Senin, 26 November 2012

Rama Phala Resort and Spa

Jarang-jarang nih saya liburan menginap di Resort & Spa, sangking jarangnya saya sampai-sampai sudah tidak ingat kapan ya pernah menginap di hotel macam begini. Kecuali kalau urusan kerjaan yang dibayarin sama kantor, biasanya kalau liburan saya mesti cari hotel yang "terjangkau",  itu kata halusnya dari murah. Soalnya kalau buat saya hotel itu cuman buat tidur aja, kalau liburan kan lebih banyak menghabiskan aktivitasnya di luar.

Liburan dalam rangka mencari innerpeace ke Bali beberapa waktu lalu itu adalah pengecualian. Saya pikir ya ga ada salahnya sekali-sekali memanjakan diri waktu liburan dengan menginap di resort. Kebetulan searching di salah satu web booking hotel lagi ada promo di Resort & Spa Rama Phala ini. Pas liat keterangan lokasi nya di Jl. Hanoman, Pengosekan yang dekat dengan Monkey Forest dan restoran Bebek Bengil langsung saya booking.

Kamarnya luas dan nyaman, di antara taman yang artistik. Di depan kamar saya ada kolam dan pancuran air, jadi kalau malam hari duduk di teras bisa dengar bunyi gemericik air berpadu dengan bunyi kodok dan jangkrik. Manisnya ketika masuk kamar saya menemukan surat selamat datang yang ditujukan untuk saya, soalnya ada nama saya disitu. Surat itu diletakkan di atas tempat tidur, ditaburi bunga-bunga, simpel sih tapi rasanya seneng banget di suratin secara personal gitu. 




Rama Phala Resort & Spa termasuk hotel yang masih baru di daerah Ubud, menurut salah satu staff  nya baru satu tahunan. Lokasi nya tidak terlalu ramai tapi cukup strategis, di sekitarnya banyak terdapat restoran, salah satunya Bebek Bengil. Banyak juga resto-resto lucu di pinggir-pinggir jalannya asik buat nongkrong sore-sore, salah satunya  Kebun Bistro. Tidak jauh di seberang hotel ada supermarket dan ATM macam-macam bank. Dari Ubud saya ke Kuta  naik bus Perama yang ada di sebelah hotel. Kalau ke Pasar Seni Ubud memang agak jauh, jalan santai bisa 20 - 30 menit. Tapi di Rama Phala ada free shuttle yang mengantar dan menjemput ke daerah Pasar Seni, di waktu yang di tentukan.

Di kamar mandi nya, selain ada bath tub ada shower yang atap nya terbuka. Jadi kita bisa showeran di bawah cahaya matahari pagi atau showeran di bawah gemerlap bintang. Tapi sayangnya air di sini warnanya agak kekuningan dan bau besi, menurut staff nya itu karena air nya menggunakan air tanah, walaupun sudah di filter beberapa kali tetap saja tidak bisa menghilangkan keruh nya. Tapi menurut hotel air nya aman, asal tidak di konsumsi.

Showeran dibawah bintang

Minggu, 25 November 2012

Kalo kata Rossa, gagal move on

Rasanya sudah sejuta tahun yang lalu terakhir aku kesini, ya waktu sama kamu. Aku masih ingat jelas semua yang kamu bilang, ketika kita menunggu jam penerbangan kita sambil makan siang di KFC depan bandara. Beberapa jam sebelum kita berpisah, Aku pulang ke kota aku dan kamu pulang ke kota kamu.

Sudah tak terhitung entah berapa kali dan berapa banyak bandara yang mempertemukan dan memisahkan kita, tapi kali ini berbeda. Momen itu pasti akan datang, aku tahu. Hanya saja saat itu aku tidak siap. Aku tak pernah akan siap.

Kamu bilang ke aku tentang beratnya kehidupan di tempat asalmu dan betapa kamu akan merasa terkekang. kamu bilang akan merindukan kebebasan dan kehidupan kamu yang ini. Dalam hati aku berharap kamu juga bilang akan merindukan aku, tapi itu tak pernah tercetus dari mulutmu. 

