Rabu, 29 Agustus 2012

Wisata Kampus, University of Sydney

Setelah menghabiskan beberapa hari di Melbourne dan sempat naik gunung, ketika sampai di Sydney tiba-tiba kog saya merasa jadi kayak 'ndeso banget. Secara karakter Sydney dan Melbourne itu beda banget. Di Sydney jalan-jalan nya lebih lebar, gedung-gedung lebih tinggi dan lebih gemerlap dari Melbourne yang rasanya lebih berkesan 'down to earth'. 

Ketika beberapa negara bagian di Australia yang waktu itu masih menjadi koloni Inggris memutuskan untuk membentuk negara federasi sendiri, dua kota yang bersaing untuk mendapatkan predikat Ibukota negara adalah Melbourne dan Sydney, walaupun akhirnya diputuskan Canberra sebagai Capital of Australia. 

Kedua kota itu memang memiliki keunikan masing-masing, tapi jangan pernah membanding-banding Melbourne dan Sydney di depan warga Melbourne yang disebut Melbournians dan warga Sydney yang disebut Sydneyers. Melbournians dan Sydneyers akan mati-matian membela kota nya masing-masing adalah yang lebih baik. Bahkan untuk warga-warga sementara seperti Cipu si Melbournians dan Mba Andri si Sydneyers yang hanya numpang tinggal untuk kuliah sebentar.

Mba Andri adalah tuan rumah saya di Sydney. Sama seperti Cipu, Mba Andri dulunya mantan kolega saya di kantor yang kemudian mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi di Australia. Bedanya dengan Cipu, Mba Andri mendapat beasiswa di University of Sydney. Jadi, di hari pertama saya di Sydney, bersama dengan Cipu dan Mba Andri ber-wisata kampus ke salah satu Universitas terbesar di Australia tersebut..

Bukan hanya gedung-gedung dan orang-orangnya yang lebih tinggi dan besar dibandingkan di Melbourne, kampus di Sydney juga lebih besar. Halamannya super luas dan gedungnya lebih mirip kastil daripada gedung kampus. Kalau saya kuliah disini pasti bakal telat terus masuk kelas, secara dari gerbang depan ke gedung nya saja sudah makan waktu 10 menit kalau jalan cepat, belum lagi saya yang ratu disorientasi gini pasti deh nyasar-nyasar di dalam kastil-kastil raksasa itu. 

"Kampus lo ini kayak sekolahan nya Harry Potter ya, Ndri," Cipu bergumam kagum. 

Bangunan-bangunan kuno yang elegan dan artistik dihiasi patung-patung bersahaja membuat saya berasa lagi di dalam film klasik Eropa. University of Sydney usianya lebih tua beberapa tahun saja dibanding University of Melbourne, ini adalah universitas pertama yang didirikan di Australia. 

Mba Andri di depan logo kampusnya

View dari gerbang
Siapa mau kuliah di kastil kayak begini?
Beruntung sekali Mba Andri bisa kuliah disini. Dampak lain yang juga dirasakan oleh Mba Andri adalah berat badannya yang menurun drastis karena "olahraga" jalan kaki di sekitaran kampus nya ini. Mensana incorporesano. Selain menjadi pintar kuliah disini, Mba Andri juga semakin sehat karena banyak aktifitas cardiovascular. 

More pictures saya unggah di https://www.facebook.com/ceritanyamila yaaaaaah....


Jumat, 24 Agustus 2012

Wisata Kampus, University of Melbourne

Udara pagi yang dingin menerpa wajah ketika saya melangkah keluar dari rumah di pojok Jones Street. Saya melingkarkan syal ke sekeliling leher dan membenamkan telapak tangan ke saku celana. Good Morning, Melbourne. Hello Australia. 

Mengikuti langkah Cipu menyusuri jalan yang sepi, saya seolah masih berada dalam mimpi. Di sisi-sisi jalan berderet mobil-mobil yang sedang parkir. Jajaran rumah-rumah mungil yang terbuat dari kayu tampak nyaris seragam di balik rimbunnya tanaman di halaman depan yang daunnya mulai berwarna kecoklatan. Bunga-bunga berwarna cerah ada yang mengintip malu-malu dari balik ranting-ranting, ada juga yang dengan berani menyeruak melewati batas pagar hingga ke trotoar jalan. 

Jari saya menyentuh pagar yang disusun dari potongan-potongan lembaran kayu panjang setinggi pinggang orang dewasa yang di susun vertikal. Picket Fence, persis imutnya seperti yang sering saya lihat di film-film dan ini aslinya, saya bisa merasakan permukaan guratan kayu nya yang kasar. 

Kita menyebrangi lapangan luas tempat parkir menuju Jalan Raya yang di sisi kiri kanan jalannya terdapat restoran dan toko-toko. Sekilas saya menangkap tarif parkir yang tertera di papan, $2.25 per hour. Wuidih, itu setara dengan parkir seharian di mall di Jakarta, di Melbourne hanya dapat satu jam.

Jalan komplek di Melbourne

Nunggu Tram

 “Ingat ya, Mil. Setopan nya nomor 26,” Cipu menunjuk-nunjuk papan pemberhentian Yarra Trams. Tujuan pertama kita di hari pertama saya di Melbourne ini adalah wisata kampus sekalian menemani Cipu mengumpulkan tugas. 

