Selasa, 29 Oktober 2013

Bushwalking di Grampian National Park

Orang-orang di Australia menyebutnya Bushwalking - kegiatan jalan-jalan atau hiking di alam terbuka seperti di gunung dan hutan. Mereka termasuk gemar sekali dengan kegiatan yang berhubungan sama outdoor activities dan berhubungan langsung sama alam, jadi olahraga menyusuri alam ini sangat populer disana. 

Orang Aussie membedakan istilah hiking di daerahnya dengan  nama khusus yang mengandung kata "bush" kemungkinan besar untuk membedakan aktifitas hiking disana dari aktifitas hiking di lain tempat. Seolah-olah untuk menunjukan bahwa kalau hiking di australia itu gak sekedar hiking, tapi hiking di "bush" yang menggambarkan kondisi alam disana yang keras banget. Hanya orang-orang tangguh yang bisa survived di alam australia yang gak friendly. 

Sekarang aja Bushwalking jadi salah satu kegiatan refreshing untuk menghilangkan stress, tapi jaman dulunya, sewaktu imigran eropa pertama-tama datang ke australia, banyak dari mereka yang tewas karena mencoba menantang kekejaman alam di sana. Banyak dari imigran itu yang mencoba explore ke inland australia hanya untuk mendapati diri mereka kelaparan karena gak bisa menemukan makanan. Kehausan karena ga gampang menemukan sumber air di tanah aussie yang kering. Belum lagi panas mataharinya yang terik. Hingga mereka mulai belajar dari para bushmen (orang-orang aborigin) bagaimana cara menaklukan dan hidup dari kondisi alam yang keras itu.

Saya - dengan kondisi baru tidur 3 jam, akan mencoba menantang kekejaman alam di Grampian national park dengan bushwalking.

Subuh-subuh pintu kamar digedor-gedor oleh Damon, menyuruh kita bersiap-siap untuk berangkat. Di kabin saya dan kate sih hangat karena ada pemanas ruangan, tapi pas keluar dinginnya setengah mati. Saya yang menggigil takjub melihat Elaine mondar-mandir di halaman pakai tank top dan rambut yang masih setengah basah. oh well, she's irish, mungkin di kampungnya jauh lebih dingin.

Setelah mandi saya ikut sibuk di dapur,  bikin kopi dan roti sendiri. Bahannya sih udah disiapin, tinggal bikin sendiri aja. Habis sarapan, gak lupa cuci piring sendiri. Mandiri.

Kita tiba di suatu tempat yang di sekeliling kita hanya ada gunung-gunung batu yang berdiri tegak dan kokoh. Saya mulai mengerti inti dari tur Great Ocean Road dan Grampian ini pada dasarnya adalah untuk mengamati bebatuan-bebatuan. Setelah kemarinnya mengamati batu-batu yang ada di pantai, sekarang mengamati batu-batu yang ada di gunung. Kata Damon, tempat yang mau kita bushwalking-in ini adalah Grand Canyon nya Australia. Kata saya, tempat yang mau kita bushwalking-in ini adalah tumpukan batuan raksasa.

Sekali lagi saya tekankan enaknya jalan-jalan di alam di Australia adalah sepatu gak akan kotor sama sekali dan gak usah mikir milih-milih jalan. Karena trail (jalur) - nya udah dibikin jalan setapak yang bagus banget, batu-batuan yang untuk di daki sudah dibentuk seperti tangga dan di kasih pegangan di pinggir-pinggirnya. Jadi gak akan mungkin ada kejadian kejeblos tersuruk di tanah basah seperti yang saya alami ketika hiking di dieng. 

Masalahnya adalah titian tangga yang di buat dari batu-batu itu mengikuti ukuran kaki orang-orang bule yang panjang-panjang. Sementara kaki saya kan pendek. Jadi kalo buat mereka bisa melangkah, buat saya kadang musti butuh usaha ekstra buat memanjat. Mendekati puncak pendakian saya berhasil membuat teman-teman satu tur saya ngakak di sela-sela napas mereka yang tersengal-sengal akibat lajur pendakian ketika saya bilang, "I wish my feet were longer."

Manjat batu memang saya perlu usaha ekstra dibanding yang lain, tapi saya tersenyum lebar ketika jalur pendakian sampai di tempat dimana kita harus melewati celah yang kecil banget. Yang ukuran badannya besar-besar musti ribet jalannya miring-miring, sedangkan saya bisa melenggang gembira tanpa sesak napas. Elaine yang ukuran badannya termasuk mungil juga bisa melenggang gembira, tapi Kate musti pakai sumpah serapah dan sempat nyangkut hingga akhirnya berhasil keluar dari celah itu.

Akhirnya saya berhasil menyusuri jalur pendakian yang nyaris terus menanjak sepanjang hampir 2 km, malahan termasuk di rombongan pertama yang sampai diatas. Sementara itu setengah anggota tur yang kakinya lebih panjang dari saya baru tiba di puncak sekitar setengah jam setelah saya. 