Hingga menit-menit sebelum keberangkatanmu, di depan counter check-in kita duduk berdampingan, tak juga kata2 yang kuharap itu keluar dari mulutmu. Kamu hanya diam, memandang kosong ke depan. Aku pun terlalu hancur untuk bicara, rasanya seperti hilang arah dalam kegelapan, tersesat diantara sosok2 bayangan yang hilir mudik di depanku. 

Ruang ini seperti kehilangan dimensinya, suara riuh percakapan dan roda trolly beradu dengan lantai terdengar sangat jauh dan sangat samar. Tapi aku bisa merasakan rangkulan tanganmu yang sangat erat, terlalu erat hingga lenganku sakit ditempat jari2mu mencengkramnya.

Suara pengumuman dari pengeras suara memanggilmu untuk segera masuk ruang tunggu. Suara pengumuman dari pengeras suara itu mencerabut benih harapan yang kutanam hingga ke akar2nya. Kata2 terakhir mu adalah, "aku pulang ya."  

Aku hanya mengangguk. Terlalu pedih untuk berkata-kata.

Aku memandang punggungmu dan kepalamu yang tertunduk dan langkahmu yang terseret. Aku memandang kamu berbalik, menatap aku. Dalam beberapa detik aku berharap kamu akan balik arah dan kembali. Tapi kamu hanya tersenyum dan pergi. 

20 menit berikutnya rasanya waktu seperti berhenti. Bekas jari2 mu di lenganku masih terasa panas, seperti dadaku, seperti mataku. 

Sekarang aku duduk di tempat yang sama seperti 4 tahun lalu, menunggu penerbangan dengan tujuan sama seperti waktu itu. Rasanya seperti de ja vu. Aku merasa panas di tempat kamu rangkul aku erat dulu, seperti dadaku, seperti mataku dan seperti setetes air yang jatuh di punggung tanganku.

Jumat, 16 November 2012

Postingan dalam rangka Cuti Nasional

Pagi ini saya bangun tidur dan tiba2 memandang hidup ini seperti treadmill yang ga bisa di stop dan di atur kecepatannya. Treadmill itu pun hanya bisa berputar kedepan dan memaksa kaki untuk melangkah mengikuti putarannya. Seberapa besar pun keinginan kita untuk membuatnya berjalan mundur, benda itu tetap akan berputar maju.

Ada saat dimana rasanya terlalu lelah untuk melanjutkan dan ingin istirahat sejenak, tapi benda ini tidak dapat di stop walaupun kita berteriak dan menangis dan memohon, benda ini akan tetap menyeret kita untuk mengikuti putaran bannya. 

Ketika saya merasa amat sangat lelah, langkah saya terseok mengikuti laju putarannya, saya terjerembab dan treadmill itu masih saja berputar menyeret saya yang sudah babak belur hancur lebur. Saat itu saya memutuskan untuk berhenti melangkah, duduk disamping benda itu dan hanya memandangnya. Menonton ban karet hitamnnya yang terus berputar kedepan tanpa saya.

Entah sudah berapa lama saya duduk disampingnya, terlalu takut untuk mulai melangkah lagi diatasnya. Takut akan rasa lelah itu. Takut terjerembab lagi. Takut luka lagi. Bekas luka di sekujur tubuh saya ini adalah untuk selamanya, saya tahu.

Saya memandang treadmill itu lagi, yang tanpa ampun dan tak peduli dengan saya terus saja melaju. Mungkin sudah terlalu lama saya duduk disini. Mungkin sudah saatnya saya kembali berjalan diatas treadmill itu. Lebih kuat. Lebih berani.



Senin, 12 November 2012

Kisah Pencarian Innerpeace di Pantai Padang-Padang

Pencarian innerpeace di bawah kehangatan sinar matahari yang menyusup melalui celah-celah pohon kelapa, di terpa semilir angin laut yang sejuk dan suara ombak berpadu dengan kicauan burung tak akan lengkap tanpa berbagi gelak tawa ceria bersama teman-teman. Begitupula waktu saya dan Chacha ke Bali dalam rangka pencarian innerpeace, dua orang perempuan cantik turut menghiasi perjalanan kita.