Kita naik tram menuju kampusnya Cipu. Tram itu adalah salah satu jenis Public Transportation yang menghubungkan kota Melbourne. Ukurannya mirip bus tapi kendaraan ini bebas polusi karena tidak menggunakan bahan bakar fosil, tapi menggunakan listrik. Jadi dimana ada lintasan tram, kita bisa melihat kabel-kabel listrik menggantung di sepanjang lintasannya. 

“Kalau turun dari kendaraan disini enaknya kita ga perlu lihat kanan kiri, langsung aja turun,” kata Cipu ketika baru turun dari pintu di sisi kiri tram yang berhenti di sisi kanan jalan dan langsung menyebrang menuju gerbang University of Melbourne. Saya membayangkan kalau di Jakarta turun dari bus ga liat kanan kiri dijamin langsung di serempet motor. 

*** 

Seumur-umur jumlah kampus di Indonesia yang pernah saya masuki bisa dihitung dengan jari. Kampus tempat kuliah saya di Bandung, kampus tempat kuliah saya yang kedua di Jakarta, salah satu kampus swasta di Bandung tempat saya pernah tes ujian masuk waktu lulus SMA, kampus adik saya di Bandung, sudah. Itu pun rasanya sudah bertahun-tahun yang lalu, dan sekarang di hari pertama saya di Melbourne hal pertama yang saya lakukan adalah wisata keliling kampus. Hmm.. apakah itu menjadikan saya turis terpelajar? 

“Gedung di sebelah kanan ini pernah dapat penghargaan Green Building, jadi ini gedung ramah lingkungan. Hemat pakai listriknya, hemat pakai pemanas, ya semacam gitu deh,” jelas guide saya yang merupakan siswa tingkat akhir program master jurusan environmental di universitas itu. 

 “Oooooh…..” jawab saya singkat sambil memperhatikan Green Building yang warnanya tidak hijau itu. Sementara itu otak saya berpikir keras, jadi kalau ada gedung ramah lingkungan berarti ada gedung judes lingkungan dong. 

Kemudian saya diajak masuk ke perpustakaan nya yang membuat hati saya miris mengingat perpustakaan di kampus saya dulu di Bandung. Konon perpustakaan kampus saya dulu sering di sebut-sebut oleh mahasiswanya sebagai kamar mandi terbesar se-Indonesia karena bangunannya sekilas kelihatan seperti terbuat dari keramik untuk kamar mandi. 

Perpustakaan di Melbourne Uni ini desain interiornya benar-benar terasa menunjang kenyamanan belajar, dilengkapi sofa-sofa dan meja private untuk yang butuh konsentrasi lebih. Kalau saja perpustakaan saya dulu waktu kuliah senyaman ini, pasti saat ini saya sudah jadi orang pintar karena rajin belajar. 

Eh, tapi belum tentu juga sih.

“Itu Mil, disana pojok favorit gua,” ujar cipu menunjuk tempat yang lebih mirip cafĂ© daripada ruang baca di suatu perpustakaan kampus. 

Universitas ini usianya sudah hampir 2 abad karena didirikan pada tahun 1800-an. Cipu membawa saya menyusuri lorong suatu bangunan yang langit-langitnya berbentuk Pointed Arch gaya arsitektur Gothic yang banyak digunakan di katedral-katedral Eropa pada jaman Rennaisance. Sepasang calon pengantin - pria nya berpakaian tuxedo komplit dan wanitanya mengenakan gaun pernikahan putih panjang yang cantik, tampak sedang melakukan sesi foto pre-wedding dibawah naungan arch yang saling bertautan membentuk bangun geometris yang sempurna. 

Ujung lorong itu membawa kita ke suatu lapangan rumput yang luas. “Kalau musim panas, di lapangan rumput itu ramai sekali. Banyak yang sun bathing,” Kata Cipu. 

Setelah berhasil memaksa saya berfoto di depan bangunan besar yang juga bergaya Gothic dengan jam besar menempel di atasnya dan memaksa saya berfoto di depan pintu gerbang bertuliskan WELCOME di atas papan berwarna biru dengan logo University of Melbourne yang mengapit di kiri dan kanan nya, Cipu pun mengakhiri tur wisata keliling kampusnya. 

Pointed Arch yang geometris

Kata Cipu, wajib foto di sini
Lapangan tempat mahasiswa merumput, mahasiswa ato kambing tuh?

Bergaya sok mahasiswa teladan

Jumat, 17 Agustus 2012

The Jones Street

pic by Kak Masni
Semoga tidak ada yang menangis gara-gara postingan ini. 

Rumah mungil yang disusun dari bata merah di pojokan Jones Street adalah tempat saya bernaung selama beberapa hari di kota Melbourne. Paviliun mungil yang terdiri dari satu ruang tamu yang gabung dengan dapur, dua kamar tidur dan satu kamar mandi ini dihuni oleh tiga orang pelajar Indonesia yang sama-sama berjuang menuntut ilmu di Australia dan seekor kucing.

"Mil, ini Kak Masni housemate gue," ujar Cipu memperkenalkan sesosok perempuan dengan senyum ramah keibuan yang ikut menjemput kedatangan saya di airport Tullamarine. Kak Masni berasal dari Sulawesi Selatan, sama seperti Cipu. Sama juga seperti moyang nya mereka yang sejak jaman dahulu kala sudah mengarungi lautan melintasi dunia dengan kapal Pinisi nya. 