Pemandangan dari atas puncak tumpukan batu raksasa itu - indah luar biasa. 

Jalur trekingnya

Batu-batu nya sudah disusun kayak tangga

Teman Mexico yang kepayahan pas mendaki

Grand Canyonnya Aussie ceritanya

Akhirnya teman mexico saya sampai juga di atas

Celah sempit yang buat saya ga sempit-sempit banget

Dari Grand Canyon nya Australia itu, kita naik mobil sebentar menuju ke McKenzie Waterfall, air terjun yang masih berada di kawan Grampian National Park juga. Air terjun nya sih biasa aja, kalau menurut saya bagusan air terjun di Indonesia. Rangkaian perjalanan tur ditutup di McKenzie Waterfall dengan acara foto bersama, setelah itu kami kembali ke mobil, mampir sebentar untuk beli makan siang di kota terdekat dan langsung menuju Melbourne.

McKenzie Waterfall

Senin, 21 Oktober 2013

Monday Madness; Membuat Saya Ingin Bernyanyi

Hari ini hari Senin di Jakarta. Macetnya luar biasa, lebih parah dari Senin-Senin yang lain.
Sangking keburu capek dijalan, sampe di kantor malah jadi gak semangat mau ngapa-ngapain gini.
Mau membangun mood dengan cara nulis blog tapi ternyata gak ada inspirasi juga. 

Sigh. 

Kemacetan tadi bener-bener telah membunuh semangat kerja dan kreatifitas saya.
Jadi ijinkan kali ini saya tidak bercerita tentang perjalanan, tapi sekedar bernyanyi untuk kawan-kawan. 
*siap-siap ditimpuk massa*




Rabu, 16 Oktober 2013

Sapi

Sekali-kali mari kita bahas soal sapi.

Sebelum manusia kenal sama yang namanya sapi, mereka cari makan dengan cara berburu hewan liar dan mengumpulkan daun-daun, rumput-rumput, buah-buah untuk dimakan. Hanya makan dan minum dari apa yang ada disekitar mereka, kalau adanya gajah ya makan gajah, kalau adanya daun ya makan daun. Seumur hidupnya mereka musti pindah-pindah, mengikuti kemana arah makanan membawa mereka- hunters & gatherers.

Lalu kemudian ada kelompok hunters & gatherers yang (kemungkinan secara gak sengaja) mulai menemukan caranya menanam sendiri tanaman liar yang biasanya mereka makan. Jadi gak tergantung dari ketersediaan alam, tapi mereka bisa membuat nya tersedia untuk mereka sendiri – disinilah manusia mulai mengenal produksi. Proses mulai dari ketidak sengajaan itu hingga jadi suatu sistem food production makan waktu berabad-abad, penuh trial & error.

Ribuan tahun juga waktu yang diperlukan manusia sampai bisa beternak sapi kayak sekarang ini. Sapi yang setiap hari kita minum susunya, makan dagingnya, kejunya, mentega, kerupuk kulitnya. Moyangnya sapi adalah hewan liar yang namanya auroch, yang dulu habitatnya di eropa, asia, dan afrika utara. Auroch yang sudah di domesticate (diternakin),yang kita sebut sapi, awalnya mulai di ternak di southwest asia hingga menyebar ke eropa dan ke asia. Sekarang Sapi menjadi salah satu hewan dengan populasi terbanyak yg tersebar di seluruh dunia, sedangkan moyang nya mbah auroch sudah punah. Thanks to human.

Berternak sapi ini gak cuman menimbulkan tragedi buat mbah auroch, tapi juga tragedi buat manusia. Ketika virus penyakit dari sapi ternak bermutasi menjadi virus yang membahayakan manusia. Jaman ketika ilmu kedokteran belum secanggih sekarang, banyak terjadi lebih dari setengah populasi suatu kampung di eropa meninggal karena diserang virus penyakit yang berasal dari hewan ternaknya.

Ternak sapi ini udah lama banget dilakukan manusia, konon menurut penelitian ahli 6000 tahun sebelum masehi di india sudah ada ternak sapi, itu berarti sekitar 8000 tahun yang lalu. Di India sapi adalah hewan suci yang dihormati.  Tapi gak banyak sapi yang beruntung bisa terlahir di india dan jadi kesayangan manusia, di tempat lain sapi di ekploitasi habis-habisan.

Eksploitasi sapi dimulai dari ketika sapi itu lahir, bayi sapi harus rela berbagi susu sama manusia. Ketika sapi mulai dewasa, dia mulai disuruh narik gerobak, bawain barang-barang berat, jadi kendaraan buat manusia juga. Bahkan ketika saya sudah kuliah dan lagi kerja praktek di daerah pedesaan yang banyak sawahnya, saya baru tau kalau sapi dipakai manusia buat membajak sawah juga. Saya pikir waktu itu ,membajak sawah kerjaannya kerbau, seperti yang diajarkan di sekolah. Semasa hidupnya kotoran sapi juga berguna buat manusia, dijadikan pupuk kandang.