Perempuan cantik pertama berasal dari Purwokerto dan ini adalah kali pertama Saya dan Chacha bertemu sama perempuan mungil yang dari status socmed nya sering banget melipir dari kantor. Kita kenal sama tante ini waktu kita sering mainan Plurk jaman dulu, walopun saya udah ga pernah buka-buka akun plurk saya tapi masih sering hubungan sama tante ini di socmed lain, namanya Tante Silvy atau lebih beken dengan sebutan Punky. Tante Punky dan si bujangnya yang lucu sudah tiba lebih dulu di Bali, jadi kita janjian di bandara Ngurah Rai. Baru deh kita culik si tante ke Ubud, makan Bebek Bengil. Nah ini edisi penculikan di lain hari lagi, di hari yang ini kita culik si tante ke Pantai Padang-Padang.

Tante Punky, Saya dan Chacha yang lagi ribet ama gadgetnya, difoto oleh si bujang Siba
Di pinggir jalan di depan Mall Benoa kita memungut satu lagi perempuan manis asli Bali. Well, dia ini memang keturunan Bali dengan nama dan wajah yang Bali banget, tapi kelakuannya sudah terkontaminasi karena lama tinggal di Ibukota. Walaupun begitu katanya dalam darahnya masih mengalir ke-Ida Ayu-an nya melalui bakatnya dalam menulis. Hmmm... ya harus saya akui dari dulu saya selalu terkagum-kagum sama tulisannya yang smart dan witty, dan eeeenggg... sarkastik. Coba aja liat blognya Kucinghitamjalanjalan

Saya sih manggil dia Dayu, tapi karena ini di Bali jadi tambahin Ary di belakangnya untuk membedakan dia dengan Dayu-Dayu yang lain. Dayu Ary teman sebangku saya waktu SMA dulu, dia biasa melalap buku novel 400 halaman dalam sehari. Jadi pagi-pagi pas jam pelajaran pertama dia mulai baca buku itu,  sore-sore di jam pelajaran terakhir pas saya mau siap-siap pulang dia sudah menyelesaikan novel itu. Mungkin kecepatan bacanya mencapai 15,000 kata per jam.

After college dia kembali ke Bali dan bekerja sebagai Wedding Planner, semacam perannya Jennifer Lopez di film gitu. Tapi untungnya pria idamannya bukan berasal dari salah satu kliennya walaupun cerita nya ga kalah dari film bergenre drama romantis manapun. Saya belajar satu hal dari kisah cinta nya Dayu Ary, bahwa jodoh itu datangnya bisa aja ga terduga-duga. Kemarin bisa aja jodoh kita itu tinggal di belahan dunia lain dan kita ga pernah tau tentang keberadaannya, eh mungkin aja loh besoknya tiba-tiba orang itu ada di depan mata kita and voila..love is in the air.  

Pada saat semua orang skeptis dan pesimis bahwa cowok itu ga akan datang (err.. itu gue ya day), Dayu tetap mengikuti kata hati nya dan tetap nunggu cowok itu and voila... she got the man. Mungkin memang benar, kita hanya harus belajar mendengarkan kata hati kita sendiri dan tetap percaya bahwa Yang Di Atas pasti punya kejutan yang manis dibalik segala cobaan yang kita lalui. Bener begitu bukan, Day? heheheheee.....

Pantai padang-padang terletak di jalan menuju ke Uluwatu. Lokasinya setelah pantai dreamland kalau kita ke arah Uluwatu. Untuk menuju ke Pantai ini kita menuruni tangga di antara celah batu karang yang ukurannya selebar orang kalau jalan maju. Jadi kalau papasan sama orang lain dari arah berlawanan jalannya musti miring kayak kepiting. 

