Selasa, 29 Maret 2011

Magnum Cafe

Inget ga sih kehebohan di Twitter & facebook gara-gara es krim  Magnum. Waktu itu banyak banget yang nge-twit ato bikin status lagi nyari-nyari es krim Magnum. Waktu itu kesannya barang ini luar biasa banget sampe diburu-buru dan stok nya habis di supermarket besar-kecil hingga warung.

Padahal seinget diriku, ni es krim sebenernya dah lama. Kayaknya waktu es krim Walls dulu pertama muncul udah ada nih Magnum ini, terus kenapa heboh nya baru sekarang-sekarang ya? setelah bertahun-tahun. Selama ini saya kog - in terms of es krim Walls - lebih familiar dengan Cornetto dan Paddle Pop. Tapi entah kenapa tiba-tiba si Es krim Magnum jadi rising star gini ya?


Apakah es krim ini menggunakan resep baru? Errr... entah yah. Saya sih enggak gemar-gemar amat sama es krim, tapi kog menurut saya biasa aja sih. Ga ada rasa yang gimanaaaaa gitu yang bikin saya ketagihan. Apakah memang benar rasanya yang luar biasa seperti yang di promosikan or it's simply because Branding Team nya lebih kreatif dan lebih agresif penetrasi pasarnya.

Entah kebetulan belaka atau memang strategi marketing, twiter & facebook imenurut saya yang paling efektif "menghasut" orang supaya beli Magnum. Termasuk saya yang penasaran, apa sih yang diburu sama teman-teman saya sampai tiap supermarket & minimarket di obrak abrik. Mungkin masalah selera aja kali ya, tapi kog saya kecewa ketika saya berhasil mendapatkan es krim itu dan menurut saya standard aja rasanya. Mungkin cuman saya aja sih yang ga doyan...he..he..

Anehnya lagi, udah tau ga doyan, tapi saya teteup aja masih penasaran sama yang namanya Magnum Cafe. Ini juga salah satu promosi untuk Brand Awareness Magnum ini. Magnum cafe hanya dibuka selama 3 bulan dari Februari-Mei 2011. Websitenya bisa dilihat di : http://mymagnum.co.id.

Ceritanya kan si Brand Magnum ini mau di buat sedemikian rupa sehingga kesannya mewah, classic dan elegan gitu... jadi ya mirip-mirip kayak kerajaan-kerajaan Eropa. Cocok juga sih, secara kan coklatnya katanya coklat Belgia...di Eropa... eeerrrr.. ya begitulah *garuk-garuk. Dari pemilihan lokasi aja di Grand Indonesia, udah jelas kan segmen konsumen mana yang mau dibidik. Pastinya, yang cocok lah sama harga jual produk nya heheee...

Tamu-tamu Magnum cafe ini seolah-olah di anggap Raja, Ratu, Prince, Princess atau semacam bangsawan gitu lah. Mungkin supaya kena aja konsep "kemewahan" nya. At least itu  kesimpulan yang saya tarik dari baca promosi-promosi tentang Magnum Cafe di media.

Terlepas dari ketidak doyanan saya sama es krim nya, saya penasaran juga dengan konsep yang di tawarkan ini. Akhirnya pada hari Sabtu kemarin, berangkat lah saya ke Grand Indonesia menuju TKP. Sebelumnya saya sudah sempat baca dari postingan Exort kalau antrian untuk masuk (Dine-in) cafe ini panjang. Tapi waktu itu saya akui agak sedikit underestimate, saya pikir se-antri-antri nya mau se banyak apa sih? ternyata... jeng...jeng.. antrian nya langsung bikin saya jiper. 
Demi kemaslahatan bersama akhirnya saya memutuskan untuk mencoba take away aja.Antrian Take Away, tidak sepanjang antrian Dine-in, daripada pulang dengan tangan kosong.