Bukan cuman berguna buat manusia, sapi juga berguna buat burung-burung yang makanin kutu di sapi, kalau yang masih inget pelajaran simbiosis mutualisme.

Ketika sapi sudah cukup umur buat dipotong, atau sudah tua dan tenaganya buat narik gerobak sudah berkurang, atau sudah tidak bisa menghasilkan susu atau punya anak lagi, atau ketika majikannya sapi itu mau bikin hajatan, dia akan di sembelih untuk dimakan.
Orang Indonesia sih bener-bener kreatif dalam hal ini, semuanya bisa diolah dan dijadikan masakan untuk dimakan mulai dari daging, jeroan, kikil (kaki sapi), tulang belakang sampai buntut, bahkan sumsum dalam tulangnya aja berasa mubazir kalo gak dimakan juga. Minggu lalu saya kopdar sama cipu, ocha, feli, baru tau kalau diluar negeri orang-orang cuman makan daging sapi aja, sedangkan jeroannya itu untuk makanan anjing. Kulitnya sapi bisa dibikin sepatu, dompet, jaket.

Sapi yang dipelihara petani mungkin mikir enak jadi sapi potong yang lahir dipeternakan, gak perlu susah-susah narik gerobak atau bajak sawah, kandangnya bagus dan bersih, makanannya enak. pokoknya dimanja banget.  Tapi hidupnya gak lama, ketika sudah sampai berat optimal langsung dipotong.  Sapi-sapi itu dipaksa jadi gemuk dengan cara di cekokin makanan macam-macam, disuntik hormon dan bahan-bahan kimia lainnya supaya tercapai target produksi. Bagaimana memenuhi demand daging sapi untuk konsumsi manusia. Industrialisasi daging sapi.

Di Indonesia yang jumlah penduduknya banyak begini, produksi daging sapi lokal gak cukup untuk mengisi perut semua rakyatnya. Jadi ditambah dengan mengimpor daging sapi dari australia. Di australia, baru keluar sedikit dari daerah perkotaan di kiri kanan jalan nampak savana luas dengan gerombolan sapi-sapi gemuk sedang merumput. Tapi dibalik industri peternakan sapi di australia yang maju sekarang ini, ada cerita tragis jaman dulunya.

Australia, benua yang baru ditemukan ketika Indonesia sudah dijajah oleh Belanda, pada saat itu menjadi tempat dimana imigran dari eropa banyak berharap bisa memperbaiki nasibnya. Imigran yang pertama-tama datang ke benua itu mulai meng-klaim lahan-lahan jadi milik mereka. Di lahan itu mereka berternak sapi, yang dibawa pakai kapal dari Eropa. Buat mereka lahan itu kosong, padahal sebenarnya itu lahan tempat penduduk asli sana, orang aborigin, yang waktu itu hidupnya masih sebagai hunters and gatherers, berburu makanan. Untuk melindungi sapi-sapi nya, para imigran eropa itu tidak segan-segan ‘membantai’ orang Aborigin.

Kawanan sapi di perjalanan dari Melbourne menuju Balarat

Kawanan Sapi di pinggir jalan Great Ocean Road


Kembali ke tanah air.

Saya yang rumahnya dipinggiran kota, melihat setiap tahun di saat hari raya kurban banyak banget orang-orang yang bahagia karena bisa makan daging. Ironis memang, buat sebagian orang di indonesia makan daging masih merupakan luxury, kemewahan. Saya saja sudah lama gak makan daging sapi, warteg langganan saya di deket kantor sudah lama ga masak menu daging. "daging mahal sekarang, mba," penjual warteg mengeluh bingung menentukan harga jualnya, nanti malah tidak laku karena kemahalan.

Sapi perah lebih parah lagi. Sering digunakan sebagai kiasan dalam peribahasa tidak memperbaiki nasibnya juga. Seumur hidupnya sapi perah harus hamil dan melahirkan supaya bisa menghasilkan susu. Induk mamalia lain, termasuk manusia, melahirkan dan memproduksi susu untuk bayinya sendiri. Sapi perah memproduksi susu untuk manusia, bukan hanya buat manusia yang masih bayi tapi berlanjut terus seumur manusia hidup. Dipikir-pikir, kalau manusia butuh susu seumur hidupnya bukan hanya waktu dia kecil aja, kenapa manusia gak memproduksi susu sendiri seumur hidupnya. Kenapa musti tergantung sama sapi? ini industrialisasi susu sapi dan sapi perah mesin produksinya.