Saya bisa sampai di Pantai ini berkat arahan dari wangsit nya Jeung Suzy, yang waktu itu bareng sama saya jalan-jalan naik angkot ke Bogor. Menurut Jeung Suzy, di pantai ini di hari kamis pas sunset saya akan menemukan jodoh saya berdiri di antara dua batu karang yang besar dengan perut kotak-kotak nya. Syaratnya saya harus memakai bikini Fink Puschia dan minta di pakaikan kuteks warna senada sama ibu-ibu yang namanya saya lupa. Tapi saya ingat harganya, Rp.25ribu. Sayangnya saya telat 2 hari datang ke pantai ini, saya datang pas hari Sabtu. Ya jodoh saya ternyata tepat waktu dan ga mau nunggu saya telat dikit, yasudah berarti ga jadi jodoh deh. Weee :p

Ternyata di Pantai ini sudah ramai juga, walaupun ga seramai Dreamland waktu terakhir kali saya dan Chacha kesana. Karena modelnya semacam teluk yang menjorok gitu jadi ga ada ombak disini, pinggir pantainya relatif tenang dengan rombongan ikan-ikan kecil yang hilir mudik diantara batu-batu karang di dasar nya. Ya tapi itu, karena banyak karang jadi susah main air nya, kaki saya aja jadi luka-luka tergores karang-karang. 

Karena rencana main air agak tehalang sama batu-batu karang,  jadi kita pilih tempat yang agak teduh di bawah bayangan batu karang, menghampar kain pantai. Sambil mengunyah sate lilit tuna yang dibawa Dayu Ary, kita duduk sambil mengamati cowok-cowok bule berkulit tanning dan perut kotak-kotak. We were happy, shared laughter and Sate Tuna, nothing and no one can stand in our way to enjoy our happiness there at Padang-Padang Beach (or anywhere else in this world). We rule our own happiness.
Don't You Wish Your Girlfriend is Hot Like Us - @tantedebz, 2012

Siba si bujang, Chacha, dan Dayu

Ga ngerti lagi ngapain

Wajah ceria dibawah matahari

Gaya ababil

Me & Dayu, tampang kita ga ada yg berobah sejak SMA dulu hihihii

Tante Pungky pst lagi liatin cowok sampe serius gitu

***

Giveaway saya kali ini sepi peminat hihihi. Yang ikut hanya ada 4 orang, Milo dari http://catatan-millati.blogspot.com/ , Yoswa dari http://yosstory.blogspot.com , Mitha dari http://juniarmita.blogspot.com dan Huda dari http://inthehoedz.blogspot.com/ . Ceritanya lucu-lucu dan saya acungin 4 jempol deh buat keberaniannya menguak aib sendiri. Tapi saya paling kasian sama Yoswa dan Huda jadi oleh-oleh Kopi Bali nya akan saya kirim untuk kalian. Selamat yah. Kalau mau tau ceritanya Yoswa dan Huda bisa langsung intip page ceritanyamila di http://facebook.com/ceritanyamila.



Kamis, 08 November 2012

Pura Jagatkarsa

Ini bukan postingan hasil perjalanan mencari innerpeace kemarin ke Bali walaupun judulnya tentang Pura. Postingan ini adalah hasil jalan-jalan terstruktur naik angkot charteran bersama para perempuan cantik di Bogor, tepatnya di sekitar kaki Gunung Salak. 

Waktu saya cerita ke teman saya yang orang Bali mengenai keberadaan Pura yang megah ini di suatu tempat beberapa kilometer dari kota Bogor saya malah di cemooh, "Mil, ternyata kamu ga gaul ya?" gitu katanya. Ternyata dia malah sudah pernah ke situ jauh sebelum saya dan jauh sebelum Rossa yang mengaku warga Bogor mengetahui ada Pura disitu. 

Menurut teman saya Pura itu dari jaman dahulu kala sebenarnya sudah ada, dipercaya tempat itu dulunya adalah tempat Prabu Siliwangi bertapa. Daerah Bogor memang dipercaya merupakan pusat dari Kerajaan Sunda, Pakuan Pajajaran yang salah satu rajanya yang terkenal adalah Prabu Siliwangi itu. Seperti di postingan sebelum ini tentang Cirebon, sebelum Sunan Gunung Jati datang kan Cirebon masuk wilayah Kerajaan Sunda juga dan mereka masih mengakui kebesaran Prabu Siliwangi hingga sekarang.

