Jumat, 25 Januari 2013

Hotel Budget Ceria

Setelah konsep budget airlines yang memacu jiwa petualangan orang-orang untuk jalan-jalan ke berbagai tempat, muncul juga konsep budget hotel. Konsep budget hotel ini mirip dengan budget airlines, harganya relatif terjangkau tapi fasilitas yang ada hanya yang fungsional saja. Jadi rata-rata hotel begini ukuran kamarnya efisien banget dan isinya juga minimalis, cuman ada tempat tidur, ac, kamar mandi, tv, meja dan kursi seadanya. Kelebihannya, biasanya terletak di lokasi yang strategis (dekat dengan pusat kota / wisata).

Saya ini memang selalu termasuk ketinggalan jaman, pertama kali masuk ke dalam budget hotel model gini waktu ke Bali sama chacha. Kita mengunjungi Tante Pungky dan Siba yang menginap di Hotel Pop di Kuta. Penampilan gedungnya semarak banget dengan warna-warna vibran yang mencolok. Lebih mirip TK daripada hotel sih, tapi lucu. Staff front desk nya muda-muda dan pakaiannya casual, t-shirt, celana pendek, sneakers. Bandingin sama hotel-hotel biasa yang tampilan front desknya rapi mengkilat. 

Masuk ke dalam kamarnya Tante Pungky, memang kecil sih tapi desainnya menarik. Semuanya serba nempel di tembok, mejanya nempel di tembok, kursinya nempel di tembok, tivinya nempel di tembok. Tidak ada lemari, cuman rak kecil dan gantungan baju yang (pastinya) nempel di tembok. Tidak ada kulkas, minibar dan pemanas air. Kamar mandinya keren, model kapal selam dari stainless steel gitu, walaupun buat sebagian orang yang ukuran tubuhnya agak panjang-panjang susah juga bergerak di dalem situ kayaknya karena sempit.

Kalau standar kebersihan dan pelayanan sih, karena masih dibawah manajemen hotel yang punya standar pelayanan bagus jadi ya bagus juga. Setelah kunjungan singkat ke hotelnya Tante Pungky, mempertimbangkan lokasi strategis, kebersihan bagus dan harga yang terjangkau, ditambah pengen nyobain kamar mandi model kapal selam, saya dan Chacha memutuskan untuk booking hotel Pop di perjalanan pencarian innerpeace kedua kita ke Jogja. Sayang banget, ternyata di Jogja kamar mandi nya yang standar, model kotak biasa bukan model submarine.
 
Jarak dari pintu masuk ke ujung kamar

segala furniture yang nempel di tembok

Kamar mandi kotak, bukan kapal selam
Saya dan chacha sih ga ada masalah sama ukuran ruangan secara kita kan semacam hobbit-hobbit yang ukurannya juga minimalis. Barang-barang saya kalo pergi kemana-mana juga selalu minimalis. Barang-barangnya Chacha aja yang tumpah ruah, roll rambut berantakan dimana-mana, belanjaannya yang segambreng berjejer di kursi yang nempel di tembok itu sampai-sampai berubah fungsi jadi meja juga.

Yang bikin sengsara karena saya dan Chacha adalah pecandu kopi berat. Kalau pagi-pagi bangun tidur ga langsung  ketemu kopi bisa-bisa kita udah cakar-cakaran dan gigit-gigitan. Jadi sebelum terjadi pertumpahan darah di antara kita berdua harus ada segelas kopi hitam pas bangun tidur. Di dalem kamar itu tidak ada pemanas air, sementara kita berdua bangun subuh-subuh demi mengejar matahari terbit di Borobudur jadi sudah pasti breakfast complimentnya belum tersedia. Ada sih mesin minuman di lobby, jadi kita turun dulu ke lobby subuh-subuh demi segelas kopi. 

Masalah lain muncul ketika si Chacha beli oleh-oleh Gudeg. Karena penerbangan kita pulang ke Jakarta pagi-pagi, jadi beli gudeg nya di malam sebelum pulang itu. Karena ga ada kulkas di dalam kamar jadi kita hanya bisa berdoa semoga gudegnya ga akan basi dalam jangka waktu semalam. Soal yang lain sih ga masalah. Tempat tidurnya nyaman, sprei nya bersih, kamar mandi bersih, handuk setiap hari diganti, air panas lancar, ada channel cable TV. Secara fungsional sih fasilitas nya terpenuhi. 