Waktu kecil, saya gak banyak minum susu sapi karena susu itu mahal. Jadi buat saya waktu kecil, minum susu itu pun adalah luxury. Kalau dibandingkan sama adik saya, yang terpaut usia 13 tahun dengan saya memang tinggi badan saya kalah jauh. Ketika adik bungsu saya lahir kondisi keuangan keluarga saya sudah mapan, jadi bisa beli susu tiap hari. Dari random sample yang diwakili oleh saya dan adik bungsu saya, bisa dilihat bahwa gizi manusia jadi jauh lebih baik kalau minum susu. Tapi apa kita memang benar-benar perlu minum susu sapi setiap hari ? Kalau balik lagi ke jaman manusia hidup sebagai hunters and gatherers, apa mereka kenal yang namanya susu? Apa mereka jaman dulu minum susu kuda liar atau susu auroch liar?

Katanya manusia butuh 1000mg kalsium setiap hari untuk mencegah osteoporosis.  Anyway, Ngerasa gak sih kalau hidup manusia itu lama-lama udah kayak sapi di peternakan, di reduksi maknanya oleh angka-angka dan di standarisasi. kita makan di standarisasi jadi 2000kcal per hari. Minum distandarisasi jadi 8 gelas air sehari. Tidur pun distandarisasi, ada minimum jam  per hari nya. Kenapa gak di simpelkan saja menjadi "secukupnya", apakah karena manusia pada dasarnya gak pernah merasa "cukup"?

Oh well....

Lanjut.

Untuk memenuhi kebutuhan 1000mg kalsium itu, menurut iklan di tivi kita musti minum susu 2 gelas sehari. Tentu saja iklan yang dibuat oleh produsen susu. Minum susu kebanyakan bikin gemuk? Jangan khawatir, ada susu Low Fat, High Calsium. Hidup di era dimana manusia selalu dibujuk, di iming-imingi dan dipaksa jadi konsumtif, saya jadi skeptic bin curigaan sama iklan susu di tipi. Jangan-jangan itu cuman daya upaya untuk mempengaruhi kita mengkonsumsi lebih banyak, mereka memproduksi dan menjual lebih banyak?

Sama kayak produsen shampoo anti ketombe yang terlalu melebih-lebihkan kejelekan si ketombe hingga orang-orang yang dulunya cuek-cuek aja sama ketombe sekarang  jadi berduyun-duyun menistakan ketombe sebagai sesuatu yang jorok banget.

Sebenernya sah-sah aja sih, kita mau konsumsi sapi sebanyak-banyaknya, tapi gak ada salahnya juga kita tetap ingat bahwa Sirloin/ Tenderloin/ Wagyu Steak yang disajikan di piring bersama mashed potato dan sayur-sayuran, disiram saos barbeque itu adalah bagian dari mahluk yang pernah hidup, pernah bernafas seperti kita, punya jantung, bahkan mungkin punya perasaan juga. Apalagi yang dari bayi udah minum susu sapi, berarti kan masih sodara sepersusuan sama sapi, jadi harusnya kita punya rasa kasih sayang sama sapi.

Menurut saya gak perlu juga terlalu ekstrim menunjukan kecintaan kita sama sapi dengan cara jadi vegetarian. Tapi kita perlu tetap ingat kalau dibalik sepotong rendang ada ribuan tahun yang penuh perjuangan dan tragedi hingga sampai di piring kita. Dan yang paling penting kita musti bersukur kalau masih bisa makan sapi, karena masih banyak orang-orang disekeliling kita yang makan daging sapi cuman setahun sekali. Jadi mulailah dengan meng apresiasi daging yang ada di piring kita.

Senin, 07 Oktober 2013

Great Ocean Road

Great Ocean Road adalah jalan raya yang terbentang di sepanjang garis pantai bagian selatan benua Australia. Sebelum ada jalan darat, rute perjalanan yang sama dilakukan via laut  menyusuri garis pantai juga. Tapi laut disisi itu terkenal berbahaya, di musim-musim tertentu ombak nya sangat besar dan resiko kapal karam karena menghantam batu-batuan di coastline itu sangat tinggi. 

Setelah Perang Dunia I - tahun 1900-an gitu, sekitar 3000-an veteran perang bekerja sama membangun jalan darat yang kemudian diberi nama Great Ocean Road. Jalan itu dipersembahkan bagi rekan-rekannya yang gugur di medan perang. Ya sebenarnya sih Great Ocean Road ini semacam jalan raya Anyer-Panarukan yang dibangunnya gak pake kerja paksa. Walopun gak pake kerja paksa, karena di jaman itu belum canggih dan semua pekerjaannya masih manual labor, ya banyak juga jatuh korban jiwa, mungkin kayak ketiban batu, kepleset di jurang, kecemplung ke laut dan sebagainya.

Great Ocean Road ini melewati beberapa fishing village, landmark-landmark terkenal seperti Twelve Apostles, London Bridge, Loch Ard Gorge dan juga melewati kota dimana ditemukannya brand fashion surfing ternama Rip Curl, yaitu Torquay. Saingannya Rip Curl, Billabong yang berasal dari bahasa Aborigin juga brand yang berasal dari Australia, tapi asalnya di daerah Gold Coast - bagian Northeast Austalia.