Tiba di rumah nya, Kak Masni langsung menghangatkan makanan. Menurut Cipu, keadaan berubah sejak kedatangan Kak Masni menjadi housemate nya, pipi nya cipu jadi semakin tembem dan perutnya jadi semakin buncit akibat masakan Kak Masni. Walaupun dengan keterbatasan bumbu rempah, tapi Kak Masni laksana ibu peri dengan tongkat ajaib nya mampu menghadirkan makanan nusantara di sudut Jones Street itu. Terbukti di hari ke-4 saya disana, *triiiiiing* ada santapan Mie Titi tersedia di atas meja.

pic by Kak Masni

Pepe Zubaidah
Satu lagi penghuni disana bernama Toni, orangtua angkat dari seekor kucing gondrong bernama Pepita Zubaidah - panggilannya Pepe. Toni seorang pria kocak dan selalu ceria, dengan senyuman manis nya yang dapat melelehkan hati semua ekor kucing. Selain smart dan penyayang binatang, si handsome ini juga pinter masak. Di hari kedua saya di sana, masakan ayam saus lemon hasil karya nya sempat saya cicipi. 

Masakan Kak Masni udah dibahas, masakan Toni juga udah, pasti pada penasaran kira-kira apa masakan Cipu ya? Ternyata Cipu punya spesialisasi sendiri dalam kegiatan masak-memasak di Jones Street, tukang potong bawang. "Pokoknya masakan apa pun, Cipu yang potong bawangnya," Kak Masni menjelaskan tentang role si tukang potong bawang, berusaha menekan kan bahwa itu adalah sebuah peran yang signifikan dan penting dengan menambahkan," waktu itu pernah mau potong bawang ga ada Cipu, akhirnya malah nangis berurai air mata."

Toni memasak dan Cipu motong bawang

Cipu potong bawang pake kacamata renang -_____-" (pic by Cipu)
Sempat sih Cipu hampir memasak bubur di tempat sodaranya yang sakit. Sodara nya Cipu yang juga sekolah di Melbourne terserang sakit flu berat. Seperti ibu-ibu kantoran yang dapat kabar kalau anaknya sakit dirumah, Cipu pun panik. Meracau tentang kekhawatirannya apabila sakitnya parah, sampe sudah menyiapkan segala macam skenario kalau si sodaranya itu harus dibawa ke rumah sakit segala. Untungnya ketika sampai disana, sodaranya Cipu itu sudah merasa agak baikan. Dia ternyata sudah ke dokter dan sudah di beri resep obat flu.

Supaya sodaranya bisa makan dengan sore throat gitu, Cipu berinisiatif membuat bubur. Tapi kelihatannya sih kayak kurang meyakinkan gitu. Untungnya tidak lama Kak Masni - yang di telepon Cipu untuk menjemput saya karena dia akan menginap di tempat itu dan menemani sodaranya yang sakit - datang. Selamatlah sodaranya Cipu dari masakan bubur eksperimental nya Cipu dan *triiiiiing* jadilah bubur ayam a la Kak Masni. Walaupun begitu disini Cipu tetap berperan kog, sebagai tukang iris daging ayam.

Cipu, Kak Masni dan Toni sama-sama sedang mengenyam studi di Melbourne University dengan mendapatkan beasiswa. Saya selama ini berpikir, enak banget yah yang bisa kuliah di luar negeri, bisa sekalian jalan-jalan. Ternyata anggapan itu ga sepenuhnya benar, saudara-saudara. Kehidupan para mahasiswa di negeri asing itu ternyata berat, hidupnya senantiasa dihantui tugas, essay, laporan, ujian, dst dst yang kayaknya ga abis-abis. Baru berapa hari saya disana menyaksikan beratnya perjuangan kuliah di sana, langsung jiper.

pic by Kak Masni

Kalau di rumah, mereka akan sibuk di depan laptopnya masing-masing bahkan sampai larut. Toni, di temani oleh Pepe akan bersemedi di dalam kamarnya berusaha mengurai kata-kata menjadi sebuah essay. Sementara Kak Masni di depan laptop mungil dan kertas-kertas berserakan di lantai kamarnya, nyaris menyelesaikan laporan 15.000 kata.

Cipu juga tampak serius di depan laptop nya, jidat berkerut alis bertaut, nonton youtube. Walaupun begitu mulutnya tak berhenti mengeluarkan kalimat-kalimat penyesalan, tentang betapa mudahnya dia tergoda oleh youtube dan facebook dan blog walking sementara dateline tugas nya makin lama makin terasa mencekik leher.

Mendengar Kak Masni nyaris menyelesaikan tugasnya dan mau ngumpulin lebih awal, Cipu merasa terintimidasi. Tidak rela Kak Masni menyelesaikan tugasnya dengan mulus, Cipu mulai menggoda dengan merayu Kak Masni menonton salah satu episode Kiki Farrel dan Mama Dahlia di salah satu acara reality show yang suka mengeksploitasi kisah-kisah sedih.

Kak Masni yang perasaannya lembut dan mudah tersentuh paling ga tahan kalo liat yang model-model gitu, menurut Cipu dia akan langsung berurai air mata. Jadi kalau dikasih liat yang sedih-sedih, Kak Masni pasti bakal ikut sedih dan mewek sehingga lupa akan tugasnya. Benar saja, baru setengah cuplikan tayangan video muka Kak Masni langsung merah dan matanya berkaca-kaca. Tapi usaha Cipu untuk mensabotase tugas Kak Masni tidak berhasil. Dengan penuh dedikasi, perempuan tangguh itu tetap kembali meneruskan laporannya sambil meneteskan airmata, masih terbayang perjuangan hidup Mama Dahlia yang membesarkan Kiki Farrel seorang diri sedari kecil tanpa ayahnya.

