Sabtu, 27 Maret 2010

Pnom Phen: Kota Mentereng, Masa Lalu Kelam

Pnom Phen berjarak sekitar 8 jam perjalanan darat dari Ho Chi Minh City, melewati perbatasan darat Moc Bai yang membatasi Vietnam & Kamboja. Walaupun hanya berjarak sekian jam, perbedaan suasana antara kedua kota di dua negara yang berbeda ini sangat drastis.

Di Kamboja, hawa keramahan penduduknya 'lebih terasa' dibandingkan dengan Vietnam. Yang lebih melegakan lagi karena disini penduduknya familiar dengan Bahasa Inggris dan mata uang USD.


Ketika Bus Capitol yang membawa kami (saya, cipu & mba vony) dari Vietnam mulai memasuki Kamboja, kami sempat khawatir karena (lagi-lagi) underestimate, akibat masalah komunikasi yang kita hadapi di HCMC. Dan di Kamboja kasusnya akan lebih parah, karena kita sama sekali buta aksara Kamboja yang keriting-keriting begitu. Lebih meningan di Vietnam karena setidaknya tulisan disana masih menggunakan huruf latin. Waaah.. ini mah alamat nyasar-nyasar lagi.

Sebelum tiba di tempat pemberhentian Bus, Cipu menanyakan alamat hotel kita kepada pegawai bus Capitol (yang mengurus Visa kita di perbatasan Moc Bai). Pegawai itulah yang akhirnya memperkenalkan kita kepada Supir Tuk-Tuk yang asik berat bernama So Marly. Mengejutkan! Karena So Marly dapat berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Inggris *walaupun dialeknya rada aneh*. Keesokan harinya ketika Cipu & Mba Vony belanja topi di Psar They (Central Market), saya menunggu di tuk-tuk sambil ngobrol bareng So Marly. Ternyata supir-supir tuk-tuk, pedagang-pedagang, dan profesi-profesi lain yang berhubungan langsung dengan tourism di fasilitasi oleh pemerintah Kamboja untuk belajar bahasa Inggris. Mereka dikumpulkan untuk *semacam* kursus bahasa Inggris secara gratis, bahkan di berikan Kamus untuk dipelajari.

Setelah malam hari menghabiskan waktu memandangi Independence Monumen yang sangat indah. Pagi hari saya terbangun dan mengamati pemandangan dari lantai 5 penginapan kami. Kota Pnom Phen dari atas. Ya.. kliatannya ga jauh beda dari di Indonesia sih. Walaupun sebagai warga negara Indonesia saya agak miris juga begitu sadar mata uang Kamboja (riel) ternyata nilainya lebih tinggi dari mata uang Rupiah.



Sayangnya waktu kita terbatas di Kamboja, padahal saya pingin banget ke Killing Field dan Genocide Museum hasil karya Pol Pot dan genk Khmer Merah nya yang tersohor itu. Sewaktu disana sih rasa pengennya justru ga sepengen setelah saya pulang. Somehow, setelah beberapa jam di kota ini saya merasa lebih tertarik untuk browsing-browsing sejarah nya. Semakin saya banyak mengetahui sejarah kekejaman Khmer Merah di jaman Polpot semakin saya menyesal telah melewatkan kesempatan untuk mengunjungi Killing Field dan Genocide Museum.


Hhmm... ternyata keindahan Independence Monumen dan air mancur warna warni nya di kala malam; Kemegahan Wat-nya dimana patung-patung dewa berpose dengan elegan; Kemewahan Royal Palace dan Silver Pagoda yang sempat saya kunjungi dengan membayar USD 6.5; kesemuan semata *tsah*.

Kamuflase atas penderitaan dan masa lalu kelam Kamboja. Dimana pernah terjadi pembantaian beribu-ribu rakyat Kamboja -mulai dari bayi hingga renta, wanita ataupun pria- oleh sesama bangsanya. Dimana pada saat itu menjadi kalangan intelektual dapat membahayakan nyawa. Dimana pada masa itu anak-anak muda direkrut, dicuci otaknya untuk membunuh orang tua nya sendiri. Masa itu bahkan belum lama berselang. Menurut yang saya baca-baca, baru pada tahun 1998, Pol Pot di khianati oleh para pengikutnya (Khmer Merah) dan diserahkan ke pengadilan internasional. Pol Pot pun meninggal malam setelah itu sebelum sempat di sidang.