Kerajaan Sunda itu cakupan wilayahnya luas juga  ternyata, coba aja bayangin jaman dulu yang belum ada mobil, belum ada kereta api, berapa waktu yang dibutuhkan jalan kaki dari daerah Banten ke Cirebon coba? Orang-orang jaman dulu pasti betisnya seksi-seksi. 

Berakhirnya kejayaan Kerajaan ini adalah ketika Pakuan Pajajaran diserang oleh Sultan Banten, cucu nya Sunan Gunung Jati, bernama Maulana Yusuf. Dari istana Pajajaran, Sultan Banten memboyong bagian dari tahtanya raja itu dan hingga sekarang masih ada di Surosowan di Banten Lama. Benda itu adalah Watu Gilang. 

Yup! Watu Gilang yang itu, yang dipaksa untuk di potret oleh Pak Kuncen Surosowan berkumis lebat itu, yang sama sekali tidak menarik bagi saya dan Rossa. Betapa uniknya yah cerita sejarah saling berhubungan dan menjalin sebuah kisah yang kompleks tapi bertautan. Ibarat cerita telenovela tentang seorang bayi perempuan kaya yang ditukar sama bayi laki-laki miskin sehingga pas udah gede yang cewe jadi miskin dan yang cowo jadi kaya, trus mereka ketemu dan saling jatuh cinta, tapi ibu nya si cowo ga setuju padahal sebenarnya yang cewe miskin itu adalah anak kandungnya. Yah kira-kira begitu deh maksudnya, ngerti kan?

Ketika kita tiba disana sempat bingung karena lagi ramai ada acara perayaan Odalan, tapi setelah di pinjami tali pinggang dan di ciprat air suci kita diperbolehkan masuk ke pelataran Pura nya. Ngobrol-ngobrol sama salah satu bapak-bapak disana katanya baru-baru ini aja jalanan menuju Pura itu diaspal bagus, sebelumnya jalannya kecil dan masih jalan batu. Bapak itu sendiri sudah sejak beberapa tahun yang lalu sering mengunjungi Pura ini untuk beribadah dengan sepeda motor dari rumahnya di daerah Cinere di Jakarta.

Pura di kaki gunung

Foto bersama

Patung Ganesha

Kamis, 01 November 2012

Mengulik Kisah Kesultanan Cirebon

Konon menurut cerita yang saya baca, setelah menaklukan Pelabuhan Sunda Kelapa dan mengganti namanya menjadi Jayakarta, Syarif Hidayatullah bersama dengan putra nya yang dari Putri kerajaan Demak pergi ke Banten. Disana putranya yang bernama Maulana Hassanudin membangun kesultanan yang akhirnya di luluh lantak oleh VOC hingga yang tersisa sekarang hanya puing-puing nya. Beberapa bulan yang lalu saya sempat pergi kesana.

Sementara Maulana Hasanudin sedang membangun kesultanannya, Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati berangkat lagi ke Cirebon dengan misi menyebarkan agama Islam. Waktu itu daerah Cirebon hanya merupakan suatu desa kecil yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian nelayan udang yang bahasa sananya rebon, beberapa sumber percaya itu adalah asal mula nama Cirebon diambil - cai (air) dan rebon (udang).

Syarif Hidayatullah kemudian mulai membangun kesultanannya disana.  Lama kelamaan pelabuhan di Cirebon semakin ramai dan kampung kecil ini semakin berkembang karena kegiatan perdagangannya. Menurut Bapak guide yang mengantar kita keliling Keraton Kasepuhan, Sunan Gunung Jati usianya mencapai 100 tahun lebih. Ketika beliau meninggal dan putra nya yang seharusnya menjadi pewaris tahta nya memutuskan untuk mengundurkan diri dan memilih menjadi penyebar agama Islam, ditunjuklah kawan lama Sunan Gunung Jati yang bersama-sama menaklukan Pelabuhan Sunda Kelapa, yaitu Fatahillah sebagai pejabat sementara.