Bells Beach

Cerita saya kali ini berawal dari Bells Beach, dimana saya terbangun di dalam bus yang sepi dan dikunciin sama Damon si tourguide. Pantai disini warnanya coklat banget, ditimpa cahaya matahari pagi jadi menimbulkan kesan keemasan - Golden Coast. Karena saya datang di musim gugur yang dingin jadi pantai itu tampak sepi. Katanya di musim yang udaranya hangat di pantai ini banyak mas-mas surfer bule yang perutnya kotak-kotak dan kulit yang kecoklatan tanned, diatas papan surfingnya,  menembus ombak dengan rambut yang basah terkena air laut. *ngacai* *lap iler*

Bells Beach
Bukan hanya pasirnya yang berwarna coklat, tebing batunya juga berwarna coklat nyaris seragam sama pasirnya. Bahkan rumput dan semak-semak disekitar pantai juga tampak berwarna kecoklatan, mungkin karena efek musim. Di tempat ini para anggota tur menikmati coffee break pagi mereka di iringi semilir angin pantai yang dingin. Dan di tempat ini saya kenalan sama Elaine, gadis Irlandia yang sama seperti saya, ikut tur ini sendirian. 

Damon menghampiri kita untuk memberi tahu saatnya coffee break sudah selesai. Kayaknya buat basa-basi dia nanya sesuatu ke saya yang karena gak terbiasa sama dialek australia terdengar seperti "kamu tidur dimana." 

"Excuse me?" tanya saya sambil mikir, ngapain dia nanya saya tidur dimana. Absurd banget.

Trus Damon ngulang lagi kalimatnya pelan-pelan, "Were you asleep?"

Oala.. ternyata dia nanya apa saya tidur tadi di bus waktu dia ngunciin saya itu, bukan nanya dimana saya tidur ato yang kedengeran saya seperti where you sleep. Antara otak masih belom optimal  gara-gara baru bangun tidur, ga terbiasa sama aksen ostrali dan agak budek gara-gara kedinginan. 

Great Ocean Road Memorial Arch

Seperti yang saya cerita di awal soal nilai historis Great Ocean Road, untuk selalu mengenang jasa para veteran perang dunia yang telah bekerja keras mengikis bebatuan, menggali, memadatkan tanah dan meratakan jalan ini sehingga dapat dilalui dibangun sebuah prasasti peringatan di tepi jalan. Ada prasasti, ada patung, dan ada gerbang yang digantung tulisan GREAT OCEAN ROAD. 

Gerbang Great Ocean Road

Great Ocean Road di musim gugur, rumputnya mulai kecoklatan
Kita menyusuri ruas great ocean road yang pemandangannya (karena saya arahnya dari timur ke barat) sebelah kiri ada laut dan sebelah kanan ada gunung. Selain warna nya yang didominasi coklat sebenarnya gak ada yang terlalu spesial dari pemandangan nya, mirip aja kayak jalan raya di sini yang menyusuri garis pantai juga. 

Mobil tur sempat berhenti di beberapa spot yang ada papan keterangannya, seperti Cape Patton dimana pas penggalian buat bikin great ocean road malah ditemukan rangka dinosaurus yang  berumur 100 juta tahun lebih. Tapi tidak semuanya menarik perhatian saya dan bikin males turun mobil. Kita juga mampir untuk mengamati koala-koala yang hidup liar. 

Setelah itu waktunya makan siang.

Apollo Bay

Bus berhenti di suatu kota bernama Apollo Bay, kita makan siang di suatu restoran yang menunya boleh pilih. Saya dan Elaine memilih Lamb Souvlaski, semacam kebab. Ukurannya besar banget dan masih ditambah potongan-potongan kentang goreng yang gemuk-gemuk, makan setengah porsi souvalski nya aja saya udah kenyang  banget, kentang nya sama sekali gak saya sentuh dan berpindah ke piring cowo brondong asal belanda yang namanya susah saya ingat.

Para anggota lain masih pada makan, Elaine memberi kode sama saya untuk keluar restoran itu, ngobrol-ngobrol disamping tempat sampah yang berfungsi sebagai asbak. Pekerjaan Elaine di Irlandia adalah penata artistik panggung buat pertunjukan-pertunjukan seni. Ketika kehidupan nya mulai terasa menjemukan dan meaningless dia memutuskan untuk travelling, sendiri. Gak seperti saya yang perjalanannya terencana, riset dulu, bikin itinerary dulu, perjalanan Elaine gak ada rencana sama sekali. Pokoknya kemana arah kaki melangkah. 

Disinilah Tara muncul, cewek Inggris yang cerewet tapi lucu. Dia dateng-dateng heboh menanyakan dimana orang-orang yang lain, apakah mereka sudah naik bus? dimana bus nya parkir? dimana Damon? Saya dan Elaine cuman liat-liatan sambil angkat bahu. Belom kita ngomong apa-apa, Tara udah ngomong duluan lagi kalo dia mau beli permen dulu di warung, jadi jangan ditinggalin. 