Waktu ke Semarang, saya minta rekomendasi hotel ke Arie Goiq. Dia rekomendasi beberapa hotel tapi pilihannya saya dengan pertimbangan lokasi dan harga akhirnya ke hotel Whizz Semarang. Pas sampe sana ternyata hotel ini juga konsep budget hotel seperti Pop hotel. Desain interior nya dominan warna hijau terang seperti daun muda di pagi hari habis kena embun gitu, seger. Desain kamarnya juga mirip sama Pop hotel, segalanya serba nempel di tembok.

Disini saya baru sadar satu macam "luxury" lagi yang tidak ada di hotel konsep begini. Sandal hotel. Karena kebiasaan di sediakan sandal hotel di hotel, kalau bisnis trip saya ga pernah bawa sandal supaya bawaan saya ringkas. Sialnya sepatu cantik yang saya pakai waktu ke semarang membuat kaki saya lecet karena dipakai jalan jauh, jadi di pagi hari waktu mau sarapan saya telanjang kaki aja berkeliaran di hotel itu. Oia, sambil berdoa semoga pas antri sarapan tidak ada bapak-bapak pakai sepatu kantor yang menginjak kaki saya yang imut.

Di Pop hotel jogja saya ga sempet cobain sarapannya, karena dua hari tinggal di hotel selalu pergi sebelum jam 6 pagi, sedangkan sarapan baru mulai tersedia jam 6. Denger cerita tante Pungky di Pop hotel Bali sarapannya makanan tradisional gitu, ada nasi jenggo, nasi jagung, dan semacamnya. Di Whizz ini sarapannya ada menu tradisional - nasi ayam dan pecel, ada juga roti dan selai ala kadarnya. Bagus juga sih saya bilang, sarapan yang ditawarkan sama hotelnya memang menu murah meriah tapi sekalian mengenalkan menu khas daerah itu.

Kamar mandi

Kamar desain minimalis

yang ini kursinya ga nempel tembok, cuma mejanya aja

wastafelnya diluar supaya ngirit,cerminnya jadi cuman satu
Selain dua hotel yang sudah saya cobain masih banyak hotel-hotel konsep budget hotel gitu. Ada Tune hotel yang satu manajemen sama Air Asia. Ada Amaris yang satu manajemen sama Hotel Santika. Grup hotel internasional besar Accor juga punya, dulu sempat namanya hotel formule 1, katanya sekarang berubah nama jadi Ibis Budget. Ya masih banyak deh budget-budget hotel lain dan malah makin banyak aja, dan yang saya ga ngerti kenapa rata-rata pilihan warna interior nya yang ceria-ceria gitu ya? Apa karena target segmen nya anak muda kali ya? Tapi konsep desain kamarnya yang serba nempel tembok itu lucu juga sih buat diterapkan di kamar saya yang ukurannya juga mini.

Senin, 21 Januari 2013

Akibat Salah Beli Tiket

Salah satu kelemahan saya lagi selain tukang nyasar adalah yang Mama saya selalu bilang dengan istilah "slebor". Bahasa ini mungkin populer pas jaman mama saya muda, bahkan katanya ada film terkenal dengan judul Bety Bencong Slebor. Definisi slebor sendiri itu kalau menurut saya sih sepertinya rada mirip cuek berantakan acak-acakan gitu, baik dalam berpakaian maupun berperilaku. 

Kalau soal ke gak matching-an saya dalam berbusana yang selalu di permasalahkan sama orang-orang sih sebenarnya itu merupakan salah satu perwujudan dari kreatifitas saya. Nah yang ganggu adalah perilaku slebor saya yang jujur gak bisa saya kendalikan. Seperti misalnya, ngupil waktu lagi nunggu lampu merah di mobil, angkat sebelah kaki waktu makan di KFC pake tangan, sering lupa pake kacamata dan baru sadar pas lagi nyetir udah rada jauh dari rumah, udah selesai makan di warteg pas mau  bayar ternyata di dompet ga ada uangnya, selalu salah  ngerjain soal matematika waktu sekolah karena gak pernah teliti (kalo ini kata guru-guru saya) dan masih banyak lagi kelakuan aneh yang suka bikin saya malu sendiri kalau sadar. Ya kalau gak sadar gak apa-apa sih.

Completely aware dengan kekacauan pribadi dan ke tidak telitian ini, setiap beli tiket pesawat online saya selalu berusaha untuk ekstra hati-hati. Berkali-kali mengecek tanggal, jam dan destinasi supaya ga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sangking ekstra hati-hatinya dan berkali-kali cross check, ga jarang saya kehabisan waktu dan harus mengulang dari awal lagi. 

