menawarkan becak dan penginapan. Kami menunggu para penjual pecel di depan Pasar Beringharjo bersiap-siap, sarapan kami waktu itu.

Tapi malam itu saya, Dayu dan Lexis tidak mampir ke Pasar Beringharjo. Dayu sempat jajan kacamata hitam di pinggir jalan depan Benteng Vrederburg karena punyanya jatuh, hanyut dan menghilang di Goa Pindul siang harinya. Lexis dan Dayu sempat berfoto dengan sekelompok anak muda yang berdandan seperti kunti, zombie, mumi, pocong, sadako dan nenek gayung. 

Lexis sedang belajar bahasa Indonesia menggunakan media DVD film hantu Indonesia dan lagu-lagu Dangdut. Jadi ketika dia melihat ada Pocong, langsung deh minta foto bareng. 

Di depan Pasar Beringharjo kami bertiga menyebrang ke Toko Mirota. Tujuan kami sebenarnya mau nonton pertunjukan yang ada di lantai atas Mirota, tapi ternyata sudah full. Akhirnya saya mengajak mereka ke angkringan kopi joss yang pernah saya datangi bersama Tince, Rio, Anno dan Chacha beberapa bulan sebelumnya. 

Saya duduk menunggu di tikar yang tersedia di depan angkringan itu sementara Lexis memvideokan pembuatan kopi Joss, ketika arang membara di cemplungkan ke dalam kopi hitam - yang beberapa hari setelahnya langsung di unggah ke facebook. 

Kami makan malam di warung lesehan, Lexis mencoba makan gudeg sambil menganalisa dan bertanya kepada Dayu satu-satu komponen dari Gudeg di piringnya itu. Tragedi terjadi ketika saya sedang menawar delman untuk kembali ke hotel, tiba-tiba dengan wajah panik Dayu menghampiri saya,"Laki gw ilang.."

Saya dan Pak Kusir saat itu sudah mencapai kesepakatan harga, saya pun sudah nyaris duduk disamping pak Kusir yang sedang bekerja. Beberapa saat saya menunggu Dayu yang bergegas mengejar bayang-bayang Lexis ke tengah kerumunan, tapi kemudian Dayu kembali hanya sendiri. Akhirnya saya memutuskan membatalkan kesepakatan saya dengan Pak Kusir dan mengikuti Dayu menyusuri jalan Malioboro.

Ada beberapa poin yang menjadi inti masalah hilangnya Lexis di Malioboro:
1. Lexis tidak bawa henpon
2. Tidak tahu jalan kembali ke hotel 
3. Tidak tahu nama hotel nya

Jadi satu-satunya cara kita menemukannya adalah dengan cara mencari jarum dalam jerami. 

"Laki gw pendek lagi, jadi susah nih," keluh Dayu. Suaminya memang tingginya standard tinggi laki-laki Asia, buat saya ga bisa dibilang pendek, tapi buat ukuran orang amerika bisa dibilang agak imut-imut. Tapi tentu saja, akan jauh lebih mudah mencari laki-laki pirang bertinggi 190 cm di tengah kerumunan manusia dengan tinggi rata-rata 160-170 cm.

Peluh sudah mulai membasahi ubun-ubun saya karena berjalan tergesa. Lexis belum juga ditemukan. Saya sempat masuk ke circle K, ngantri ATM sementara Dayu tetap memantau arus pengunjung di luarnya. 

Tidak jauh dari penampilan penari di tepi jalan malioboro yang ramai di kerumuni penonton muncul sosok Lexis dengan wajah tak berdosa, tersenyum seperti kawan lama yang baru ketemu di jalan.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...