Saya dan Elaine cuman liat-liatan lagi sembari si Tara berlalu dengan hebohnya.

Tidak lama Tara muncul dari dalam warung, teriak-teriak sambil menunjuk suatu lorong, "Ova' hieeere." 

Maits Rest Rainforest

Tidak hanya tur ke daerah pantai, kita juga diajak ke Rain forest yang kebetulan dilewatin sama Great Ocean Road. Jalan-jalan di hutan di Australia tidak sama kayak jalan-jalan di hutan di Indonesia, jalan-jalan di hutan sini sepatu gak akan kotor sama sekali. Sepanjang jalurnya di alas sama papan-papan kayu. Bahkan sepatu saya ini lebih kotor waktu dipakai jalan-jalan di sekitar halaman rumah saya doang daripada dipakai selama saya di Australia. Higienis banget. 

Selepas rain forest pemandangan di kiri saya mulai bervariasi, ganti-ganti antara laut dan padang rumput yang berisi kawanan sapi-sapi dan domba-domba yang gemuk. 

Twelve Apostles 

Setelah perjalanan setengah hari akhirnya sampai juga di klimaks dari tur Great Ocean Road ini, yaitu Twelve Apostles. Dua belas tugu batu yang terbentuk akibat erosi air laut. Awalnya mungkin semacam tebing batu yang menjorok ke laut, kemudian air laut mengikis bagian bawahnya sehingga lama-lama membentuk semacam celah yang memotong tebing itu. Kelamaan celah makin besar dan bagian atasnya yang masih membentuk semacam jembatan makin tipis karena terus menerus di kikis oleh air laut dari bawah sehingga runtuh, maka jadilah semacam tugu yang berdiri tegak di tengah laut.

Twelve Apostles di tengah kabut
Bahkan sekarang twelve apostles sudah tidak berjumlah dua belas lagi. Tugu-tugu batu yang tegak berdiri membentuk formasi berjajar itu masih terus menerus di hantam ombak yang mengikis permukaannya, kelamaan bagian bawah tugu itu menipis dan runtuh karena tak sanggup menopang beban diatasnya. Satu persatu formasi batuan itu akan runtuh mungkin dalam beberapa puluh tahun tidak akan lagi ada yang namanya twelve apostles. 

Saya menyusuri jalan setapak yang melintas di sepanjang tebing sendirian karena Elaine memutuskan naik helikopter dan melihat barisan batu-batu itu dari atas. Tiba-tiba Tara muncul di belakang saya. Sekalian saja saya minta tolong dia fotoin saya. Kabut tebal yang menggantung di langit siang itu menimbulkan kesan misterius. Dalam imajinasi saya muncul daftar-daftar tempat yang mau saya kunjungi. Twelve Apostles, Contreng.

Loch Ard Gorge

Dari Twelve apostles yang sudah tidak twelve lagi, kita naik bus menuju suatu lokasi dimana ada 3 spot yang bisa dilihat. Arah kanan ada Goa, jarak tempuh di papan keterangan 1 jam 30 menit. Arah Lurus, ada tempat dimana kapal Loch Ard karam, jarak tempuh 50 menit. Sebelah kiri ada razorback, formasi batuan lain yang terbentuk akibat angin dan air laut sehingga bentuknya jadi unik, jarak tempuh 40 menit. 

Kita hanya dikasih waktu satu jam sama Damon, jadi saya dan Elaine memutuskan gak akan ke Gua karena terlalu jauh. Pertama-tama kita turun ke pantai, di mana kita bisa melihat tempat karamnya kapal Loch Ard. Semua penumpang kapal itu tewas kecuali dua orang survivor, seorang lelaki bernama Tom dan seorang wanita bernama Eva. 

Waktu kapal karam, Tom berhasil menyelamatkan diri, terombang-ambing berjam-jam di laut hingga ombak laut menghempaskan tubuhnya ke shore. Disitu dia mendengar ada cewe nangis, bukan kuntilanak, melainkan Eva yang lagi nyangkut dimana tauk. Tom balik lagi nyemplung ke laut, berenang dan menyelamatkan Eva. Mereka berlindung di dalam gua. Kemudian Tom meninggalkan Eva untuk mencari pertolongan, memanjat tebing itu. Dia ketemu dua orang pria yang akhirnya menolong mereka. Waktu insiden itu si Tom sempat naksir sama Eva. Ketika mereka selamat Tom sempat menyatakan cintanya sama Eva tapi ditolak, mungkin waktu itu si Eva bilang gini kali,"Tom, what happened in Loch Ard Gorge, stays in Loch Ard Gorge."