Antrian Masuk Magnum Cafe untuk Dine-in alias makan di dalem
Salah satu bagian Magnum Cafe
Ada kompetisi nya juga *makin riweuh*
Jiper sama antrian Dine-in saya ambil Take Away sajalah yang cepat
Situasi "dapur" Magnum Cafe
Ini namanya "dipping station"
Di Counter Take Away, saya di sodorkan menu Es Krim Magnum selembar. Pilihannya yang pertama, es krim vanila atau coklat? saya pilih vanilla. Trus coatingnya mau Milk Chocolate atao Dark Chocolate? demi mempertahankan bentuk tubuh saya yang ideal ini saya pilih dark chocolate. Setelah itu untuk Topping nya, ada dua pilihan King's Choice atau Prince's Choice. King's choice itu terdiri dari 4 macam kacang-kacangan yang bisa kita pilih dua. Kalau yang Prince's Choice terdiri dari 4 macam sereal-sereal-an. Karena ga begitu suka sereal saya pilih yang King's Choice, almond & pistachio. Setelah membayar Es Krim-nya, saya bergerak ke bagian "dipping station" dimana es saya di celup-celup dan di guling-guling di kacang-kacangan itu.

Bagian Celup-Celup dan Guling-Guling
Tadaaaa..... dan ini hasilnya.... Es Magnum personalized saya
"Craaa...ck"
Rasanya buat saya (maaf yah buat yang doyan) masih tetap standard. It was a cool experience, but the ice cream taste is not se-heboh promosi nya. Cukup pengalaman sekali saja, dan pengalaman ini tidak membuat saya jadi doyan es krim Magnum nya. Dan saya baru menyesali keputusan saya memilih topping kacang-kacang untuk es saya. Kacang nya nyelip-nyelip di gigi geraham saya yang bolong. Setelah habis es nya saya merasakan haus yang luar biasa, akhirnya saya menyebrang ke Seven Eleven beli sebotol air mineral dan *tentunya* SLURPEE.....

Jumat, 25 Maret 2011

Buddha Statues in Bangkok

Misi utama saya ke Bangkok adalah 2 Patung Buddha ini. Saya memang memiliki interest khusus sama patung-patung Buddha. Para pengikut Buddha seolah-olah berlomba-lomba membuat patung Buddha yang paling besar, paling mewah, terbuat dari batu paling mahal dan paling banyak di hiasi batu-batu permata dan perhiasan mahal lainnya.  Buat saya ini adalah seni, jadi harap maklum kalau di postingan ini saya kelewatan banyak ber bla-bla-bla... yada-yada-yada .... mengenai perpatungan hehehee...

It surprised me ketika membaca buku Selimut Debu-nya Agustinus Wibowo, ternyata asal muasal Patung Budha itu merupakan asimilasi budaya helenisme yunani. Jadi awalnya, agama Buddha itu tidak ada patung-patung begini. Setelah Yunani masuk ke India, barulah budaya seni patung Helenisme-nya yang memulai terbentuk image Buddha dalam wujud patung. Malahan menurut wikipedia awalnya image Patung Buddha itu mirip sama dewa Yunani, pake jubah, rambut ikal-ikal, posisi berdirinya juga posisi dewa Yunani. Nih saya kasih Link nya kalo tidak percaya. 


Dengan terbukanya Jalur Sutra (Silk Road), agama Buddha dan image patung nya tersebar ke negara-negara yang di lewatinya, termasuk Asia Tenggara dan China. Tapi ketika tiba di masing-masing negara, image Buddha pun mulai bercampur lagi dengan budaya lokal, sehingga walaupun pada prinsipnya mirip-mirip tapi sebenarnya setiap negara memiliki penggambaran Buddha yang berbeda-beda dan unik. Tergantung kreatifitas warga negaranya.

Emerald Buddha di Wat Phra Keow

Salah satu Patung Budha yang paling terkenal dan harus dikunjungi di Bangkok adalah Patung Emerald Buddha di Wat Phra Keow - masih di dalam kompleks Grand Palace. Walaupun dikenal sebagai Emerald Buddha, kenyataannya Patung ini bukan di pahat dari Batu Emerald asli. Ada yang bilang sebenarnya Patung tersebut terbuat dari Jade (giok) seperti Jade Buddha Statues di Shanghai. Ada juga yang bilang bahan pembuat patung ini hanya batu Jasper biasa yang berwarna hijau. 
Bergaya di depan Wat Phra Keow
Beribadah di depan Wat Phra Keow
Yang jelas saya yang kurang mengerti soal batu - batuan, yang saya lihat hanya Patung Budha berwarna hijau di atas undakan-undakan berukiran rumit bernuansa gold, dan di balut ornamen bernuansa gold pula. Seperti biasa, mendokumentasikan Emerald Budha ini tidak di perbolehkan. Kalau menurut saya yang tidak mengerti batu-batu-an, lebih keren dan mungkin lebih besar Jade Buddha yang di Shanghai.Pun begitu, Emerald Buddha ini sepertinya merupakan kebanggaan nya Thailand. Jadi kalau ke Bangkok belum menyambangi Emerald Buddha rasanya kurang afdol.