Toni juga sama aja. Meskipun wajahnya polos innocent seperti gadis perawan desa, bersama dengan Cipu juga suka usil bikin Kak Masni berurai air mata, baru abis itu mereka berdua tertawa puas. Memang suatu hubungan aneh yang penuh dengan canda tawa dan derai airmata.

pic by Kak Masni

***
Foto Cipu potong bawang pake google itu ditambahkan belakangan setelah postingan ini terpublish selama beberapa jam. Cipu yang pada saat membaca sedang berada di kampungnya - Sidrap, segera mengirim foto ini via BBM. Katanya supaya ada bukti kontribusi nya dalam kegiatan masak memasak di Jones Street sebagai tukang potong bawang gitu.


Selasa, 14 Agustus 2012

Bengkulu, Negeri Raflesia

Waktu itu di awal tahun 2008 saya mendarat di bandara udara salah satu ibukota propinsi di Indonesia. Panas terik tetap membuat mata saya terpicing walaupun sudah tersembunyi di balik kacamata hitam selebar setengah wajah. 

Masuk ke dalam terminal bandara udara yang lebih mirip terminal bus antar kota, saya langsung menangkap gerakan seorang lelaki berseragam melambai-lambai ke arah saya sembari tersenyum lebar diantara kerumunan penumpang yang baru turun pesawat. Porter kurus berkulit sawo matang itu berlari kecil menyusup diantara arus orang-orang yang berjalan berlawanan arah dengannya, menghampiri saya. "Apa kabar, mba?" sapanya.

Ini baru kali ke 2 saya menginjakan kaki di tempat ini, makanya saya heran si porter itu masih ingat bentuk dan rupa saya setelah lebih dari 3 bulan sejak kunjungan pertama saya. Well, mungkin tidak banyak juga perempuan kecil lusuh dengan barang bawaan 15 kardus yang datang ke kota kecil ini, mungkin karena itu si porter masih ingat sama saya. 

Ketika pertama kali saya di tugaskan oleh kantor tempat saya bekerja waktu itu - salah satu organisasi non profit, saya mengerenyit. "Hmmm... Bengkulu itu di Kalimantan ya?" Langsung kepala saya digetok sama ibu boss saya waktu itu, *dung dung* gitu bunyinya. "Kemaren Balikpapan di bilang di Sumatera, Batam dibilang di Kalimantan. Tanjung Pinang kebalik terus sama Pangkal Pinang. ckckckck....,"ibu boss hanya mampu menggeleng-geleng kepala. 

"Ini bukan salah saya ibu boss, tapi ini adalah salah nya sistem pendidikan di Indonesia. Soalnya disekolahan yang diajarin itu Peta Buta, makanya sampe sekarang saya ini Buta Peta," jawab saya membela diri.

"Bengkulu itu di Sumatera, neng," ibu boss mulai ga sabaran.

"oooooh.. oke," saya manggut-manggut, "Propinsi nya apa ya?"

Beruntung sekali dulu itu saya punya ibu boss yang tahan mental menghadapi anak buahnya yang kelakuannya absurd semua. Yang satu tukang nyasar buta peta, yang satu lagi cowok aneh yang rambutnya di bonding dan pakai softlense warna mata ular albino. Ibu boss yang baik hati juga senantiasa menelpon setiap hari untuk mengingatkan kami semua agar makan teratur, tidak lupa minum vitamin dan selalu menjaga kesehatan mengingat mobilitas kami yang tinggi.

Bandara udara di Bengkulu bernama Bandara Fatmawati Soekarno untuk menghormati Ibu Negara Pertama Republik Indonesia yang berasal dari Bengkulu. Sistem pengambilan bagasi di sini (ketika saya kesana) termasuk unik karena tidak ada ban berjalan. Sebagai pengganti ban berjalan, ada sebuah kotak bolong di tembok semacam jendela yang tingginya sepinggang orang dewasa. Bergantian koper - tas - dus - karung muncul dari 'jendela' itu dan terlontar kedalam terminal. Para penumpang harus cepat mengidentifikasi barang kepunyaannya di 'jendela' itu dan dengan gesit menangkap kepunyaannya ketika dilempar oleh petugas dari sebelah tembok. 

Kota ini memang jelas ketinggalan puluhan tahun dari Jakarta, salah satu bukti nyata tidak meratanya pembangunan di Indonesia. Posisinya yang terpencil, diapit oleh laut dan hutan lebat penuh dengan babi hutan malah membuatnya semakin terkucilkan. Tanpa sokongan kemudahan akses transportasi untuk menjangkaunya, sementara banyak potensi di daerah ini yang menanti untuk digarap. Walaupun kurang populer, siapa sangka kalau kota ini pernah disinggahi figur-figur orang besar dalam sejarah dunia.

Raffles, sang Founder nya kota Singapura sempat ditugaskan menjadi Governor-Jendral disini. Bencoolen, begitu Raffles menyebutnya. Inggris membangun port perdagangan lada nya disini dan membangun benteng megah yang kemudian di beri nama Fort Marlborough. Disinilah Rafless bersama dengan ahli botani Inggris bernama Arnold menemukan tumbuhan parasit raksasa berbentuk bunga yang cantik namun berbau busuk ketika sedang mekar, yang mereka beri nama Rafflesia Arnoldii. 