Dulu waktu saya masih kerja di salah satu non-profit organization yang mengharuskan saya sering naik pesawat, sering banget saya salah jadwal. Saya pikir berangkat hari sabtu udah sampe airport baru sadar kalo tanggal yang di tiket itu hari minggu. Ada lagi, jam keberangkatan di tiket jam 6, saya santai-santai aja nunggu sore, eh pas sampe di airport ternyata tiket saya itu jam 6 pagi. Untungnya dulu saya selalu dapat tiket Garuda yang fleksibel, jadi kalo ketinggalan pesawat masih bisa ikut penerbangan selanjutnya selama masih ada tempat kosong.

Di akhir tahun kemarin saya melakukan kesalahan dalam  membeli tiket online. Jadi ceritanya saya ada urusan kerjaan ke Semarang, karena hanya sehari jadi rencananya saya pergi pagi pulang malam. Beberapa kali saya sering gitu sih, walaupun disertai dengan perasaan bersalah meninggalkan carbon footprint yang berceceran kemana-mana. Saya beli tiket sehari sebelum keberangkatan saya, dengan ekstra hati-hati saya memeriksa lagi tanggal keberangkatan, destinasi, jamnya berkali-kali untuk memastikan. Jadi rencananya saya berangkat tgl.24 penerbangan pertama dan pulang tgl.24 penerbangan jam 5. 

Karena kelamaan saya sempat kehabisan waktu dan mengulang lagi dari awal proses pemesanan tiketnya. Setelah pembayaran saya di approved dan keluar itinerary nya baru saya sadar kalau saya beli tiket berangkat tgl. 24 subuh dan pulangnya tgl. 25 jam 5. 

Jeng! Jeng! Jeng!

Setelah keliling mondar-mandir nge berisikin satu kantor mencerocos tentang kesalahan beli tiket itu, akhirnya saya malahan memutuskan buat pesen hotel untuk bermalam dan memikirkan nanti aja masalah tanggal 25 itu saya mau ngapain aja di Semarang. 

Urusan pekerjaan saya ternyata cepat selesai, jam 3-an saya sudah terdampar di tengah-tengah Tugu Muda Semarang yang dibangun sebagai monumen untuk mengingat pertempuran 5 hari di Semarang dengan baju kantor, flatshoes cantik dan backpack yang tentu saj aga matching sama sepatu cantiknya. Di hadapan saya Lawang Sewu, bangunan jaman Belanda yang terkenal ke horor-an nya sejak di ekploitasi sama salah satu acara mistis di TV swasta. Akhirnya saya memutuskan untuk masuk dulu ke bangunan tua itu sebelum mencari lokasi hotel saya yang terletak di sekitar Mall Paragon, menurut website hotelnya.

Tugu Muda

Lawang Sewu
Keesokan hari nya saya sedang mondar-mandir tanpa sepatu di hotel sehabis sarapan karena kaki saya sakit dan lecet gara-gara jalan jauh pakai sepatu cantik, ketika saya merasakan Blackberry saya bergetar di kantong ketika salah satu rekan bisnis (gayanya wanita bisnis maksimal) menge Ping menandakan kalau dia sudah ada di muka hotel dan siap mengantar saya keliling kota Semarang yang unik karena ketinggian kotanya lebih rendah dari ketinggian air laut.

Jadi ceritanya saya terselamatkan ketika bertemu rekan bisnis saya ini kemarin harinya dan cerita kalau saya salah beli tiket, dia antusias banget ngajak saya jalan-jalan. Malahan sempat mau ngajak ke Candi Gedong Songo yang katanya tidak sampai 2 jam perjalanan, tapi khawatir ga keburu ngejar flight sore akhirnya diputuskan jalan-jalan di Semarang aja. Destinasi pertama tentu saja beli pesenan Bandeng Juwana di Jalan Panandaran dan Wingko Babat di deket Stasiun Tawang. 
  