Loch Ard Gorge

Goa tempat menyelamatkan diri

Tempat kapal Loch Ard karam
Jalan di atas pasir coklat ini ternyata lebih susah dari pasir di indonesia yang pernah saya kunjungi, entah kenapa lebih berat rasanya. Mungkin karena ga padat, jadi kaki kita tuh ngejeblos banget. Selesai lihat gua tempat Tom dan Eva menyelamatkan diri, saya dan Elain naik lagi ke atas tebing menuju lokasi lookout kapal karam yang menurut papan keterangan berjarak 1.4 km bolak balik dan jarak tempuhnya 40 menit. Karena takut gak keburu waktunya, kita setengah berlari hingga sampai di lokasi yang dimaksud, foto-foto sebentar terus setengah lari balik lagi. Waktu yang kita perlukan bolak balik kayaknya gak sampe 15 menit deh.

Masih ada tempat yang mau kita kunjungi, kita pun berlari-lari kecil menuju arah razorback. Di tempat parkir Damon sudah melambai-lambai sambil memberi gesture nunjuk-nunjuk jam tangan. Menurut papan penunjuk waktu tempuh 40 menit, tapi waktu kita tinggal sekitar 10 menit aja. Walaupun ngos-ngosan tapi rasanya gak nyesel bela-belain lihat razorback. Cantik banget. Ternyata angin dan air laut bisa berkolaborasi membentuk suatu karya seni ukiran yang indah dari batu. 

Di papan keterangan tentang Razorback tertera peringatan:
Be Safe - Take Care
The Cliff edges are constantly changing shape under the powerful hand of nature

The Razorback


London Bridge

London bridge is falling down, falling down, falling down.
London bridge is falling down my fair lady.

Tempat terakhir yang kita kunjungi adalah yang dinamakan London Bridge, yang sekarang sudah gak jadi jembatan lagi karena sudah runtuh. Kalau saya datang tahun 1990, masih bisa lihat model jembatannya. Di dalam bus Damon cerita, jaman dulu bahkan mobil bisa sampai di ujung tebing itu melewati jembatan. Ketika jembatan nya runtuh, ada sebuah mobil yang terjebak di situ, penumpangnya seorang suami dan seorang istri. Tapi celakanya itu suaminya perempuan lain dan istrinya pria lain, jadi mereka ceritanya lagi selingkuh ketika insiden terjebak di tengah-tengah tebing di tengah laut itu. Fiuh, apes nya dobel itu. Sudah jembatannya runtuh, tertimpa tangga yang dilempar dari pasangannya dirumah gara-gara ketauan selingkuhnya sampai masuk koran dan tivi. Itu ceritanya Damon sih, gak tau bener atau issue yang dilebih-lebihkan.

London Bridge tahun 1990

London Bridge sekarang. beberapa tahun lagi mungkin jadi apostles juga
Matahari sudah mulai akan terbenam ketika saya menyusuri jalan di coastline itu. Semburat jingga mulai muncul di garis horizon yang membatasi antara biru langit dan biru laut. Andai saya menikmatinya sembari leyeh-leyeh, mengkhidmati kemolekan alam dengan penuh ketenangan dan kedamaian. Bukannya sambil ngos-ngosan jalan cepet gara-gara takut ditinggal bus begini. 

Rabu, 02 Oktober 2013

Pink Beach, Translucent Sea. Pink Heart, Translucent Emotion

Komodo Dragon bukan satu-satu nya hal langka yang ada di Pulau Komodo. Pink Beach yang juga terletak di pulau itu merupakan salah satu dari (hanya) 7 pink beach yang ada di seluruh dunia. Matahari tepat berada di atas kepala ketika saya menginjakan kaki di pantai ini, mengenakan kacamata hitam karena cerahnya langit menyilaukan mata. 

Dua orang laki-laki sedang duduk di bawah pohon, salah satunya berteriak ke saya, mba efa dan pagit yang sedang berjalan di pasir yang hangat,"keliatan gak warna pinknya?"

Terus terang waktu itu saya kurang memperhatikan pasir yang saya injak-injak itu.

"Buka dulu kacamata nya," laki-laki itu berseru lagi.

Saya pun segera membuka kacamata dan melihat kebawah, ke butiran pasir lembut yang mengerubungi telapak kaki saya. Awalnya saya agak kurang yakin dan berpikir itu hanya pantulan cahaya. Saya berlutut mendekatkan wajah saya hingga hanya sejengkal di atas hamparan pasir. 

Pink!

Bukan hanya pantulan, tapi warna pasirnya memang terlihat bertaburan pink. Mirip seperti bubuk detergen yang bertaburan butiran konsentrat. 

"Pasir nya Piiiiink !!!" saya berteriak-teriak kegirangan, ada sesuatu yang membuncah dari dada ini. Selama ini saya sering  browsing-browsing mengenai pink beach, setidaknya saya sudah antisipasi membayangkan (dari cerita orang-orang lain yang pernah kesini) bahwa pasirnya memang berwarna pink. Tapi menyaksikan sendiri rasanya berbeda dari hanya membayangkan dari cerita-cerita orang.