Awalnya saya datang ke Benteng peninggalan Inggris ini seorang diri, di kunjungan saya yang pertama kali berkat arahan dari pengendara mobil rental yang saya sewa. Bersebelahan dengan benteng ini adalah perkampungan orang China yang sudah datang ke bengkulu sejak tahun 1800-an, gerbang naganya menyambut pengunjung di muka kampung itu. Salah satu tempatnya wisata kuliner di Bengkulu adalah di sini. Kontras dengan gerbang naga berwarna cerah, benteng Marlborough yang berwarna abu-abu tampak dingin dan pintu besi nya tampak angkuh. Saya jadi ingat cerita Kuda Kayu Trojan.

Kunjungan berikutnya saya membawa rombongan rekan kantor semacam kepala rombongan tur. Benteng ini selalu kelihatan sepi tanpa pengunjung. Ketika rombongan turun dari mobil di muka gerbang benteng, penjaga benteng merangkap tour guide disitu yang masih muda dan bersemangat serta merta berlari kecil menyambut. "Hei.. mbak-nya datang lagi. Apa kabar, mba?". Ternyata dia pun masih ingat saya.

Bengkulu jatuh ke tangan Belanda (VOC) melalui Perjanjian London (The Anglo-Dutch Treaty of 1824) yang menukar Bengkulu dan Belitung dengan Malaka untuk memperjelas batas kolonialisasi Inggris dan Belanda. Bersamaan dengan ditandatangani nya perjanjian itu, Bengkulu pun mulai makin terpuruk. Belanda ga berminat sama port perdagangan lada disini, mereka lebih tertarik ikut campur urusan kerajaan-kerajaan di Jawa. Sehingga Bengkulu pun berubah fungsi dari pusat perdagangan lada menjadi tempat pembuangan tahanan politik Belanda.

Salah satunya adalah seorang pria bernama Soekarno. Di Bengkulu, Soekarno muda yang sering berkeliling kota dengan sepeda onthel nya bertemu dengan seorang gadis Bengkulu yang muda dan cantik bernama Fatmawati. Ayahnya adalah pemuka agama yang dihormati di Bengkulu. Soekarno pun menikahi Fatmawati dan memiliki 5 orang anak.
Rumah Pengasingan Soekarno di Bengkulu

Sepeda Onthel yang dipakai Bung Karno keliling kota

Koleksi buku-buku yang dibaca Bung Karno semasa pengasingan
Beberapa tahun setelah pengasingannya, pria itu lah yang berdiri di  hadapan rakyat pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan suara lantang menyatakan bahwa Penjajahan Telah Di Hapus Dari Muka Bumi dan Indonesia telah Merdeka. Pria itu pun menjadi Presiden pertama di Indonesia. 
Beberapa dasawarsa dari pengasingan pria itu, salah satu dari lima anak pria itu dengan si gadis asal Bengkulu pun menjadi Presiden wanita pertama di Indonesia.

Sore itu di hadapan saya semangkuk baso mengepul panas. Beberapa saat menjelang matahari terbenam. Seharian itu dan hari sebelumnya saya belum mandi karena tidak ada air, bahkan di hotel saya yang tergolong mewah untuk ukuran kota terpencil. Di malam hari kamar saya diketuk oleh pegawai hotel yang membagikan seember air kolam renang ke setiap kamar di hotel itu. Pada akhirnya saya terpaksa membeli beberapa botol air mineral untuk keperluan emergency, cuci muka dan gosok gigi.

Saya mengunyah bakso yang enak, mungkin karena dari pagi harinya saya pun belum makan. Semoga ini bukan daging Babi Hutan liar. 

Kunjungan pertama saya kemari beberapa bulan lalu pun tak kalah fenomenal, saat itu pintu kamar hotel saya juga diketuk oleh pegawai hotel. Ketukan keras dan teriakan panik membangunkan saya yang sedang tertidur. "Bu, gempa..Bu." Saya pun segera keluar mengikuti arahan pegawai hotel itu untuk segera berkumpul di lapangan parkir hotel bersama tamu-tamu lain, khawatir ada gempa susulan yang lebih besar.  Bahkan lebih parah - tsunami.

"PAM disini memang parah, mbak. Kadang airnya keruh berlumpur. Ya sering juga mati begini," keluh penjual bakso yang duduk di sebelah saya, curhat. Sementara tidak jauh dari lokasi romantis saya dan abang penjual bakso menghabiskan waktu bersama menikmati senja - di Pantai Panjang, saya melihat proyek pembangunan Waterboom megah berwarna-warni. Semoga kolam renangnya tidak pakai air laut.

Langit biru cerah mulai di warnai semburat warna oranye kekuningan mulai dari batas horison. Bola raksasa keemasan bulat sempurna nyaris menyentuh permukaan laut yang berkilauan memantulkan cahayanya. Ombak berbuih bergulung gagah dan mantap menuju garis pantai, menghempaskan diri di pasir berwarna coklat khaki yang lembut. Kemudian menarik diri kembali ke tengah laut seolah-olah mengajak dan merayu orang-orang untuk mengikutinya, meninggalkan jejak basah di butiran pasir.