"Fatahilah juga adalah menantu Sunan Gunung Jati. Beliau menikah dengan putri Sunan Gunung Jati yang adalah janda nya Dipati Unus dari Kerajaan Demak. Dipati Unus gugur ketika perang dengan Portugis di Malaka. Karena itulah putrinya Sunan Gunung Jati nyaris tidak merestui ketika suami baru nya, Fatahillah akan dikirim perang ke Sunda Kelapa. Trauma," kata Bapak itu menjelaskan kisah romansa yang ga pernah muncul di buku sejarah sekolah dulu.

Mungkin karena kedekatan hubungan Fatahilah dan Sunan Gunung Jati, ketika Fatahilah wafat jenazahnya disemayamkan disebelah Sunan Gunung Jati dan ditunjuklah cucu dari Sunan Gunung Jati sebagai penerus Kesultanan Cirebon. Beberapa generasi selanjutnya Kesultanan Cirebon pecah menjadi dua sehingga Kesultanan yang pertama berdiri dikenal dengan nama Kesultanan Kasepuhan, dan Kesultanan yang lebih baru diberi nama Kesultanan Kanoman. Hingga sekarang di Kesultanan Kasepuhan sudah sampai ke generasi ke-14 yang memerintah, yaitu Sultan Kasepuhan XIV Cirebon Sultan Sepuh PRA Arief Natadiningrat.

Tampak Muka Keraton Kesultanan Kasepuhan Cirebon

"Pecahnya Kesultanan itu ya gara-gara ulah Belanda," kata si Bapak.

"Sultan ke berapa yang pertama kali memberontak terhadap Belanda, Pak?" tanya saya.

"Ada Sultan Kasepuhan V," jawab Bapak itu sembari membenarkan letak blankon nya yang melorot hingga ke dahi, "beliau memimpin pemberontakan terhadap Belanda tapi secara sembunyi-sembunyi. Menyamar jadi rakyat biasa dan mengumpulkan pasukan yang terdiri dari rakyat-rakyat juga di suatu tempat. Hal ini dia lakukan untuk melindungi Kesultanannya agar tidak dihancurkan dan diserbu oleh pasukan Belanda. 

"Katanya Sultan itu sangat sakti, satu-satu senjata yang dapat membunuhnya hanya keris nya sendiri. Ketika Belanda mulai mengetahui kalau Sultan itu yang memimpin pemberontakan, mereka mendekati adik laki-laki Sultan. Dengan di iming-imingi kedudukan sebagai Sultan, adik nya itu tega mengkhianati kakaknya sendiri.

"Pada suatu hari adiknya itu mengambil keris sakti kakaknya secara sembunyi-sembunyi dan memberikannya kepada Belanda. Kakaknya pun terbunuh oleh Belanda dengan kerisnya sendiri. Tapi tentu saja cerita pengkhianatan ini langsung ditutup-tutupi ketika si adik menjabat sebagai Sultan menggantikan kakaknya yang dikhianatinya."

Keunikan Keraton di Cirebon terletak pada potongan-potongan keramik yang tersebar di dindingnya. Baik Keraton Kasepuhan maupun Keraton Kanoman yang lebih sederhana, di dinding temboknya yang putih terdapat potongan-potongan keramik yang di tempel. Bentuk gerbangnya tampaknya masih terpengaruh arsitektur jaman Hindu-Buddha karena mirip gerbang Pura-Pura. 

Memasuki halaman Keraton Kasepuhan, pengunjung akan disambut oleh patung dua harimau putih. Harimau Putih adalah semacam legenda di daerah Jawa Barat yang berkaitan dengan Prabu Siliwangi, Raja paling ngetop dari Kerajaan Pajajaran. Menurut mitos yang beredar, Prabu Siliwangi pergi bertapa ke hutan dan berubah menjadi harimau putih, sementara anak buahnya yang ikut dia ke hutan berubah menjadi harimau belang. Menurut cerita Bapak itu, salah satu pendiri kampung Cirebon masih keturunan Prabu Siliwangi, maka itu dulunya Cirebon itu berada dibawah Kerajaan Pajajaran.