Ada berbagai macam versi mengenai asal-usul Patung ini. Ada yang bilang Patung ini asli made in kerajaan Lanna, di Southern Thailand beberapa abad yang lalu. Menurut para ahli , patung ini di buat sekitar abad ke-15. Ada juga yang bilang patung ini berasal dari daerah Sri Lanka dilihat dari posisi meditasi nya.  Tuh kan bener, unik... dari posisi meditasinya aja bisa tau ni patung asalnya dari mana. Menurut legenda patung ini di temukan  pertama kali di daerah Chiangrai ketika ada kilat yang menyambar sebuah Chedi hingga retak. Dari retaknya itu kelihatan ada ijo-ijo, waktu di teliti ternyata si Patung Buddha itu. 

Si Emerald Buddha juga sudah dipindahkan beberapa kali hingga akhirnya di tempatkan di Bangkok ini. Malahan selama 2 abad sempat di Burma, hingga akhirnya visa nya habis masa berlakunya dan dia kembali ke Thailand... hehehee.. ya enggak lah... King Rama I merebut lagi patung ini dari Burma waktu perang dan kembalilah si Emerald Buddha ini ke Thailand.
Wat Phra Keow tampak depan

Wat Phra Keow tampak samping

Lokal & Turis, Berwisata & Beribadah jadi satu
Ternyata di Thailand, para penganut agama Buddha nya memiliki tradisi yang unik yaitu mengganti kostum Buddha. Termasuk Emerald Buddha ini. Keistimewaannya adalah Buddha yang satu ini kostumnya di gantikan langsung oleh Raja. Buddha punya 3 kostum, untuk musim panas, musim hujan dan musim dingin.  Hal ini dipercaya bisa membawa keberuntungan terhadap cuaca, mungkin secara negara ini negara agraris jadi ketergantungan terhadap cuaca-nya tinggi. 


Waktu saya kesana sepertinya kostumnya lagi kostum musim dingin karena kelihatannya seperti dibalut semacam jubah warna keemasan hingga Buddha aslinya nya nyaris tidak tampak. Padahal temperatur waktu itu kayaknya sampe 35 der C, dan saya tidak merasa dingin sama sekali -_-"
 

Exit Grand Palace
Menuju Wat Pho, tempatnya Sleeping Buddha
Sleeping Buddha di Wat Pho

Bersebrangan dengan Grand Palace, ada Wat Pho. Di sini terdapat Patung Buddha Raksasa dalam posisi tiduran. Posisi Sleeping atau Reclining Buddha ini dipercaya merupakan posisi Sang Buddha ketika meninggalkan dunia fana ini memasuki Nirwana. Saya sudah jatuh cinta pada Sleeping Buddha Bangkok ini sejak pertama melihatnya di foto Papa Said, waktu Papa Said pergi ke Bangkok beberapa tahun lalu. Patung ini panjangnya mencapai 46 meter dan tingginya 15 meter... guede buangeth kan tuh. Tingginya aja 10 kali tinggi saya.


Tapi ternyata Patung Buddha segede gitu susah juga nyari nya. Ketika saya tiba di Wat Pho, ternyata Wat tersebut sedang dalam pemugaran (renovasi). Saya mengikuti tanda panah yang bertuliskan ENTER... tapi tampaknya saya tersesat. Saya berputar-putar selama sejam dalam kompleks Wat tersebut tapi belum juga menemukan Sleeping Buddha-nya. Mana di dalam kompleks wat itu sepi pula. Akhirnya saya ketemu sama seorang Biksu Muda kemudian ditunjukkan jalan. Saya masih  berputar-putar selama hampir setengah jam hingga akhirnya menemukan pusat keramaian dan Tadaaaaaa.... "The Sleeping Buddha"


Nyasar diantara Stupa-Stupa

Buddha berdiri, Buddha duduk, mana Buddha tidur nya? *sigh*


Wajah Sang Buddha yang damai menjelang masuk Nirwana

tebak berapa ukuran sepatu Buddha yang tingginya 46 m ?

