Kamis, 24 April 2014

Cuncawulang

Mobil Suzuki APV sewaan yang dikendarai Wawan berusaha melintasi sepotong jalan yang melintas diatas sungai kecil. Saya, Pagit dan Mba Efa pucat pasi menahan napas, khawatir mobil yang sudah mulai berasa kehilangan keseimbangan itu akan selip dari jalan yang hanya di tabur dengan sekam padi dan tergelincir ke sungai di bawahnya.

Kami berempat dalam perjalanan dari Labuan Bajo, menuju air terjun Cuncawulang. Keberadaan air terjun ini baru saya ketahui ketika melihat fotonya terpampang di tembok penginapan di Labuan Bajo, foto tampak atas dari seorang turis bule yang melompat dari atas tebing ke air dengan background air terjun yang cantik. Wawan, pemandu kami sudah memperingatkan tentang medan perjalanan yang sulit, tapi kami tidak menyangka akan mentok di satu-satu nya akses menuju ke air terjun itu yang bisa dilewati kendaraan bermotor.

Wawan terus menginjak pedal gas kuat-kuat dalam usahanya menebus jalan yang lebarnya kurang dari 3 meter itu. Bau karet terbakar yang sengit akibat gesekan ban mulai tercium, saya sendiri mulai khawatir kalau sampai ban nya terjebak di campuran sekam dan tanah liat yang licin. Masalahnya kita ada beberapa belas kilometer dari peradaban, susah banget kalau mau cari pertolongan andai mobilnya itu benar-benar stuck. 

Wawan pun menyerah, tidak mungkin mobil Suzuki APV bisa melewati jalan off road yang menanjak tajam begitu. Sebenarnya jalan itu dulunya pernah diselimuti aspal, terlihat dari bekasnya yang compang camping disana sini. Tapi sisa aspalnya lebih sedikit dari bolong nya, jadi diatas jalan tanah merah dan berlumpur itu hanya di sebarkan sekam supaya kendaraan yang melintasi tidak selip. 

Tidak lama muncul sebuah motor dikendarai seorang anak muda, akhirnya kita memutuskan saya akan menuju kampung cuncawulang duluan bersama nya kemudian meminta ojek warga disana buat jemput Pagit dan Mba Efa. Ketika saya naik ke atas motor,  mulai terasa rintik hujan. Jalan yang ditempuh juga penuh tantangan dan jebakan maut, untunglah anak muda itu tampaknya sudah biasa melewati jalan itu jadi sudah tau selah-selahnya. Sampailah kita dengan selamat di kampung Cuncawulang, saya diantarkan ke sebuah warung dimana ada beberapa orang berkumpul.

Pemuda itu segera menghampiri kawannya dan memberitahu perihal kedatangan saya ke kampung itu dan tentang dua orang kawan saya yang tertinggal di tengah jalan. Tim rescue yang terdiri dari pemuda itu lagi dan satu orang bapak pun berangkat dengan motor masing-masing. Saya ditinggal, disuruh masuk ke dalam warung.

Di dalam warung itu seperti lagi ada pertemuan. Satu meja panjang yang di sekitarnya terdapat kursi-kursi. Satu orang bapak paruh baya sedang menjelaskan sesuatu. Selain itu ada dua orang kakek-kakek, empat orang ibu-ibu dan beberapa anak kecil, mengerumuni sesuatu yang ada di atas meja itu. Awalnya saya ga jelas mereka lagi ngapain karena barang yang dikerumuni itu tertutup kepala-kepala mereka. 

Bapak paruh baya itu menoleh dan melihat saya di ambang pintu, beliau pun menyuruh saya duduk di salah satu kursi di meja itu, baru saya lihat apa yang lagi dikerumuni dengan serius. 

Sebuah iPad.

Yak, mereka sedang menonton sesuatu di iPad. 

Rasanya jadi pengen ngakak saat itu, bayangin aja, saya sudah pergi beberapa ribu kilometer ke pulau  yang sepi yang terletak di pinggir negara Indonesia, ke kota kecil banget di ujung pulau itu yang namanya labuan bajo, dari situ masih masuk ke dalam kampung yang terkucilkan dari perabadan, pas sampe yang saya liat warganya lagi nonton iPad. 