Walaupun sudah mendapat pengaruh agama Islam yang kuat, tapi sosok Prabu Siliwangi tampaknya masih lekat di kebudayan masyarakat. Di dalam museum Keraton Kasepuhan pun dipajang lukisan Prabu Siliwangi yang gede banget, konon pelukisnya bermimpi didatangi oleh Prabu Siliwangi kemudian dia melukis orang yang persis seperti yang datang dalam mimpinya itu.

Di sebelah kanan dan kiri keraton utama terdapat dua bangunan, yang satu adalah semacam kantor administrasi untuk mendaftar kalau kita mau ketemu Sultan. Yang satu lagi namanya Sri Manganti, ruang tunggu buat tamu yang mau ketemu Sultan menunggu dipanggil. Ketika mau pulang ke Jakarta di Stasiun Cirebon saya mendapati ruang tunggu eksekutif nya pun dikasih nama Sri Manganti.

Jinem Pangranti, nama ruangan semacam beranda Keraton utama menuju ke Ruang Singgasana Sultan. Keramik-keramik tersebar di dindingnya yang putih, lampu kristal eropa menggantung tepat di tengah 4 batang kayu jati yang masih terlihat kokoh walaupun sudah beberapa abad usianya. Pilar-pilar ini bentuknya mirip pilar-pilar di bangunan Keraton Jawa. Jendela-jendelanya kental pengaruh Eropa nya. Kaca patri berwarna hijau dan kuning tersemat menghiasi pintu utama yang berwarna hijau senada dengan pilar nya.

Pintu di Jinem Pangranti hanya dibuka kalau Sultan menerima tamu penting, bagi para turis masuknya melalui pintu samping. Keraton ini tidak seluas Keraton di Jogja dan Solo, lebih mirip seperti rumah sih. Anggota keluarga kerajaan masih ada yang tinggal di bagian belakang bangunan Keraton ini. Kita masuk melepas alas kaki langsung menuju ruang singgasana.

Singgasana Sultan terletak di atas panggung. Kursi singgasananya unik, dihadapannya ada meja yang kaki nya berbentuk dua naga yang saling melingkar. Di belakang kursi singgasana ada tempat tidur yang di hiasi kelambu kain yang terdiri dari 9 warna, konon itu merupakan simbol dari Wali Songo - Sembilan orang Sunan yang menyebar agama Islam di Jawa. Tempat tidur itu untuk Sultan beristirahat si sela kesibukannya memerintah di atas singgasana.

Jinem Pangranti

Singgasana Sultan

Tembok akulturasi budaya



Di sisi singgasana ada sebidang dinding dimana akulturasi budaya menjadi satu disitu, patching the wall. Di tembok terukir relief bunga merah yang bernama Kembang Kanigaran. Bentuk ini dapat kita temui di atasnya buah manggis, merupakan simbol kejujuran karena kalau kembang ini jumlahnya 5 sudah pasti isi buah manggis di dalamnya juga 5, ga mungkin bohong deh. Di antara Kembang Kanigaran ada dua ekor burung beo berwarna putih sebagai simbol kecerdasan. Di bawah relief itu di tempel 3 buah piring keramik China.

Membingkai relief tersebut ada potongan-potongan keramik berwarna biru dan coklat yang berasal dari Eropa. Keramik yang warna coklat sebenarnya merupakan cerita tentang nabi-nabi di agama Nasrani, tapi karena yang menyusun nya ga ngerti jadinya random, malahan di atasnya malah dipotong bentuk kubah masjid.


Keraton Kanoman kelihatan jauh lebih sederhana, kecuali tembok bagian depannya yang sama dengan Keraton Kasepuhan - di taburi keramik-keramik walaupun beberapa kelihatannya sudah dicungkil meninggalkan lubang kosong di tembok putih. Keraton Kanoman terletak di belakang pasar. Ketika kita tiba disana tidak ada turis lain, hanya anak laki-laki yang ramai bermain  bola di halamannya yang luas. 

Keraton Kanoman


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...