Akhirnya ketemu dengan Patung Sleeping Buddha idaman kuh <3 <3

Telapak kaki Buddha yang katanya ada 108 simbol Chakra yang dibuat dari batu permata

Bantal nya Buddha
Masukin Koin

Di sisi Sleeping Buddha tersebut ada ember-ember logam yang kalau kita masukan koin ke dalamnya niscaya kita akan mendapatkan umur panjang. Orang-orang mengantri memasukkan koin itu, jadi suaranya seru banget kayak beritme gitu. Dari luar Wat juga kedengeran bunyi gemerincing koin beritme. kalau mau coba, buat seru-seruan, ga usah repot ngumpulin koin sampe seember. Kita bisa tuker seember koin seharga 20 Bath di loket.

Ngomong-ngomong soal bayar. Karena saya nyasar-nyasar di awalnya itu, waktu keluar dari Wat Pho saya baru sadar kalau saya belum bayar Entrance Fee. Jadi saya kembali masuk dan mencari loket untuk bayar entrance fee sebesar 50 Bath, padahal sebenarnya bisa aja tuh kalau ga bayar. Untung saya orang yang jujur. heheee....

Jumat, 18 Maret 2011

The Grand Palace Of Thailand

Kompleks bangunan Grand Palace ini mengingatkan saya pada The Royal Palace di Kamboja. Model bangunan nya mirip-mirip, sama-sama penuh ukiran yang rumit dan detail. Bedanya Grand Palace di Thailand lebih "Grand", lebih mewah, lebih luas dan lebih berwarna. Melihat kemegahan Royal Palace di Kamboja saja saya terpukau dengan kemegahan dan gemerlap warna gold nya. Di Thailand, saya lebih terperangah menyaksikan gemerlap warna gold dipadu padan dengan warna-warna metalik lain dengan detail yang bahkan lebih rumit.
Kemiripan tipe bangunan ini karena jaman dulu nya Kamboja dan Thailand  (yang sekarang) pernah bernaung di bawah kerajaan yang sama. Kerajaan pertama namanya Funan, termasuk kerajaan terbesar hingga sekitar abad ke-6. Kerajaan Funan ini kemudian runtuh, diambil alih oleh kerajaan Chenla. Kerajaan Chenla pun pecah belah jadi Land Chenla dan Water Chenla.

Kerajaan Chenla runtuh kemudian diambil alih oleh Khmer Empire. Khmer Empire berjaya dari abad ke-9 sampai abad ke-13. Dari segi religion, Khmer di pengaruhi oleh Hindu (yang menyebar dari India sejak abad ke-1) dan Budha Mahayana (yang  dibawa oleh Jayavarman II  sebagai salah satu pengaruh dari dinasti Syailendra). Ketika ajaran Budha Theravada yang merambat dari Sri Lanka mulai mendominasi di akhir abad ke-13, dari situlah awal kehancuran kerajaan Khmer. Kawasan kekuasaannya pun mulai melepaskan diri satu persatu.

Thailand sendiri lepas dari dominasi Khmer Empire sekitar abad ke 13, ketika dominasi Khmer mulai melemah. Rakyat Thai yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Khmer berontak dan membentuk kerajaan sendiri bernama Sukothai. Namun tak lama kemudian King Ramathibo I menaklukan Sukhotai dan membangun kerajaan baru dengan pusat pemerintahannya di Ayuthaya. Bangunannya sendiri masih kental dengan ciri-ciri Khmer karena rakyat sana keseniannya sangat terpengaruh dengan kesenian Khmer. 

Saya belum sempat ke Ayuthaya dan Sukhothai sih, tapi suatu saat kalau kembali ke Thailand, yang pertama saya tuju adalah Ayuthaya dan Sukhothai. Kedua daerah itu saat ini telah ditetapkan UNESCO sebagai World Heritage.

Konon katanya bangunan-bangunan di Grand Palace merupakan kloningan dari bangunan di Ayuthaya, karena ketika King Rama I memerintahkan untuk memindahkan pusat pemerintahannya kesini, beliau memerintahkan agar struktur dan bangunannya dibuat sama dengan Ayuthaya. Jadi ga heran kan kalau bangunannya mirip sama yang di Kamboja, karena kalau di runut ya ada asimilasi budaya yang masih sangat kental.