Saya pun berlarian, melompat-lompat, berteriak-teriak, tertawa diatas pasir yang bercampur dengan butiran pink yang berasal dari serpihan koral itu. Tiba-tiba panas yang tadi menyilaukan sudah tidak berasa lagi. Saya hanya merasa.... pink.... dan bahagia. Merasakan hal baru membuat saya sangat bahagia, membuat saya merasa hidup. Itulah yang membuat saya ingin terus pergi ke tempat yang baru, melihat sesuatu yang berbeda, experience new things. Memberi makna dalam hidup. 

Dengan banyak merasakan hal baru saya gak merasa hidup saya ini sia-sia walaupun hingga di usia saya ini 31 of my age, statusisasi saya masih jauh dari yang namanya kemapanan alias masih labil ekonomi. Dalam hal materi saya memang gak  belum punya apa-apa, tapi saya punya experience, saya pergi ke Labuan Bajo naik pesawat baling-baling, melihat komodo, merasakan pantai yang pasirnya pink, berenang di lautan yang airnya transparan, menyaksikan sendiri apa yang ada di dasar laut. 






Experience new things juga gak harus dengan traveling ke tempat yang jauh sih. Saya selalu seneng baca dan belajar hal baru - history, philosophy, music. Hal-hal simpel yang terjadi sehari-hari kalau kita bisa melihatnya sebagai suatu experience, bisa memberi warna beda dalam hidup juga. Kayak misalnya, hari Senin kemarin, I have a bad day..I have a bad day.... *nyanyi*

Berawal dari pagi hari, waktu mau masuk ke parkiran kantor saya baru sadar kalau saya gak bawa kartu parkir, jadi saya musti bayar parkir 3000 di jam pertama dan 2000/jam berikutnya. Nah kalau saya seharian di kantor, sekitar 10 jam gitu ya itung aja sendiri. Itu satu. 

Kemudian saya mau kirim surat ke luar kota, saya jalan kaki ke agen JNE terdekat dari kantor ternyata loketnya tutup, secarik kertas menempel di kaca loketnya - Libur sampai tanggal blablabla. Saya jalan lagi ke cabang kantor pos yang ada di gedung kantor sebelah gedung saya, ternyata masih tutup juga walopun itu udah jam 10. Karena itu surat urusan kerjaan penting banget harus dikirim secepatnya, saya akhirnya memutuskan pergi ke kantor pos cabang tebet naik mobil. 

Di kantor pos itu, waktu mau bayar mas-masnya nanya, "punya uang 500 ga mba?". Saya pun membuka bagian dompet saya tempat menyimpan uang receh dan lupa nutup lagi, pas saya kasih tuh logam ke mas-masnya uang-uang logam lain yang ada di dompet saya pun berjatuhan tumpah ruah berceceran ke seluruh penjuru kantor pos dengan bunyi yang rama berdentingan. 

Keanehan hari senin itu gak hanya sampai disitu aja. Sore hari nya saya baru sadar kalau seharian saya pakai baju terbalik, yang belakang di depan yang depan di belakang. 

Saya pun bingung harus nangis atau tertawa.

Experience new things gak selalu membuat bahagia dan tertawa, kadang hal baru itu membuat kita jadi mengenal yang namanya gagal, sakit hati dan menangis. Yang mana memang menyakitkan, tapi kan hanya orang yang hidup yang berasa sakit. Coba kalo orang mati, di cubit-cubit kayak apa tauk juga gak bakal ngerasa sakit. 

Makanya kalo lagi berasa sedih, saya gak berusaha melupakan kalau saya lagi sedih - buat apa? Kalau lagi sedih ya di rasakan lah kesedihan itu - experience. Bahkan walaupun saya terbangun dan merasa sangat sedih entah kenapa, ya saya jalanin aja hari itu sambil sedih walaupun muncul di kantor dengan tampilan berantakan dan muka bete. 

Nah kalo sekarang ini pas lagi nulis postingan ini mood saya lagi bagus, makanya jadi panjang lebar gak jelas begini. Kalo mood saya lagi jelek, mau pesen ketoprak aja males ngomong sama mas-masnya.

Dipikir-pikir, kalau saya ini adalah pantai mungkin saya bakal jadi pink beach. Saya punya hati yang pink dan romantic sampai-sampai bisa jatuh cinta sama seseorang, ngerasa berbunga-bunga, kemudian gagal, nangis-nangis berurai air mata dengan melankolisnya bersumpah gak akan jatuh cinta lagi dan memutuskan untuk hidup selibat. Tapi kemudian saya jatuh cinta lagi sama orang yang sama dan cycle itu kembali terulang, lagi dan lagi. Kalau emosi saya seperti air laut yang ada di pink beach, translucent sampai semua orang bisa melihat kedasarnya. Tapi dengan itu setidaknya saya memberi sinyal ke orang-orang kalau, "Hei, I'm alive and I'm not afraid to fly or to fall."

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...