Menyendiri tak jauh dari para anak-anak lelaki yang sedang bermain sepak bola di pinggir pantai, sesosok bayangan lelaki tampak serius dibalik kamera video nya. Dia rekan kerja saya yang salah satu job desc pekerjaannya bikin-bikin film gitu. Sebenarnya secara fisik bisa dibilang ganteng setengah mati, tapi karena perilaku nya cacat setengah mati, jadi merupakan peng-eliminasi-an sempurna dimana 1/2 -1/2 = 0 sedemikian sehingga menimbulkan yang namanya "ilfil". Semoga kamera videonya dapat menangkap keindahan sunset di negeri Raflesia yang terkucilkan ini.

Bola emas itu kini telah menghilang, seolah-olah bersembunyi di dasar laut yang menelannya. Rekan kerja saya tampak mengemas peralatan kameranya dan berjalan ke arah saya dan tukang bakso, meninggalkan lubang pasir yang dalam dimana kaki nya menapak. Raut wajahnya sumringah, jelas puas dengan hasil bidikannya seharian itu. "Besok kayaknya harus ke Danau Dendam Tak Sudah, nih," katanya.

Waktu itu cepet banget berlalunya, kenangan tentang Bengkulu kayaknya masih baru minggu lalu padahal sudah 4 tahun. Kira-kira kalau saya kesana lagi porter di bandara itu masih ingat saya ga ya? Penjaga Fort Marlborough yang bersemangat itu masih akan ada disana ga ya?

Jumat, 10 Agustus 2012

Kopdar Rusuh; The Cipu Returns

Kejadian ini berlangsung sekitar seminggu yang lalu, tepatnya di hari Minggu berlokasi di Grand Indonesia Shopping Mall. 
 
Sebenarnya sudah lama saya, Rossa dan Dilla berencana mau ketemuan membahas tentang kehebohan serial #4hariuntukselamanya yang sedang di garap Rossa di blog nya. Hebohnya bukan karena ceritanya gimana-gimana, tapi karena akibat dari di publishnya kisah cinta terlarang di serial #4hariuntukselamanya ini ada pihak-pihak tertentu yang tidak suka dan melancarkan aksi-aksinya di social media.

Kebetulan momennya pas dengan kepulangan foster parent saya waktu ke Australia beberapa bulan lalu, The Batman Cipu Returns. Yup! Cipu telah kembali ke tanah air dengan membawa gelar Master dari negara tetangga. Congrats! Saya pun langsung menghubungi si Lelaki Aneh Daeng Faisal yang sekarang hanya mau dipanggil dengan nama beken nya, Fei. Akhirnya bersua juga lah kedua Pria Ajaib yang pernah saya bahas di postingan saya .
 
Tak lupa saya mengajak si pria misterius Exort yang blog nya terbengkalai sejak lebaran tahun lalu, tapi si pria misterius yang kedatangannya sulit diprediksi seperti hujan di daerah tropis ternyata berhalangan hadir. Walaupun begitu, sosoknya masih bisa kita temui di instagram.

Awalnya saya, Rossa dan Cipu sempat mengalami sedikit masalah teknis ketika janjian sama Dilla. Melalui telepon kita saling berhubungan untuk janjian. Kita bertiga muter-muter mencari Dilla. Dila pun kelilingan mencari kita. Ternyata, Dilla berputar-putar di East Mall, sementara kita di West Mall. Hmmm.... kayak gini ya ternyata orang-orang yang cita-citanya pengen keliling dunia, janjian di mall aja pada nyasar *sigh

Akhirnya berkumpulah kita berlima membikin heboh satu restoran dengan kelakuan-kelakuan absurd kita. Ga bayangin kalo suatu saat kita pergi traveling barengan, curiga langsung di deportasi kayak TKW ilegal.

Fotonya saya edit jadi unyuuuu
 
Oh iya, promosi aaaaah. Sebenar sudah dari awal tahun saya iseng-iseng bikin Pages Ceritanyamila di Facebook. Rencana nya nanti saya mau upload foto-foto yang banyak disitu, kalau di blog kan upload foto-fotonya terbatas. Kemungkinan besar sih fotonya tidak ada penampakan penulis yang ganggu pemandangan. Say hi to me disana yaaaaah *kecupjauh
 
 


Jumat, 03 Agustus 2012

The Arrival

Saya terbangun karena terik matahari membakar kulit. Lengan kanan saya otomatis terangkat melindungi mata saya dari silaunya cahaya di siang hari itu. Dengan mata masih terpicing saya melihat butiran-butiran pasir menempel di sekujur lengan. Pasir berwarna kecoklatan. Dimanakah saya?

Sekelebat bayangan mengenai awan hitam yang menggumpal pekat di langit, kilat yang mencakar-cakar angkasa menimbulkan bunyi gelegar yang memekakan telinga. Jeritan yang tak kalah memekik, para wanita menjerit, anak-anak menangis memanggil ibunya, suara pria yang memberi komando-komando. Sementara diluar, suara angin menderu, gulungan ombak setinggi pohon saling berkejaran mendekat, sementara hujan deras bak air bah yang diguyur dari langit. 

Saya teringat beberapa hari yang lalu, saya sedang susah payah berdiri diatas geladak kapal yang terguncang hebat, berusaha berjalan tertatih diantara kru kapal yang berlarian, salah satunya menubruk bahu saya hingga saya terjatuh. Disebelah saya seorang pria sedang muntah di pojok kapal, rupanya dia mabuk laut. Kapal ini sedang dihajar badai dashyat. Saya ingat melihat tulisan berukir yang indah di badan kapal sebelum saya menaiki nya - Batavia, itulah nama kapal ini.