Pintu Masuk Grand Palace, mirip dengan Royal Palace di Kamboja

The Upper Terrace, masing-masing bangunan menyimpan benda-benda suci
Kenapa pusat pemerintahannya bisa pindah dari Ayuthaya ke Bangkok yang sekarang? well, kembali ke abad ke-14, saat itu Ayuthaya tumbuh menjadi kota yang sangat berkembang. Bisnis perdagangan internasional, dari Jepang, China, India bahkan negara Eropa. Belanda juga pernah singgah di Ayuthaya, berdagang selama beberapa tahun. Tapi sayangnya hubungan Thailand dengan tetangga nya, Burma kurang  baik. Hingga di tahun 1767 Burma berhasil menduduki Ayuthaya.  Kota tersebut kemudian di hancurkan dan dibakar habis hingga berpuing-puing.

Pada tahun 1782, Thailand membangun pusat pemerintahan baru di Thonburi. Tapi tak lama King Rama I memindahkan ibukota tersebut ke sebrang sisi sungai Chao Praya, ke daerah Rattanakosin yang berkembang hingga menjadi Bangkok yang sekarang.
Bangunan Religius di Kompleks Grand Palace
Chakri Maha Prasat Hall

Di dalam kompleks Grand Palace ini ada Throne Hall (singgasana Raja), tempat tinggal Raja dan keluarga, kantor administrasi dan bangunan khusus tempat menyimpan Patung Emerald Budha yang bernama Wat Phra Keow. 

Tidak semua  bangunan didirikan pada masa King Rama I. Bangunan Chakri Maha Prasat Hall malahan baru dibangun pada masa King Rama V. Raja dan keluarga nya sudah tinggal di sini lagi, namun tempat ini masih digunakan apabila ada acara ceremonial kerajaan dan acara keagamaan. Tiket masuk kompleks Grand Palace dan Wat Phra Keow sebesar 350 Baht. Potongan tiketnya jangan dibuang, karena bbisa digunakan sebagai Free Entrance masuk ke Vimanmek Mansion, daerah Dusit.

Maintenance (pengecatan ulang) lukisan cerita Ramayana
Belum lihat itinerary saya selama 3 hari di Bangkok? Silahkan klik disini! 


Sabtu, 12 Maret 2011

Bangkok: Ancient & Modern jadi satu

Lagi-lagi saya melancong ke negara yang sebelahan sama negara saya sendiri dan berpikir, "kapan ya negara saya bisa belajar dari tetangga nya?". Disaat negara-negara yang sebelahan sama negara saya ini sudah punya MRT (kereta bawah tanah) dan BTS (Sky Train), kita masih berkutat ngutak-ngatik Busway yang ternyata juga tidak efisien dalam menghindari kemacetan.

Thailand ini terkenal banget dengan pariwisata nya di seluruh dunia. Bahkan sudah beberapa kali di jadikan lokasi syuting film-film Hollywood. Kali ini saya memang belum sempat mengunjungi tempat syuting The beach & James Bond di Phuket, karena dalam waktu 3 hari saya fokus keliling-keliling di ibukota negara Thailand, Bangkok. Nama kota ini kalau di sebut dalam bahasa Thai puanjang nya kayak cerpen, tapi kalo disingkat dan di bahasa Inggris kan jadi City of Angels. Mungkin karena disini banyak kuil-kuil (Wat) dan patung-patung Budha dari jaman baheula yang merupakan simbol religius rakyat Thai.

Jaman dahulu kala sewaktu masih dikenal dengan nama Siam, ibukota Thailand bukan di Bangkok. King Rama  I yang memindahkan pusat pemerintahan ke "kota malaikat" ini. Lokasinya di pinggiran sungai Chao Praya, bersebrangan dengan ibukota yang lama. Daerah ini namanya Ko Rattanakosin, disinilah dibangun pusat pemerintahan dan pusat ke-agama-an yang baru.

Hingga sekarang bangunan-bangunan jaman dahulu kala ini masih berdiri megah. Bangunan bersejarah di daerah ini termasuk Kompleks Grand Palace dan Wat Phra Keow yang di dalamnya ada Patung Emerald Budha. Lalu di seberang Kompleks Grand Palace ada Wat Pho, tempat diletakannya Patung Sleeping Budha raksasa.