Gereja Blenduk
Masjid Agung Jawa Tengah

Ada Menara Lookout, bisa lihat Semarang dari atas
Semarang from Al Husna Tower di Masjid Raya Jawa Tengah

Masjidnya, lengkap dengan payung hidraulik

Restoran berputar, tapi pusing lama-lama euy


Jumat, 11 Januari 2013

Balada Seuntai Buddha Beads

Sebuah pesan di inbox facebook membawa saya ke Pondok Indah Mall di malam sebelum keberangkatan saya ke Australia. Dalam pesan itu ada titipan dari Mba Andri yang tinggal di Sydney, sebuah Buddha beads dan Aromatherapy oil. Saya meng-iya-kan saja dengan sok tau, sambil membayangkan sebuah toko yang menjual barang-barang tersebut. Kalo ga salah sih saya pernah liat di mall yang ada di bilangan Jakarta Selatan itu.

Lokasi tepat tokonya saya agak lupa-lupa ingat, samar-samar kayaknya tokonya ada di jembatan yang menghubungkan PIM 1 dan PIM 2. Jadilah saya menyusuri jembatan-jembatan itu beberapa level sampai akhirnya ketemu juga toko yang saya maksud. Mba-mba penjaga toko sempat kebingungan ketika saya bilang mau beli Buddha beads. 

"Itu yang kayak gimana bentuknya ya ?" tanya mba-mba toko.

"Waduh, saya juga belom pernah liat mba. Soalnya ini titipan temen." Dan bego nya saya kenapa waktu itu ga saya google aja ya barang itu. 

Mba-mba toko dengan ragu akhirnya mengarahkan saya ke benda berbentuk kalung yang mirip tasbih, ada yang terbuat dari kayu dan ada yang terbuat dari batu giok. Sudah pasti yang terbuat dari batu giok harganya mahal minta ampun, akhirnya saya memilih yang terbuat dari kayu cendana. Berharap semoga benar  benda itu yang dimaksud oleh Mba Andri.

Sebenarnya agak ketar-ketir juga sih bawa benda yang terbuat dari kayu, mengingat rempongnya peraturan di sono yang mengharuskan segala jenis kayu-kayuan yang mau masuk negara itu harus di fumigasi, sekecil apa pun barang itu. Saya ingat, pernah mengantar Carly (teman kantor saya yang dari Perth) jalan-jalan di Braga dan dia tertarik sama ukiran kayu, tapi mengurungkan niat buat beli karena takut ribet ketika mau masuk negaranya. 

Jadi saya membungkus Buddha Beads kayu cendana itu dengan kertas-kertas, kemudian saya selipin di kantong jaket yang tebal kemudian diletakkan di tengah-tengah tumpukan baju-baju. Berharap ga akan ketauan di imigrasi nya. Tapi saya sudah menyiapkan mental kalau ternyata ketahuan dan saya harus merelakannya di buang.

Tiba saatnya ketika saya harus mengisi secarik kertas Custom of Declaration. Saya ragu, musti ngaku kalo saya bawa kayu itu atau enggak ya? Akhirnya saya putuskan, ga ngaku. Keluar dari pesawat jantung saya berdegup kencang, apalagi kalau ketemu pandangan sama security. Seolah-olah mereka tuh tau semua kalau saya ngumpetin seuntai butir-butir kayu di dalem koper, saya dihantui perasaan bersalah.

Saya nyaris tiba di pintu exit, di hadapan saya petugas custom lagi masuk-masukin koper orang kedalam mesin X-Ray. Dengkul saya tiba-tiba lemes, muka rasanya panas dan jantung makin deg-deg-an. Perasaan saya kayak anak sekolah yang dateng telat ke kelas dan lupa bikin PR. Tapi untung banget, mungkin karena itu udah lewat tengah malem kali ya, petugas nya begitu lihat saya cuman nanya ada sesuatu yang mau di declare atau tidak. Saya  hanya menggeleng. Kemudian saya pun melenggang dengan mulus tanpa ada acara buka-bukaan koper segala. 

Beberapa hari saya di melbourne, Buddha beads itu masih tersimpan dengan rapi dan aman di antara buntelan kertas-kertas di sebuah kantong di bagian dalam pinggir koper bersama dengan 3 botol kecil aromatherapy oil yang juga pesanan Mba Andri. Dalam perjalanan dari Melbourne menuju Sydney koper tersebut saya letakkan di bagasi Bus. 

Baru kali itu saya naik Bus yang sopirnya cerewet banget. Ketika kita baru naik, dia memperkenalkan namanya dan peraturan-peraturan dalam busnya. Salah satunya adalah ga boleh menutup AC yang ada di atas kepala penumpang disertai penjelasan secara teknis mengenai temperatur AC yang diatur secara otomatis, Kalau AC di atas penumpang pada di tutup, AC yang besar yang terletak di paling depan bakal ngeluarin angin yang dingin banget. Kemudian dia menjelaskan berapa kali kita berhenti, dimana saja dia akan menurunkan penumpang dan tujuan terakhirnya adalah Central Station Sydney.