Saya juga jadi disuruh ikut nonton deh. Ibu-ibu yang duduk disebelah saya langsung menjelaskan kalau itu acara rekaman waktu Bapak Gubernur berkunjung ke kampung mereka, ada acara adatnya yang saling tuker-tuker hadiah. Ada tari-tarian penyambutan juga. Selesai acara menonton rekaman, saya masih diajak ngobrol sama warga disitu. 

Bapak paruh baya itu sepertinya salah satu orang yang berpengaruh di kampung itu, beliau cerita kalau beberapa bulan lalu kampungnya pernah dikunjungi juga sama mahasiswa-mahasiswa dari Jakarta, mereka tinggal di rumah-rumah warga selama sebulan untuk mempelajari kehidupan sehari-hari warga disitu dan membantu membereskan kampung. Saya mulai curiga kalau bapak ini mengira saya ini juga mahasiswa yang nyasar.

Mba Efa dan Pagit tak kunjung datang sementara hujan tiba-tiba turun dengan deras. Dua orang ibu-ibu berlari pulang kerumah nya, mau angkat jemuran. Saya tinggal disitu dengan bapak paruh baya itu, dua orang kakek dan sisa ibu-ibu bersama anak-anak kecilnya. Kemudian Mba Efa melongokan kepala nya dari ambang pintu, langsung di suruh duduk disamping saya sama bapak paruh baya itu. Pagit menyusul setelahnya, langsung disuruh duduk juga di samping mba efa. Dihadapan kami duduk lah warga-warga desa yang lain.

Mba efa tiba-tiba grogi, berusaha menutupi kaos tanktop nya dengan kain yang dibawanya, "Mil, ini kita ngapain ya?" katanya bisik-bisik. Mungkin Mba Efa curiga kalau kita lagi disidang warga.

"Nunggu hujan berenti, mba" jawab saya sambil bisik-bisik juga, ikutan grogi karena tampak jadi pusat perhatian di warung itu.  Kemudian si bapak yang dari tadi sibuk ngajak ngobrol kembali menceritakan soal para mahasiswa itu. Saya makin curiga dia bener-bener yakin saya, Pagit dan Mba Efa adalah mahasiswi yang nyasar.

Untungnya tidak lama hujan pun berhenti. 

Bapak itu memanggil seorang pemuda lagi yang katanya adalah putranya, perawakan pemuda itu tinggi dan kurus. Pemuda itu disuruhnya untuk mengantar kita bertiga sampai ke air terjun. "Nanti kau ajak mereka lompat dari atas tebing ya," pesan si bapak, "kalau mereka berani," tambahnya lagi dengan santai.

Perjalanan panjang dan berat menembus hutan dan melompat-lompati batu untuk menyebrang arus sungai yang deras langsung terbayar ketika melihat air terjun tersembunyi yang ada disana. Susunan batu-batu besar yang menawan dan suasananya yang damai menyejukan hati membuat saya ingin menghabiskan sisa hidup saya di tempat itu. 

Sedikit lagi sampai ke air terjun, setelah menembus hutan harus mendaki batu-batu begini

Lompaaaatttt

Pulangnya kita sama sekali tidak diminta bayaran apa-apa, padahal menurut wawan untuk wisatawan bayar masuk ke air terjun itu bisa sampai 180 ribu per orang belum termasuk bayar guidenya, karena itu wilayah konservasi hutan lindung. Saya jadi yakin kalau bapak paruh baya itu adalah orang yang berpengaruh di kampung itu, dan bapak itu mengira kita mahasiswa nyasar, jadi dia ga tega minta kita bayar uang retribusi.

Flores, memukau saya dengan keindahan alamnya dan keramahan orangnya. 

Jalan pulang dari Cuncawulang, diantar sama sunset yang cantik

Sabtu, 05 April 2014

Lari-Lari Lucu

Akhir tahun 2011, di atas sebuah kapal yang sedang berlayar di teluk Thailand, saya yang kehabisan napas gara-gara snorkeling mengejar clown fish (ikan nemo) berjanji kepada anggota tur snorkeling sekapal yang terdiri dari campuran turis Jepang, Korea dan Rusia bahwa sepulang ke tanah air saya akan mulai rajin jogging 3 kali seminggu lagi.