Waktu saya kesana, ternyata Raja nya sudah tidak di Grand Palace lagi. Beliau  sudah pindah ke daerah Dusit semenjak kakek nya Raja yang sekarang. Mungkin karena lingkungan ini sudah terlalu crowded dan sulit mendapatkan privacy. Rattanakosin masih di jaga ke-ancient-an nya  dan menjadi daerah wajib kunjung bagi turis-turis interlokal yang melancong ke Bangkok.Sedangkan kalau kita keluar dari daerah ini, kita bisa merasakan sisi Bangkok yang berbeda. Bangkok yang modern.

Bangkok Streets
Night at City of Angels

Democracy Monument
Suvarnabhumi Airport
Ke-kosmopolitan Kota Bangkok sudah mulai terlihat sejak menginjakan kaki di Suvarnabhumi Airport. Bandara ini dulu dibangun untuk dijadikan Internasional Hub, atau bandara penghubung internasional dari Afrika, Amerika dan Eropa ke negara Asia Tenggara. Jadi Semua pesawat dari seluruh belahan dunia kalau mau ke Asia Tenggara musti transit di Bandara ini. Semacam bandara di Hong Kong gitu. Tapi sih denger-denger karena issue safety yang masih belum memadai, maka bandara ini belum memenuhi syarat jadi International Hub.

Masalah macet atau Traffic jam, di Bangkok ini tidak jauh berbeda dari Jakarta. Eh, Jakarta masih menang dink macet nya hehehee.... Wajar kali ya bagi kota besar yang merupakan pusat bisnis kalau ada macet karena jumlah kendaraan nya yang banyak. Tapi setidaknya di kota ini disediakan alternatif transportasi umum untuk menghindari macet. Ada MRT yang jalannya di bawah tanah dan ada BTS yang jalannya diatas. Bahkan ada Express Boat melalui sungai Chao Praya. Indonesia kapan ya? Hmmm.... *mengkhayal*

Mau tau berapa budget saya keliling-keliling Bangkok dalam 3 hari? Klik disini

Rabu, 09 Maret 2011

Old Shanghai: The Bund

Saya pernah janji kan di postingan mengenai Shanghai History Museum kalau saya akan membahas tentang The Bund. Kalau di Ho Chi Minh City ada area "mirip" kota perancis, nah di sini ada area yang "mirip" kota London. Malahan ada kembaran Big Ben, itu loh Jam Gadang nya Kota London..... konon jam ini di buat oleh pabrik yang sama dengan yang membuat Big Ben di London. Kenapa bisa ada Big Ben di Shanghai ya? Well... *seperti kata orang londo*... it's a very long story. 
Ringkasannya, berawal dari perang opium yang sempat saya singgung di postingan sebelumnya mengenai Shanghai History Museum. Untuk mengakhiri perang opium, dimana China perang dengan British yang menyelundupkan opium ke negaranya, di buatlah perjanjian Treaty of Nanking. Perjanjian tersebut menetapkan Shanghai sebagai salah satu port perdagangan International dimana British boleh melakukan perdagangan international di tempat tersebut. British pun membuat markasnya di daerah ini untuk mengatur perdagangannya. Markasnya kemudian disebut British Settlement. Orang-orang British pun mulai membangun bangunan-bangunan bergaya eropa, ada yang digunakan sebagai kantor, Bank, Hotel, Club dan lain-lain.

Lalu bangsa-bangsa lain seperti Amerika dan Rusia mulai datang membangun pusat perdagangan di daerah ini juga, sehingga namanya berubah menjadi International Settlement. Kemajuan pesat antara akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 membuat Shanghai menjadi International Hub untuk perdagangan East Asia. Sebenernya sih orang-orang bule ini emang udah lama mengincar lokasi strategis ini untuk membuka jalur perdagangan ke Asia.
Bangunan Kuno jaman Kolonial
Berasa di London komplit dengan Big Ben nya
Tapi kemudian datang Jepang. Awalnya mereka hidup berdampingan hingga akhirnya Jepang mengusai daerah ini dan orang-orang bule itu pun tersingkirkan. Tahun 1945 Jepang kalah dalam World War II  ketika Hiroshima dan Nagasaki di jatuhi bom atom. Jepang pun surrender dan pergi dari China. Sekarang The Bund adalah salah satu destinasi wajib bagi turis yang mengunjungi Shanghai.