Kapal itu telah karam, menabrak batu cadas yang merobek bagian badannya. Badai telah menyeret Batavia berserta muatannya entah terdampar dimana, saya sempat mendengar Kapten Pelsart berdiskusi dengan awaknya mengenai posisi saat ini dan mereka jelas tidak familiar dengan lokasi ini. Kapten menyuruh kami, para penumpang untuk turun dari kapal dan sementara membuat camp di pulau-pulau terdekat. Rombongan kami dibagi ke 3 pulau kecil terdekat, berikut dengan persediaan makanan minuman yang dibawa di kapal sementara menunggu ada kapal lain lewat yang akan menolong kita semua.

Sekarang sudah beberapa kali matahari terbit dan terbenam, Kapten Pelsart pergi bersama beberapa kru nya mencari sumber air yang bisa diminum. Pulau ini kering sekali, tak ada air yang bisa diminum meskipun di sekeliling kita sejauh mata memandang hanya ada hamparan air berwarna biru. Dilanda kehausan dan nyaris kelaparan, kami menunggu kabar gembira dari Kapten Francis Pelsart, tapi dia belum juga kembali. Harapan kami tinggal sejengkal menuju pupus. 

Salah seorang penumpang dalam kapal, namanya Jerom Cornelis, dia ada satu pulau dengan kami. Kini kami adalah tawanan Cornelis. Dia dan komplotannya sekarang sedang mengobrak-abrik muatan-muatan berharga yang ada di kapal, menjarahnya. Kemarin terjadi drama pembantaian, sebagian dari kami melawan usaha perampokan para perompak itu, tapi kami terlalu lemah dan mereka menang, membunuh hingga 40 orang dari kami. 

Saya berusaha bangkit dari posisi saya yang tergeletak meringkuk di pasir yang hangat, komplotan Cornelis sedang berusaha membongkar peti-peti muatan yang terkunci, sementara si pemimpin tampak berusaha mengenakan setelan sutra yang baru saja dijarahnya dari salah satu peti itu. Tampaknya mereka sedang lengah, mungkin ini saatnya saya menyusup dan menyebrang ke pulau sebelah untuk memberitahu Mr. Webhays yang ada di pulau sebelah. 

Tapi warna lautnya begitu biru, ombaknya begitu besar, dan jarak ke pulau sebelah begitu jauh. Kuatkah saya berenang menyebrang hingga kesana? atau apakah saya akan hanyut terbawa ombak dan terhempas ke salah satu karang tajam di sebelah sana? ah persetan, toh pergi atau tidak saya juga akan mati kalau tetap disini. Maka saya pun mengendap-endap dibalik bebatuan, menuju pantai dan berenang menuju pulau sebelah.

Entah karena usaha saya berenang atau arus yang membawa tubuh saya, sampai juga saya di pulau tujuan. Mr. Webhays sangat berang mendengar kabar pembajakan oleh Cornelis dan mulai mengumpulkan anak buahnya untuk mengatur strategi. Tidak berapa lama, datanglah Cornelis dan beberapa orang anak buahnya menyerang ke pulau Webhays, tapi karena sudah prepare akan hal itu Webhays berhasil mengalahkan Cornelis bahkan menahan nya. 

Di kejauhan iring-iringan kapal besar muncul dari ujung horizon, Mr. Webhays tahu  itu pasti bala bantuan yang dibawa Kapten Pelsart. Rupanya dalam usahanya mencari air minum, Kapten sampai lagi di Batavia dan berhasil meyakinkan Governor Belanda di Batavia untuk membantu nya. Anyways, Kapten Pelsart yang tidak tahu drama pembajakan yang terjadi di pulau sebelah tampak mengarahkan kapalnya ke arah sana. Walaupun Cornelis berhasil dilumpuhkan dan ditahan oleh Mr. Webhays, tapi sisa komplotan perompak masih banyak sekali di pulau itu.

Mr. Webhays pun segera melompat ke sekoci dan menuju kapal besar itu, berusaha memperingatkan Kapten Pelsart. Singkat cerita, para perompak itu berhasil dilumpuhkan oleh Pelsart dan bala bantuan yang dibawanya. Para penumpang kapal Batavia yang karam beserta muatan-muatannya berhasil diselamatkan. Sedangkan Cornelis dan pengikutnya, yang bertanggung jawab atas pembajakan dan pembunuhan, dicampakan di salah satu pulau itu.

Saya terbangun oleh sentuhan lembut pramugrari yang memberi tahu bahwa pesawat Air Asia X yang saya tumpangi hampir sampai di Melbourne dan saya harus menegakan sandaran kursi. Ah rupanya saya bermimpi setelah ketiduran membaca e-book tentang penemuan pulau Australia. Di layar tablet saya masih terpampang lokasi dimana kapal Batavia yang terseret badai itu karam. Di bagian barat benua itu, yang kini dinamakan Pelsart Island.