Sebenarnya sebelum janji itu terucap saya sudah punya niat mau rutin menjalani kegiatan lari-lari lucu lagi. Saya mulai senang lari-lari lucu sendiri sejak mulai kuliah di Bandung. Awalnya karena ga mau selalu ketinggalan kalau acara lari-lari pas ospek tiap minggu di tahun pertama kuliah, saya coba latihan sendiri tiap ada waktu kosong pagi-pagi. Kebetulan kos-an saya seberang Sabuga jadi tinggal ngesot aja. Pulang ke Jakarta, saya masih suka lari-lari lucu keliling komplek. Sejak mulai sibuk kerja, kegiatan lari-lari lucu keliling komplek mulai terbengkalai. 

3 tahun yang lalu saya pindah ke kantor yang dibelakangnya ada Jogging Track, tepatnya di taman tebet. Memang ketika mau pindah saya udah punya angan-angan bakal lari-lari lucu di taman itu sore-sore pulang kantor. Saya pun pergi ke Pondok Indah Mall, beli Running Shoes warna biru muda yang diskon 30%. Sempat lari beberapa kali di taman tebet, kemudian saya terserang penyakit demam berdarah komplikasi sama thypus. Sejak sembuh dari sakit sudah ga pernah lari-lari lucu lagi.

Di Belitung waktu snorkeling saya merasa stamina sudah sangat menurun dan badan terasa makin berat. Jadi pulang dari Belitung, saya keluarkan sepatu lari saya dari kotaknya dan saya letakkan di tempat yang bisa saya lihat tiap saat untuk mengingatkan niat saya itu. Tapi ternyata lari-lari lucu di komplek rumah saya sudah tidak lucu lagi, ga jarang saya nyaris keserempet ojek. Pernah lagi asik-asik lari diikutin sama tukang ojek dan dipaksa naik ojek, jelas-jelas bergaya olahragawati masa dikira lari gara-gara nyolong jemuran. Di setiap tikungan, perempatan, pertigaan yang ada pangkalan ojeknya, selalu aja diteriakin "ojeekkk Neeenngg??!!!"

Karena merasa kenyamanan saya lari-lari lucu terganggu, saya memutuskan untuk membeli Treadmill pakai cicilan 0% selama 12 kali. Saya pun mencampur lokasi lari-lari lucu saya, di taman tebet belakang kantor, treadmill, atau kalau lagi bisa bangun subuh banget (sebelom jam operasi abang ojek) lari keliling komplek. Saya makin termotivasi sejak pakai applikasi Nike+ di iPhone, ga terasa saya sudah berhasil lari-lari lucu hingga 5 km. Buat saya itu pencapaian besar banget, karena itu saya menghadiahi diri sendiri dengan sepatu Nike Free yang tentunya warna biru juga.

Saya belum tertarik ikut trend acara lari rame-rame yang ada sekarang ini karena buat saya lari itu adalah kegiatan individual dimana saya bisa menikmati waktu hanya dengan diri saya sambil mendengarkan beat dari lagu dance berlirik galau. Tapi kalau lokasinya yang ramai kayak di Senayan gitu saya seneng, apalagi kalau banyak jajanan yang lucu-lucu juga. Waktu itu saya pernah coba lari di Ecopark Ancol, bagus banget disana. Abis lari di Ecopark jalan ke arah pantai Ancol liat orang-orang yang lagi pada piknik dan main-main di pantai.

Lari bareng burung-burung di Ecopark

Pantai Ancol di hari Minggu

Mendokumentasikan diri di pantai ancol

Yang belum pernah saya coba itu lari-lari lucu pas Car Free Day di daerah Sudirman. Beberapa minggu lalu pernah diajak adik saya, Chacha, yang baru beli sepatu lari Nike Free juga. Ceritanya dia mau uji coba sepatu baru nya di CFD. Subuh-subuh dia udah heboh, kami pun berangkat ke daerah Sudirman di hari Minggu itu. Ternyata pas tiba di kawasan Sarinah, tempat parkir mobil, tiba-tiba hujan turun. Saya dan Chacha memutuskan menunggu di Dunkin Donut, akhirnya bukannya olahraga yang ada cuma numpang sarapan donat di Sarinah karena hujannya konsisten hingga siang.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...