Salah satu destinasi turis lokal & internasional di Shanghai


Sabtu, 05 Maret 2011

Tanah Lot

Kebetulan nih pas momennya sama Hari Raya Nyepi. Lagi iseng-iseng liat rekaman-rekaman hasil kenarsisan diri dengan media DVD-Cam, ketemu sama rekaman waktu ke Tanah Lot lebih dari 2 tahun lalu. Waktu itu saya berdua dengan adik saya menghabiskan waktu di Bali selama 2 minggu, benar-benar refreshment bagi jiwa dan raga.

Sengaja kita pilih jadwal ke Bali bertepatan dengan Hari Raya Galungan & Kuningan, jadi banyak upacara-upacara seru yang bisa kita amati (rencananya, faktanya adalah kita lebih banyak menghabiskan waktu berleyeh-leyeh, tidur siang dan wisata kuliner). Ketika kita ke Tanah Lot untuk menyaksikan sunset, di Pura ini lagi dilakukan upacara. Jadi ruame nya puol ! Kemudian, nyanyian-nyanyian yang kedengeran di rekaman saya itu beneran asalnya dari upacara tersebut.

Sayangnya waktu itu kita lagi  ga beruntung, karena cuaca berawan dan mendung jadi Sunset nya kurang kelihatan. Tapi untuk mengetahui lokasi menyaksikan matahari terbenam, yang disebut Sunset Terrace di kompleks Tanah Lot bisa menyaksikan rekaman amatiran saya berikut.


Sorry banget kalau awalnya rada-rada pusing ngeliat gambarnya yang goyang-goyang... maklum kamerawati nya belajaran hehehee... Di jalan menuju Sunset Terrace banyak terdapat kios-kios suvenir dan kerajinan seni. Dan sembari menunggu matahari terbenam, kita bisa leyeh-leyeh di cafe sembari menyesap es kelapa muda. Huhuhuuuu.... jaadi kangen pengen ke Baliiiiii....

Surprisingly, saat saya sedang menuliskan postingan ini iseng-iseng search di mbah google ternyata ada website tanah lot: http://www.tanahlot.net, berbahasa inggris dan ternyata tempat ini punya Operational  Manager. Wuih keren banget. Ini salah satu contoh tempat wisata yang di manage profesionaly. Coba kalau semua tempat wisata di Indonesia model gini, bukan hanya yang di Bali saja. 

Waktu saya mau ke Bangkok dan browsing di internet, semua tempat wisata disana punya website nya sendiri. Hal itu kemudian menentukan mana objek wisata yang WAJIB buat saya kunjungi dan saya prioritaskan, kemudian mana objek wisata yang hanya akan saya kunjungi kalau ada waktu luang aja. Mungkin masalah website ini kelihatannya sepele, tapi kunci buat menyebarkan dan memperkenalkan "sesuatu" yang paling efektif di jaman nya Mbah Google berjaya ini, menurut saya.

Trus enak nya lagi di jaman "apa-apa serba internet" gini, kalau mau cari tempat menginap ga perlu repot-repot kayak jaman dulu, buka yellowpages atau telpon ke 108 buat tanya nomor telpon hotel dan nelponin satu-satu buat nanya rate dan ketersediaan kamar. Ribet.

Beberapa tahun lalu saya masih ngelakuin itu. Sekarang udah ga pernah lagi. Tinggal masuk ke website reservasi online kayak Agoda gitu, trus tinggal pilih deh sesuai lokasi dan harga yang kita mau. Waktu saya ke Bali ini kebetulan bertepatan sama peak season, kebayang ga sih susah nya cari hotel pas itu. Tapi saya berhasil nemu Hotel di Bali yang harganya lumayan terjangkau dan lokasinya strategis banget -di Kuta, ya dari Agoda itu.

Jujur, saya selama ini lebih prefer untuk booking hotel dari website gitu, soalnya lebih praktis. Apalagi kalau pergi ke daerah yang belum pernah saya datengin sebelumnya. At least, pas nyampe kita tau destinasi kita selanjut nya kemana, ga luntang-lantung ga jelas dan ga akan kejadian deh tidur di mesjid karena ga dapet tempat nginap. heheee....

Tiba-tiba  terlintas di otak saya untuk pergi ke Bali bertepatan dengan Hari Raya Nyepi dan mendokumentasikan ke-sepi-an Nyepi di Bali *halah*

Rabu, 02 Maret 2011

Tiga hari di Bangkok

Sa-wat-dee ka
Saya kembali dengan postingan yang mungkin paling ditunggu-tunggu hihiiiy... *ge-er-an* yaitu itinerary saya selama di Bangkok berikut dengan budget nya. Tiga hari di kota ini, saya berusaha sebanyak mungkin meng-eksplor dengan budget seminimal mungkin, walaupun kali ini tidak backpacking.