Walaupun begitu saya pribadi percaya bahwa ada alasan dibalik tindakan semua orang. Tujuan Pol Pot mungkin baik, untuk membangun negaranya.

I want you to know that everything I did, I did for my country.

~ Pol Pot

Namun cara yang dipilih nya memang SUPER ekstrem.

It is up to History to judge.

~ Pol Pot

*polpot quotes taken from: www.brainyquote.com

Selasa, 23 Maret 2010

Ho Chi Minh City is A City

Masih ada yang inget ga film serial Tour of Duty yang beberapa tahun lalu (sebelum era Sinetron mendominasi dan di kala tayangan TV swasta Indonesia lebih bermutu dari sekarang) ditayangkan setiap hari Selasa malam? Seminggu sebelum saya berangkat ke Vietnam, dikepala saya terus berdengung soundtrack film tersebut. Akibat terpengaruh film tersebut, saya sempat 'kecewa' ketika tiba di Ho Chi Minh City (HCMC).


Beyond expectation... ternyata Ho Chi Minh City adalah City beneran. Kota besar. Jalan raya-nya luas, lengkap dengan taman-taman kota yang indah dan trotoar yang layak. Ada gedung-gedung tinggi. Banyak mobil-mobil mewah berseliweran dan motor-motornya lebih parah dari di Jakarta.




Sekitar jam setengah 8 malam, melalui jendela Pesawat Air Asia QZ7736 saya menakjubi pemandangan HCM City dari atas. Mirip-mirip seperti di Hongkong (sok tau mode On karena sebelumnya saya belum pernah ke Hongkong), lampu-lampunya sangat gemerlapan dan berwarna-warni, kuning - merah - hijau - ungu - putih - biru. Ketika memasuki bandara Tan Son Nhat, saya lebih takjub lagi. Saya pun serta merta mengungkapkan kekaguman saya ke Cipu dengan cara menghubungkannya dari sektor Per-sepak-bola-an Indonesia Vs Vietnam, tapi tampaknya Cipu tidak mengerti *sigh*

Saya jadi ngerti sekarang perasaan Carly, teman saya dari Australia ketika menginjakan kaki di Jakarta langsung bilang, " this is not Indonesia, this is New York." Yah intinya... saya terlalu meng-under estimate karena saya pikir waktu Papa Said masuk kuliah thn 1970-an dulu, di Vietnam kan masih perang, jadi beneran deh ga nyangka kalau negara itu sekarang kemajuannya sudah hampir *atau malahan sudah* menyaingi negara kita. 


Dan saudara-saudara, ternyata saya baru sadar... Papa Said itu udah tua juga ya.. *ga nyambung*


Selain mengungguli Indonesia dari sektor Persepakbola-an dan Pertumbuhan Ekonomi nya, Vietnam juga lebih unggul dalam beberapa hal berikut ini (menurut pengamatan Turis Kere):
- Nasionalisme warga nya yang sangat mencintai Bahasa nasional mereka;
- Carut-marut lalu lintas nya (Kerusuhan para pengendara motor & Kebrutalan pengendara mobil); dan
- Kekusutan kabel-kabel listrik nya.



Minggu, 21 Maret 2010

Turis Kere: antara HCMC - Pnom Phen

Lagi-lagi, perjalanan kali ini hampir merupakan suatu kebetulan. Asal muasalnya adalah ketika saya memposting My Best Travelmate, dan orang yang sedang saya bahas itu menulis komen kalau ybs akan berangkat ke vietnam di bulan Maret. Berlanjut ke YM!, memesan tiket, mengurus surat cuti... segalanya berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya tibalah saya di Vietnam.

Setengah hari di Vietnam, menempuh perjalanan naik Bus selama hampir 8 jam melewati perbatasan Moc Bai hingga akhirnya tiba di Kamboja. Setengah hari keliling-keliling Pnom Phen dengan Tuk-Tuk, kembali naik Bus selama 8 jam kembali ke Ho Chi Minh City - Vietnam. Bahkan orang vietnam sendiri berdecak kagum ketika mereka tahu kalau kita PP dari Vietnam-Kamboja dalam waktu sehari saja.