8 Jam perjalanan dari Kuala Lumpur ke Melbourne ditambah 4 jam perjalanan dari Jakarta ke Kuala Lumpur. Itu belum termasuk waktu transit di Kuala Lumpur, melewati 3 zona waktu, tanpa sedikit pun saya merasa jetlag. Hanya sedikit disorientasi waktu jadi kalau suatu saat ada yang protes sama hitungan jam saya itu, udah ga aneh lagi deh. Mungkin excitement menginjakan kaki pertama kali di benua ini berhasil mengusir semua rasa lelah, letih dan pegal akibat duduk berjam-jam.

Waktu sudah hampir tengah malam di Bandara Toulamarine, Melbourne  tapi petugas imigrasi menyapa saya dengan riang dari belakang counternya sembari membolak-balik paspor saya. “First time to Australia?”

“Yes,” jawab saya menjinjitkan di ujung kaki berusaha melihat wajah pria yang sedang berbicara dibalik meja yang nyaris setinggi badan saya.

Sembari tetap sibuk mengetik-ngetikan jarinya di atas keyboard komputer dia kembali bertanya apa pekerjaan saya, apakah saya ada saudara atau teman di kota itu, berapa lama saya di Australia. Kemudian saya dengar bunyi cap stempel beradu dengan lembaran kertas, sambil tersenyum lebar petugas imigrasi itu menyerahkan paspor saya kembali, ”Enjoy your holiday,” katanya.

Rabu, 01 Agustus 2012

Kopdar ditraktir Goiq, sang penakluk kontes

Saya kembali dengan kisah kopdar dengan salah satu blogger yang fenomenal. 

Konon menurut cerita nya, pria ini pernah diramal oleh kawannya kalau tahun ini keberuntungan akan terus menggelendoti dirinya, karena itu dia disarankan untuk rajin ikut lomba dan kontes-kontes gitu. Believe it or not, the prophecy turns out to be true alias beneran kejadian. Keberuntungan demi keberuntungan terus datang menghampirinya bertubi-tubi. 

"Kalo ada orang beruntung menang undian terus ga boleh ngiri, malahan harus ikut seneng dan berdoa semoga kecipratan juga," begitulah pesan pria yang bernama gaul Goiq ini. 

Sebagai insan yang ga pernah beruntung dalam hal lomba, undian, kontes, percintaan dan semacamnya, sempat terbersit niat untuk cipratin kuah sop buntut traktiran Goiq yang merupakan hasil dari menang kontes juga. Kali aja ketularan hoki. Tapi niat tersebut akhirnya saya urungkan. Biarlah nasib saya begini, biarlah satu-satu kebahagiaan saya menang undian adalah menang 1000 rupiah dari balik tutup botol minuman teh hijau.

Rejeki orang kan beda-beda.

Kopdar buka puasa bersama yang berlokasi di restoran Beerdy, Gandaria City ini pun terselenggara berkat keberuntungan bertubi-tubi si Goiq. 

"gimana ceritanya lu bisa menang voucher ini," selidik saya.

Jadi awalnya dia follow account twitter Durex, karena lagi mau bikin acara gitu. Yang follow akun itu bisa mendapat kesempatan diundang menghadiri acara nya Durex tersebut. Mungkin pas itu dewi fortuna nya si Goiq langsung bisikin ke telinga panitia buat ngundang dia, ga sampe 5 menit follow akun itu dia di DM diundang ke acara nya. Nah pas acara nya itu si Goiq dapet hantaman keberuntungan yang berikutnya: menang doorprize, yang hadiah nya voucher makan berdua ini. Cerita lengkapnya ada kog di blognya.

Sambil menunggu waktu berbuka puasa kita foto-foto berdua pake iPhone baru nya Goiq yang didapat dari hasil menang kontes bikin kritik boss nya di kantor. Ga lama dari memenangkan iPhone, dia menang henpon android Galaxymini lagi dari hasil kontes blog

Saya tahu sebagian dari kalian yang baca ini pasti lagi sirik setengah mati sambil gigit jari. Pasti dalam hati kalian ingin berteriak, Gilaaaa....k beruntung amat tu orang.

Tapi menurut orang yang bersangkutan, ga semuanya itu faktor keberuntungan doang. Ada juga kog lomba-lomba atau kontes-kontes yang dia ga menang tahun ini, tapi memang dia seneng ikutan begituan ga peduli apa hasilnya. Jadi kalau menurut saya sih, faktor terbesarnya adalah usaha juga, nah baru deh tuh keberuntungan mengikuti. 

Walaupun makan malam sambil was-was ada bola golf atau stick golf nyasar ke kepala, tapi Alhamdulillah kenyang dan enaaaaak. Yang paling penting ya itu tadi, gratissss. Setelah  berbuka puasa dengan tajil yang disediakan oleh restoran nya, makanan yang kita pesan pun datang.

Diawali dengan chicken salad sebagai appetizer. Untuk main course nya saya pesan sop buntut bakar dan Goiq pesan sesuatu yang namanya susah tapi makanannya itu ayam panggang dan nasi warna merah gitu. Dessertnya, kita berdua sama-sama pilih ice cream.

Chicken Salad

Sop Buntut Bakar

Saat ini yang bersangkutan sepertinya masih punya Voucher dari MAP yang lagi bingung mau dipake dimana, yang tentunya hasil dari menang kontes juga. 

Yah, buat Goiq semoga terus sukses di kancah perkontesan, ga cuman tahun ini tapi juga tahun-tahun berikutnya dan ga lupa lagi doooooonk ajak-ajak saya berbagi keberuntungan, saya mah selalu siap sedia kalau soal itu jyahahaha.... ->blogger gampangan.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...