Saya tertidur sepanjang perjalanan dan terbangun ketika Bus berhenti, rupanya sudah hampir sampai di Sydney dan ada penumpang yang turun. Saya bener-bener ga tau dimana itu dan ga keliatan apa-apa juga karena di luar jendela yang saya lihat hanya pemandangan buram karena diselimuti kabut. Saya lihat jam di Blackberry saya, waktu menunjukan jam 4 subuh.

Tidak lama kemudian Pak Supir yang perawakannya tinggi besar tapi punya kuncir imut di belakang kepalanya memberi pengumuman tempat pemberhentian selanjutnya, Parramatta. Entah dimana itu. Agak banyak yang turun di Parramatta, saya memperhatikan dari jendela. Pak Supir dan para penumpang sibuk menurunkan kopernya masing-masing dari dalam bagasi. Kemudian Pak Sopir menutup bagasinya dan masuk kembali ke dalam Bus.

Dalam waktu beberapa detik sebelum bus jalan, pandangan saya menangkap ada koper yang diatasnya ada pita kuning gengges ngejreng di tengah gelapnya dini hari yang berkabut. Jadi ceritanya saya pergi jalan kali ini dengan koper pinjaman dari Papa Said. Koper itu sebelumnya baru dipakai dinas sama Papa Said, dan sudah jadi kebiasaan beliau buat ngasih tanda pita warna ngejreng di ikat ke kopernya. Katanya supaya di tempat pengambilan bagasi di airport Papa saya bisa dengan mudah mengidentifikasi kopernya karena mata tuanya sudah agak lemah, jadi musti nge jreng supaya gampang keliatan. 

Berkat si ngejreng itu, saya tersadar kalau itu koper saya ikut kebawa turun. Saya segera memberitahu Cipu yang duduk di sebelah saya di Bus. "Cipu itu koper gw," saya berseru sambil menunjuk ke jendela, ke arah luar.

Cipu langsung berlari ke depan bus, memberitahu pak sopir yang sudah siap mau nginjek gas. Bus berhenti, saya pun berlari menyusul Cipu yang udah duluan buka pintu bus dan turun. Ternyata koper nya tertukar. Kalau bukan karena pita kuning nge jreng itu, koper saya pasti udah tertinggal di Para-para-mana-tau itu. Hari pertama saya di Sydney bakal saya habiskan beli baju baru karena baju saya hilang semua. Yang paling parah, Buddha beads itu juga bakal lenyap. Semua kelelahan saya secara emosionil waktu menyelundupkan Buddha beads itu bakal sia-sia. 

Ada lagi yang lebih gawat kalau koper saya sampai hilang sama Buddha beads nya, "Untung gw sempet liat koper itu, Cip. Klo enggak nanti gw ga boleh nebeng sama Mba Andri gara-gara ga bawain titipannya huhuhuu..."

Senin, 07 Januari 2013

Tari Kecak di Uluwatu

Menurut saya ini adalah salah satu hal yang wajib dilakukan turis yang ke Bali, menonton pertunjukan Tari Kecak di Uluwatu saat matahari terbenam. Perpaduan gerakan tari yang artistik dengan background langit yang oranye kemerahan menimbulkan kesan keindahan yang ga bakal terlupakan.

Sadeeesss bahasanya.

Sudah lama sih saya punya niat nonton ini, tapi karena niatnya cuman setengah-setengah ya batal terus. Setelah beberapa kali punya setengah niat, akhirnya saya membulatkan niat saya setelah liat foto Fire Dance punya Exort, plus di panas-panasin.

Saya, Dayu Ary, Chacha, Tante Pungky dan Siba datang ke Uluwatu agak telat, cuman beberapa menit sebelum acara nya mulai karena terlalu asik main di Pantai Padang-Padang sebelumnya. Pengunjung yang mau nonton pertunjukan sudah ramai, untungnya masih dapat tiket seharga 75 ribu per orang (belum termasuk biaya masuk ke lokasi Pura Uluwatu-nya). Tapi kita ga dapet tempat yang bagus, yang pas di tengah menghadap matahari terbenam. Karena sudah nyaris full kita dapet tempat duduk paling bawah di sebelah samping.