Asal tahu saja, pose loncat pada foto diatas itu diambil di depan Reunification Palace yang menurut Cipu sering masuk di acara The Amazing Race (acara yang selalu menginspirasi setiap perjalanan bekpeking saya dan Cipu). Foto diatas diambil setelah saya melakukan 4 loncatan di bawah terik matahari Ho Chi Minh City yang menyengat, dan entah lompatan keberapa yang mengakibatkan robek di celana saya.

Kira-kira begitulah sekilas tentang perjalanan bekpeking kedua saya bersama rekan saya Cipu dan Mba Vonny. Bagi yang penasaran mengenai detil perjalanan yang (lagi-lagi) dipenuhi oleh kekonyolan saya & Cipu, langsung aja intip-intip blog nya Cipu.

Sebagai blogger sejati, Cipu dengan setia dan gigih selalu meng-update jurnal hariannya setiap ada kesempatan, malam hari sebelum tidur, ketika sarapan dan makan malam, di dalam bus, di pinggir jalan ketika sedang menunggu Mba Vonny hunting foto. Pokoknya setiap hari Cipu selalu memposting jurnal harian perjalanan kita secara live di blog nya berikut budget travel.


- Laporan hari Pertama

- Laporan hari Kedua

- Laporan hari Ketiga

- Laporan hari Keempat

Kamis, 18 Maret 2010

Flying Without Wings

Saya kurang mengerti kenapa yah ada orang yang merasa mules-mules dan tegang setiap naik pesawat, keringat terus bercucuran padahal AC pesawat dingin, badan kaku dari mulai take-off sampai landing. Ini hanya salah satu contoh ekstrem penderita phobia terbang dan si bapak ini setiap 10 menit sekali selama penerbangan dari Jakarta - Ho Chi Min bertanya ke penumpang disampingnya (saya), "Berapa lama lagi sampe ya, mba?"


Beuh.. santai aja kali, Pak. Enjoy aja. Kalau saya sih seneng banget sama yang namanya naik pesawat. It's my way to experience flying, because I wasn't born with wings. Andaikata ukuran tubuh saya tidak semampai (semeter setengah tak sampai) begini, pasti sekarang saya sudah jadi pramugari atau pilot.


I love to see the world from top, it's the best point of view. Mungkin itu sebabnya kenapa Tuhan ada di atas. Well, at least katanya orang-orang. Dan alasan kenapa saya suka sekali warna biru adalah karena warna tersebut mengingatkan saya sewaktu sedang terbang.


Somehow saya mempunyai suatu keyakinan, misalkan manusia diciptakan untuk bisa terbang, pasti ga akan lagi ada satu orang pun yang sudi memijak di bumi. Ambil contoh aja kuntilanak dan sebangsanya, karena sudah bisa terbang mereka jadi males jalan menapak ke tanah.

Kamis, 04 Maret 2010

Mi Aceh Titi Bobrok

Masakannya memang asli Aceh, tapi Rumah Makannya terletak di Medan. Di Jalan Setiabudi sebelum jembatan, di pinggir sungai.

Rada aneh siy memang, masa ke Medan makan Mi Aceh. Tapi kalau sampai ke Medan ga nyobain yang satu ini.... rugi berat.
Pasalnya, rasa mi nya lebih enak dari mi aceh yang saya pernah makan di salah satu rumah makan di Aceh (yang katanya terkenal dan pernah masuk acara Wisata Kuliner Pak Bondan)
. Walaupun ada juga rumah makan mi aceh yang sempat saya cicipi di Aceh yang rasanya mantabhs.

Konon katanya di rumah makan Titi Bobrok di Medan ini, mi-nya di bikin sendiri jadi rasa kenyalnya khas. Bumbunya juga berasa banget, walaupun masaknya partai besar. Saya sempat lihat mi yang baru dimasak di baskom yang luar biasa besar baru dimasak, dibawa dari dapurnya untuk di sajikan ke piring-piring .

Sayangnya waktu saya ke Titi Bobrok, kepitingnya habis.. padahal paling enak makan Mi Aceh Kepiting Nyam..Nyam..Nyam..





Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...