Saya tiba di Bangkok dan menginap di hotel yang terletak di kawasan Banglamphu dengan pertimbangan dekat dengan kawasan Wat-Wat yang terkenal (Grand Palace, Wat Phra Keow, Wat Pho dan Wat Arun). Dari airport ke kawasan Banglamphu menggunakan Bus Airport Express 135 bath dan menginap di Thai Cozy House dengan rate 650 bath semalam. 

Hari Pertama, pagi-pagi setelah sarapan di hotel saya berangkat jalan kaki ke Grand Palace dan Wat Phra Keow, entrance fee 350 Bath. Kemudian menyebrang ke Wat Pho dimana terdapat Patung Sleeping Budha Raksasa, 50 Bath. Setelah itu menyebrang lagi ke dermaga Tha Thien untuk naik Ferry menyebrang sungai Chao Praya ke Wat Arun, entrance fee 50 Bath. Sewa baju adat untuk foto 100 Bath. Untuk menyebrang dengan ferry ongkosnya 6 bath PP. Makan siang saya di Rumah Makan Thai Muslim Roti Mataba 75 Bath. Kemudian sore hari saya pindah hotel naik taksi ke daerah Silom 120 Bath. Malam hari saya mengunjungi daerah Pat Pong menggunakan BTS sky train 40 Bath, PP.

Daerah Banglamphu, deket Khao San Road
Di depan kompleks Grand Palace yang megah
Hari Kedua, hari Sabtu. This is Shopping day. Pagi hari ke chacktucak menggunakan BTS Sky Train, 40 Bath. Jajan udang 250 bath seporsi dibagi tiga, jadi seorang membayar 85 Bath. Kemudian saya dan kedua teman saya naik taksi ke daerah Pratunam, masing-masing membayar 35 Bath. Makan sore di foodcourt Indrasquare, 55 Bath. Jalan menyusuri pertokoan dan menembus pasar-pasar hingga sampai ke daerah Siam. Jajan Cumi bakar 20 bath. Kemudian naik BTS Sky Train kembali ke hotel 25 Bath. 

Hari Ketiga, dengan modal free entrance dari Tiket Grand Palace saya berangkat ke Vinmanmek Mansion di daerah Dusit menggunakan Express Boat melalui Chao Praya river ke dermaga Tha Thewet, 14 bath. Jalan kaki 15 menit hingga tiba di Vimanmek Mansion. Kembali naik tuk-tuk ke dermaga Tha Theweet, 35 bath. Naik Express Boat lagi, 14 Bath, kali ini turun di dermaga Tha Oriental karena ingin mampir makan siang di Thai Cuisine moslem restaurant. Makan siang saya kali ini 65 Bath dan jajan baso goreng 20 bath. 
Tha Theweet, dengan background King Rama Bridge
Pak Biksu
Setelah perut kenyang, saya kembali ke hotel untuk bersiap-siap pulang ke tanah air dengan pesawat malam. Jalan kaki 10 menit dan tiba di hotel. Rate hotel kami, Astera hotel di Silom adalah 1300 Bath semalam, jadi kami bertiga masing-masing membayar 880 bath untuk dua malam. Ke bandara naik taksi pun patungan bertiga, masing-masing keluar biaya 100 Bath.
Jadi total pengeluaran saya di Bangkok selama 3 hari adalah 2964 Bath, kalau di kurs dengan rate 1 Bath = Rp320, maka total pengeluaran saya Rp. 948.480,- (tidak termasuk shopping & SIM Card Thailand supaya bisa eksis di soc med)
Lumayan kan? heheee....

Selasa, 01 Maret 2011

Back from Bangkok


Sa-wat-dee ka,,,,

Saya sudah kembali dari Bangkok, tidak sabar untuk sharing experience dan sangat amat merindukan blogwalking ke teman-teman sekalian.

Tapi sekarang saya sangat mengantuk,, tuk,, tuk,, tuk,,
karena belum tidur semalaman. Kopi juga tampaknya sudah tidak mampu menahan rasa perih di mata ini... jadi ijinkanlah saya sejenak untuk memejamkan mata.

Tunggu cerita saya besok  yah...

Sekian.


Korp kun ka,,,


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...