Sebenarnya Tari Kecak awalnya adalah sejenis tarian sakral yang dipercaya sebagai pengantar untuk berkomunikasi dengan para dewa atau leluhur, jadi si penari nya nanti berperan sebagai media yang akan kerasukan roh leluhur. Tapi Tari Kecak yang di pertunjukan di Uluwatu bukan Tari Kecak yang itu. Tari Kecak di Uluwatu ini dipadukan dengan cerita Ramayana, koreografinya merupakan hasil kerjasama seniman Bali dan seniman Jerman tahun 1930-an. 

Ceritanya bermula ketika Rama dan Sita lagi di hutan, kemudian ada Kijang Emas yang lari-lari lucu. Rama mau menangkap Kijang Emas itu, tapi sebelum mengejarnya masuk ke dalam hutan Rama menitipkan Sita ke adiknya, Laksamana. Sebenarnya Kijang Emas itu adalah anak buah Rahwana yang disuruh menyamar untuk menarik perhatian Rama, soalnya di Rahwana naksir sama Sita dan mau menculiknya ketika Rama tidak ada.

Tak lama setelah Rama pergi, Sita dan Laksamana berantem. Kalau menurut selebaran cerita yang dibagikan sebelum pertunjukan ceritanya, Sita mendengar suara jeritan dari hutan dan mengira itu adalah Rama. Sita meminta Laksamana menolong Rama, tapi Laksamana tidak mau karena sudah janji ke Rama untuk menjaga Sita. Sita malah menuduh Laksama hendak mencari untung kalau Rama kenapa-napa, soalnya kan Rama itu putra mahkota kerajaan Ayodya jadi kalau Rama mati yang jadi raja si Laksamana gitu, kayaknya. Laksamana tersinggung kemudian ngambek meninggalkan Sita.

Nah berhasil deh tuh taktiknya si Rahwana, akhirnya Sita sendirian. Tapi ternyata Rahwana tidak bisa mendekati Sita yang dilindungi sama lingkaran penari kecak di sekelilingnya itu. Lalu Rahwana menyamar jadi kakek-kakek tua, Bhagawan. Dia muncul di hadapan Sita, minta diambilkan air. Ketika Sita mendekat, huwaaaaa....di tangkaplah si Sita. 

Sita menjerit-jerit meronta sampai jeritannya terdengar oleh Garuda yang lagi terbang di atas langit. Garuda pun turun, berusaha menyelamatkan Sita yang mau diculik Rahwana tapi sayangnya Rahwana malah memotong sayapnya Garuda. Sita pun di bawa ke Alengka Pura oleh Rahwana.

Sementara itu Laksamana berhasil menyusul Rama masuk ke hutan, mereka tidak tahu Sita sudah diculik sama Rahwana. Yang memberitahu mereka adalah Twalen yang chubby-chubby kocak. Twalen masuk ke arena dengan gaya santai, sempat menyalami penonton-penonton yang di jalur jalannya. Penonton yang disalamin sama dia pada melongo semua, ngapain juga ini salam-salaman kali pikir mereka. Abis nyalamin penonton, Twalen mendekati Rama dan Laksamana, memberi tahu kalau Sita di culik Rahwana, kemudian pergi lagi lewat jalan yang sama keluar arena dan kembali salaman-salaman sama penonton.

Laksamana menyesal sudah bertengkar dan meninggalkan Sita, keliatan banget gitu dari ekspresi penarinya. Disini munculah Hanoman, kera putih yang lincah. Rama minta tolong ke Hanoman untuk ke Alengka Pura mencari Sita. Sebagai bukti Hanoman adalah utusan Rama beneran, Rama memberikan cincinnya untuk diperlihatkan ke Sita.

Di Alengka Pura, Sita lagi bersedih. Dia lagi curhat sama Trijata keponakan Rahwana, sampai-sampai nyaris bunuh diri. Untung pas itu Hanoman muncul, Sita pun batal bunuh diri. Hanoman memperlihatkan cincin Rama sebagai bukti bahwa dia adalah utusan Rama. Tapi di Alengka Pura itu dijaga oleh anak-anak buah Rahwana. Disini mulai lucu, anak-anak buahnya mukanya serem-serem tapi kelakuannya kocak dan interaktif sama penonton. Anak buah Rahwana menangkap Hanoman yang menyusup ke istana dan berusaha membakarnya.

"Day, nanti itu gimana caranya si Hanoman madamin apinya?" saya penasaran bertanya ke Dayu Ary ketika api mulai di sulut di sekeliling Hanoman sehingga mengurungnya di dalam lingkaran api.

"eeeng... coba liat aja nanti, mil. soalnya gw juga ga tau, baru pertama kali ini nonton."

Di doakan dulu sebelum acara mulai
Para Penari Kecak nya juga di doa kan dan di percik-percik air suci
Tari Kecak

Rama dan Sita

Kijang Emas
Rahwana berusaha mendekati Sita, dihalangin sama Penari Kecak

Rahwana menyamar jadi Kakek-kakek tua (Bhagawan)

Garuda datang berusaha menyelamatkan Sita
ini Twalen nya, fotonya agak kabur hihihiihiy

Laksamana dan Rama setelah diberi tahu Twalen, kalo Sita diculik

Rama minta  bantuan Hanoman

Sita di Alengka Pura, lagi sedih liat ekspresi nya deh

Hanoman tiba-tiba muncul di tengah penonton

Anak buah Rahwana

Hanoman di tengah lingkaran api

Kamis, 03 Januari 2013

Kawan Lama di Melbourne

Saya dan Diena saling kenal sudah lama, sejak masih mengenakan seragam putih abu-abu dan menunggu angkot bersama di halte sepulang sekolah. Lulus SMA. Kita berdua sempat menghabiskan masa-masa penuh suka duka, perjuangan, tawa bahagia dan tetes airmata bersama ketika ikut bimbingan belajar sebulan sebelum UMPTN di Bandung. 

Hampir setiap hari kita tidur hingga larut, saya dengan latihan soal-soal UMPTN dan Diena dengan latihan menggambarnya. Dari awal cita-citanya memang mau masuk arsitektur atau senirupa, jadi selain mengambil kursus bimbingan belajar dia juga mengambil kursus persiapan untuk ikut ujian menggambar arsitek di salah satu universitas swasta terkenal di Bandung. Kita berdua berbagi satu kamar kos-an, berbagi kopi dan mie instant. Setiap pagi kita akan berangkat bersama menuju tempat bimbel, kemudian siangnya Diena akan melanjutkan dengan kursus menggambarnya sementara saya berpetualang keliling kota Bandung atau nongkrong di BIP. 

Malam itu, kurang dari seminggu menjelang UMPTN, saya dan Diena yang biasanya bercengkrama hingga larut entah kenapa di hari itu tertidur agak awal, pulas hingga keesokan paginya. Sinar matahari pagi yang menyelinap dari kisi-kisi jendela kamar membuat kita silau dan tersadar kalau kita bangun kesiangan. Tapi ada yang aneh, pintu kamar kita terbuka sedikit dan rusak seperti di dobrak. 

Dengan sigap, insting langsung menuntun saya menuju meja belajar, tempat saya meletakan dompet dan arloji. Uang di dalam dompet saya yang seingat saya masih ada sekitar 50 ribu ludes sampai receh-recehnya dan handphone saya pun ikutan raib. Sementara Diena sibuk membolak-balik bantal nya, tempat dia meletakan Jam tangan Baby-G nya di atas bantal kepala. Arloji kesayangannya itu pun lenyap, bersama dengan beberapa lembar uang di dalam dompetnya. Dalam kepanikan kita berdua menangis tersedu-sedu. Tapi kisah ini happy ending kog, karena pada akhirnya kita berdua berhasil masuk ke universitas yang memang jadi tujuan kita sejak awal. 

Bertemu kawan lama yang sudah bertahun-tahun tidak bersua rasanya berbeda, apalagi melihat Diena yang berubah sekali, dari yang dulunya kasual banget gayanya jadi lebih fashionable. Rupanya lama di Melbourne membuatnya jadi ikutan trendy. Kalau buat saya berjalan di kota ini dan melihat orang-orang lalu lalang seperti sedang membolak-balik majalah fashion atau lagi menonton Fashion TV. Segala macam gaya ada disini, yang wanita maupun pria sama modisnya. Mengenakan stocking robek dipadu sepatu boot dan rok mini motif leopard disini sepertinya hal yang wajar. 

Diena bercerita tentang pekerjaannya sebagai arsitek disana, kehidupan nya waktu melanjutkan kuliah di Melbourne Uni dan harus kerja part-time di café untuk tambahan uang saku, tentang kebiasaannya bersepeda ke kantor setiap hari, tentang hobi baru Capoera –nya dan rencana ikut carnaval di Rio de Janeiro. Juga tentang masa lalu kita, tentang kabar teman-teman SMA kita, tentang apa saja yang terjadi di kehidupan kita masing-masing sejak berpisah beberapa tahun yang lalu. Seolah-seolah semua kisah itu adalah hutang yang harus dibayar lunas di saat pertemuan kita itu. Tak terasa sudah dini hari. 

Hidup di negara orang musti mandiri, masa nasi sendiri hahahaa

Diena berangkat kantor dengan sepedanya

Paginya saya berpisah dengan Diena di depan stasiun kereta Flagstaf. Diena mulai mengayuh sepedanya di pagi hari musim gugur yang dingin menuju kantor. Pertemuan selanjutnya, kita janjian untuk menonton pertandingan Footy setelah saya kembali dari tur Great Ocean Road.

Selasa, 01 Januari 2013

Yes, we survived 2012

12 Desember 2012 yang di sebut-sebut akan menjadi akhir dunia saya nantikan dengan cemas, ternyata di hari itu saya bangun kesiangan dan ternyata belum kiamat. Kemudian ada issue lagi, katanya kiamatnya itu cuman delay jadinya 21 Desember 2012, tapi ternyata 31 Desember sudah lewat dan saya masih ada di sini, di atas kasur yang ukurannya terlalu gede buat saya sendiri, di dalam kamar, memangku leptop dan kembali posting di blog yang sudah saya "asuh" sejak 2008 ini. 

Eniwei, sebenernya juga siapa kita gitu berani-berani nya meramal kiamat - itu kan rahasia Tuhan, sama halnya seperti jodoh. Sombong banget deh manusia kalo sampai meramal-ramal soal kiamat dan ga sensitif banget manusia-manusia yang nanya ke saya "kapan nikah?", lah emangnya saya tau. Yah selama masih berstatus single dan bebas luntang-lantung kesana kemari, saya sih ga keberatan jadi jomblo.

Kisah jalan-jalan saya di 2012 dimulai dengan lompatan luar biasa ke negara Kangguru. Dua kota yang saya singgahi, Melbourne dan Sydney. Masih banyak yang belum sempat saya posting disini. Tentang kota Melbourne yang Bohemian, tentang keindahan coastline Australia di sepanjang Great Ocean Road, tentang bermalam di kabin di tengah hutan musim gugur memandang bintang di depan api unggun, tentang batu-batu-an cadas yang saya daki hingga ke puncaknya di Grampian, terlempar ke masa lalu ketika mengunjungi Sovereign Hill di Balarat, hingga memburu resto Jamie Oliver di Sydney. Tahun ini saya akan berusaha untuk tetap mencicil postingan Australia saya, jadi jangan bosen ya. 

Foto bareng grup tour Great Ocean Road & Grampian

Flinder Street Station, Melbourne
Salah satu alasan kenapa saya ga pernah merasa terbebani dengan kesendirian saya adalah karena saya jarang banget ngerasa sendirian. Yup! Saya harus puk puk diri sendiri dan meng-congratulate myself karena saya beruntung selalu dikelilingi teman-teman yang seru dan asik.

Numpang piknik di teras rumah orang

Jalan-jalan ke air terjun

One day trip ke Cirebon
Ditraktir Rossa nonton Java Soulnation pake tiket gratisan dr kantornya
Tahun 2012 juga ditandai dengan berakhirnya petualangan 3 alay dan dimulai nya perjalanan pencarian innerpeace. Bali dan Jogja sempat menjadi tempat persinggahan saya dan Chacha dalam rangka misi mencari innerpeace, tahun 2013 ? tunggu aja yaaaa......

Sudah satu tahun lebih sejak saya memutuskan pindah ke kerjaan yang sekarang dan ini adalah pekerjaan pertama saya sepanjang kehidupan karir saya selama 5 tahun yang sedikit banget bisnis trip nya. Paling jauh bolak-balik Bandung. Akhirnya di penghujung tahun saya ada kesempatan bisnis trip ke Semarang sambil mampir ke Lawang Sewu, itu juga belum sempat saya share. Mudah-mudahan 2013 saya banyak dikirim bisnis trip supaya bisa jalan-jalan gratisan lagi (loooh?!).

Bali

Jogja


Nyasar sampek Lawang Sewu di Semarang
Happy New Year dari saya dan Chacha, pencarian innerpeace masih lanjuuut


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...